• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Merespon Perbedaan Hari Raya Idulfitri dengan Bijak dan Santai

Perbedaan apapun tidak menjadi masalah, apalagi menimbulkan ujaran kebencian. Bukankah ini juga yang selalu Nabi Muhammad Saw teladankan, beragama dengan cara yang lemah lembut dan penuh kasih

Siti Robiah Siti Robiah
25/04/2024
in Publik
0
Idulfitri

Idulfitri

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Suasana lebaran Idulfitri masih terasa hingga hari ini. Hampir semua umat muslim menyambut hari kemenangan ini dengan penuh bahagia dan haru.

Namun meski begitu, masih hangat diingatan kita bagaimana Ramadan 2024 dipenuhi dengan warna warni keberagaman agama. Mulai dari perbedaan penentuan tanggal 1 Ramadan, trend War Takjil antara Muslim dan Non Muslim, sampai pada perbedaan penentuan Hari Raya Idulfitri.

Dari semua fenomena di atas sepertinya kita lebih luwes dalam menerima perbedaan penentuan tanggal 1 Ramadan, begitu juga dengan trend War Takjil. Namun dalam menerima perbedaan penentuan Hari Raya Idulfitri, kita mesti banyak belajar lagi.

Bagaimana tidak, kemarin ketika Jama’ah Aolia menetapkan bahwa Hari Raya Idulfitri jatuh pada tanggal 5 April 2024 atau pada tanggal 25 Ramadan Nahdlatul Ulama (NU). Sebagian besar umat muslim meresponnya dengan penuh kebencian dan mencaci maki mereka. Bahkan tidak sedikit yang melabelinya sesat dan menyimpang dari ajaran Islam.

Hal ini semakin panas ketika Mbak Banu sebagai sesepuh Jama’ah Aolia menyampaikan bahwa penetapan tersebut didasari karena beliau telah melakukan “Tilpun langsung pada Allah”. Bagi sebagian umat muslim ini sangat aneh dan tabu. Maka dari itu, mereka merasa yakin untuk mengatakan bahwa Jama’ah Aolia itu sesat.

Baca Juga:

Jangan Membedakan Perlakuan antara Anak Laki-laki dan Perempuan

Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan

Mengenal Perbedaan Laki-laki dan Perempuan secara Kodrati

Hampa dan Rasa yang Tertinggal dari Hari Raya

Tabayyun

Jika kita maknai lebih dalam, sebagai seorang muslim yang hidup di Indonesia, kita mestinya lebih luwes dalam menerima segala bentuk perbedaan dan keragaman dalam beragama. Lebih dari itu, sebagai muslim yang baik, mestinya kita juga mengutamakan tabayyun, atau menelusuri terlebih dahulu apa maksud dan makna yang terkandung dalam istilah “tilpun Allah” itu.

Untuk mengetahui hal tersebut, tentu saja kita harus bertemu dan berkenalan secara langsung dengan jama’ah Aolia ini. Karena tidak mungkin kita bisa memahami sesuatu yang kita anggap bereda, tetapi kita tidak mau legowo untuk mengenal siapa mereka dan apa makna yang terkandung dari ajaran yang mereka yakini.

Inilah mengapa sikap toleransi dan memahami keyakinan berbeda itu sangan penting. Supaya tidak mudah berprasangka buruk dan melabeli orang yang berbeda sebagai kelompok sesat dan menyimpang.

Mengenal Mbah Banu

Sebagaimana yang aku sampaikan di atas, kita memang sangat perlu mencari terlebih dahulu informasi segala hal yang kita anggap berbeda. Sehingga dari informasi tersebut kita bisa mengetahui lebih dalam siapa mereka, apa nilai yang diyakini oleh mereka dan bagaimana car akita bersikap atau merespon perbedaan tersebut.

Karena itu, daripada sibuk komentar negatif ke Jamaah Aolia dan Mbah Banu, mari kita mengenal terlebih dahulu, siapa itu Mbah Banu.

Dari beberapa sumber yang aku baca di internet, Mbak Banu memiliki nama asli Raden Ibnu Hajar, beliau lahir di Pekalongan, pada 28 Desember 1942. Ia tumbuh dan besar di di Solotiyang, Maron, Purworejo.

Kemudian seperti yang ditulis di website suara.com. Mbah Banu sempat berkuliah di Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, ia memutuskan drop out (DO) atau keluar pada semester akhir. Tidak diketahui pasti apa alasan Mbah Banu memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya.

Sementara itu, dalam proses belajar ilmu agama, Mbah Banu secara langsung belajar pada ayahnya yaitu Kiai Soleh bin KH. Abdul Ghani bin Kiai Yunus. Kiai Soleh merupakan murid dari Mbah Kholil Bangkalan.

Dari sumber-sumber informasi tersebut, ternyata Mbah Banu dan keluarganya itu merupakan orang yang berpengetahuan. Karena itu, menurut saya tidak mungkin Mbah Banu menyesatkan jamaahnya sendiri, pasti ada cara dan pendekatan khusus yang Mbah Banu lakukan dalam melakukan penetapan Hari Raya Idulfitri tahun 2024.

Respon Para Tokoh di Indonesia pada Istilah “Tilpun Allah”

Ibu Lies Marcoes, seorang peneliti dan aktivis kemanusiaan dalam salah satu unggahan di Facebook pribadinya menyampaikan bahwa, kata “tilpun langsung”, yang dipakai oleh Mbah Banu dalam bahasa Antropologi agama merupakan metafora agar yang mendengarnya mengerti. Bukankah setiap manusia yang pernah berdoa pada hakekatnya melakukan “tilpun langsung” kepada Tuhan sesembahannya.

Senada dengan hal itu, Kiai Marzuki Wahid, Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) juga ikut merespon hal tersebut. Menurutnya, kita tidak bisa memahami telpon di sini sebagai telpon menggunakan handphone (HP) atau alat komunikasi lain. Karena Allah jelas bukan makhluk, yang bisa kita telpon dengan HP atau sejenisnya.

Menurut Kiai Marzuki, makna telpon di sini bukanlah makna hakikat. Tetapi berupa majaz di mana “Tilpun Allah” bisa bermakna berdoa atau berzikir. Persis seperti apa yang sering kita lakukan sehari-hari.

Hanya saja bahasa dan cara penyampaiannya berbeda, lagi-lagi seperti yang disampaikan oleh Ibu Lies, mungkin istilah tersebut dipilih Mbah Banu supaya memudahkan kita dalam mengerti apa yang dimaksud oleh Jama’ah Aolia.

Menanggapi Perbedaan dengan Bijak

Dari yang disampaikan oleh Ibu Lies Marcoes dan Kiai Marzuki Wahid. Aku jadi belajar bahwa dalam merespon dan menanggapi perbedaan dalam cara beragama. Kita tidak perlu hebah, apalagi marah-marah. Justru kita harus mulai belajar untuk bijak dan juga santai dalam beragama.

Sehingga, perbedaan apapun tidak menjadi masalah, apalagi menimbulkan ujaran kebencian. Bukankah ini juga yang selalu Nabi Muhammad Saw teladankan, beragama dengan cara yang lemah lembut dan penuh kasih. Bukan dengan mencaci, menghardik, marah, apalagi memandang yang berbeda sebagai kelompok sesat dan menyimpang.

Lagi pula, bukankah Hari Raya Idulfitri itu adalah hari kemenangan, kegembiraan dan kebahagiaan? Masa hari kemenangan mau kita rusak hanya karena perbedaan cara menentukan tanggal 1 Syawal.

Karena itu, mari beragama dengan asik dan santuy. Hargai dan hormati setiap pandangan yang berbeda. []

Tags: bijakhari rayaIdulfitrimeresponperbedaanSantai
Siti Robiah

Siti Robiah

Saya adalah mahasantriwa Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.

Terkait Posts

Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Konten Kesedihan

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

3 Juli 2025
SAK

Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

2 Juli 2025
Wahabi Lingkungan

Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

2 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID