Mubadalah.id – Dua puluh enam tahun setelah wafatnya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pemikirannya terus hidup dan relevan dengan situasi kebangsaan hari ini. Untuk pertama kalinya, Jaringan GUSDURian akan menggelar Konferensi Pemikiran Gus Dur yang dikemas bersama Temu Nasional (TUNAS) GUSDURian 2025 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, pada 29–31 Agustus 2025.
Acara ini menjadi tonggak sejarah baru. Sejak simposium yang digelar setahun setelah Gus Dur wafat—yang kemudian melahirkan sembilan nilai utama Gus Dur—belum pernah ada forum berskala nasional yang khusus mengulas secara mendalam gagasan dan pemikiran Presiden ke-4 RI itu.
“Konferensi ini digelar untuk membedah dan mengontekstualisasikan pemikiran Gus Dur dengan kondisi Indonesia hari ini. Kita ingin melihat bagaimana gagasan beliau tentang agama, demokrasi, dan keadilan bisa menjadi inspirasi gerakan sosial,” ujar Sarjoko, Ketua Panitia Penyelenggara.
Kehadiran Tokoh Nasional dan Internasional
Sejumlah tokoh lintas bidang dijadwalkan hadir. Dari keluarga, ada Nyai Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, istri Gus Dur yang selama ini dikenal konsisten melanjutkan perjuangan sang suami dalam memperjuangkan pluralisme dan kemanusiaan.
Dari kalangan ulama, hadir KH Husein Muhammad, ulama progresif yang kerap memperjuangkan isu gender dan hak-hak perempuan dalam Islam.
Tokoh pemerintahan juga akan tampil, di antaranya Pramono Anung yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta, serta Mahfud MD, akademisi dan politisi senior yang kita kenal sebagai sahabat intelektual Gus Dur.
Dari ranah akademisi internasional, hadir Greg Barton, penulis biografi Gus Dur dan pakar studi Islam dari Australia.
Nama-nama lain yang turut memperkaya konferensi ini antara lain Badriyah Fayumi, Kamala Candrakirana, Laode M. Syarif, Nissa Wargadipura, Dewi Kanti Setianingsih, hingga Sandra Moniaga. Kehadiran mereka mencerminkan spektrum luas pemikiran Gus Dur yang menyentuh ranah agama, demokrasi, hingga ekologi.
Tiga Isu Utama: Agama, Demokrasi, Ekologi
Konferensi Pemikiran Gus Dur tahun ini akan berfokus pada tiga isu utama:
Pertama, agama sebagai etika sosial – menggali kembali cara pandang Gus Dur bahwa agama bukan sekadar doktrin, melainkan sumber etika sosial yang memuliakan manusia.
Kedua, demokrasi – mengkaji pengalaman Gus Dur sebagai tokoh yang gigih memperjuangkan demokratisasi, baik di ranah politik maupun budaya.
Ketiga, keadilan ekologi – melihat bagaimana prinsip kemanusiaan universal Gus Dur dapat menjadi dasar dalam merespons krisis iklim dan kerusakan lingkungan.
Menurut Sarjoko, pilihan isu ini relevan dengan tantangan bangsa saat ini. “Indonesia sedang menghadapi polarisasi politik, krisis keadilan sosial, dan ancaman kerusakan lingkungan. Spirit Gus Dur, kita butuhkan untuk menguatkan masyarakat sipil agar tidak hanya menjadi objek pembangunan, tetapi juga subjek yang berdaya,” tegasnya.
Konsolidasi Gerakan dan Ruang Belajar
TUNAS GUSDURian 2025 sendiri diperkirakan akan diikuti 2.000 peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Peserta terdiri dari komunitas GUSDURian, sahabat dan murid Gus Dur, tokoh lintas agama, lembaga masyarakat sipil, hingga akademisi.
Selain konferensi, acara ini juga menghadirkan berbagai forum dan ruang interaksi. Ada Forum Gerakan yang mempertemukan aktivis dari berbagai daerah, Festival Gerakan dengan bazar komunitas. Serta Learning Space yang memungkinkan peserta belajar lintas isu dari para pakar.
Puncaknya, acara akan ditutup dengan Malam Budaya, sebuah tradisi khas GUSDURian yang merayakan keberagaman melalui seni.
Meneladani Gus Dur, Menguatkan Indonesia
Mengusung tema “Meneladani Gus Dur, Menguatkan Indonesia”, TUNAS kali ini tidak sekadar ajang konsolidasi, tetapi juga refleksi nasional. Jaringan GUSDURian menegaskan perannya sebagai penyeimbang kekuasaan dan pengawal demokrasi, sebagaimana Gus Dur semasa hidupnya.
“Dengan hadirnya GUSDURian, kita berharap masyarakat dapat menjadi subjek pembangunan. Cita-cita bangsa yang merdeka, adil, dan makmur tidak bisa hanya ditopang oleh negara. Melainkan juga partisipasi masyarakat sipil yang kritis dan aktif,” kata Sarjoko menutup pernyataannya.
Bagi banyak kalangan, Konferensi Pemikiran Gus Dur ini bukan sekadar pertemuan intelektual. Melainkan sebuah upaya merawat warisan pemikiran sekaligus energi moral bangsa.
Di tengah situasi politik yang kerap penuh tarik-menarik kepentingan, Gus Dur kembali kita hadirkan sebagai sumber inspirasi: bahwa agama harus membebaskan, demokrasi harus menyejahterakan, dan keadilan harus merangkul manusia serta alam semesta. []