Mubadalah.id – Fikih ar-riddah selama ini kerap dijadikan dasar pembenaran penindakan tegas terhadap mereka yang dianggap menyimpang dari keyakinan umat Islam. Konsep ini, dalam sejarah, lebih banyak diarahkan untuk mengatur internal umat muslim.
Sementara itu, ada pula konsepsi fikih jihad yang cenderung diarahkan kepada pihak luar, yakni komunitas non-muslim. Keduanya, baik fikih ar-riddah maupun jihad, seringkali menjadi legitimasi tindakan kekerasan yang berlindung di balik dalil keagamaan.
Dalam teks-teks klasik Islam, tidak sulit menemukan ayat maupun hadis yang menjadi sumber pembenaran tindakan represif. Baik terhadap sesama muslim maupun kepada mereka yang berada di luar komunitas. Ayat-ayat dan hadis-hadis semacam ini lalu menjadi doktrin jihad.
Jihad, yang secara literal berarti “bersungguh-sungguh” atau “upaya optimal”, sering direduksi menjadi semata-mata “perang suci” untuk menegakkan kalimah Allah, dengan memerangi siapa saja yang dianggap menentang-Nya.
Dalam praktiknya, jihad juga kita lihat sebagai manifestasi perintah amar ma’ruf nahi munkar: mendorong pada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Sayangnya, bagi sebagian kelompok yang mengedepankan ideologi kekerasan, nahi munkar lebih ditonjolkan ketimbang amar ma’ruf. Mereka merasa berhak menggunakan kekuatan fisik untuk menghapus apa yang diyakini sebagai kemungkaran, berlandaskan hadis Nabi:
“Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemahnya iman.”
Sepanjang sejarah, konsepsi jihad, amar ma’ruf, dan penegakan hukum Allah telah menjadi justifikasi tindakan kekerasan dalam tubuh masyarakat muslim.
Terlebih jika kita tegakkan atas dasar “komunalisme”, yakni klaim sepihak bahwa kebenaran mutlak hanya berada pada kelompok sendiri. Sementara kelompok lain pasti sesat.
Dari sinilah kekerasan kerap lahir, bahkan untuk alasan-alasan yang sepele. Karena memiliki legitimasi teologis, kekerasan menjadi sakral, bernilai ibadah, dan justru kita perebutkan untuk kita lakukan.
Tragisnya, tindak kekerasan ini bukan hanya terjadi antara muslim dan non-muslim. Melainkan lebih banyak lagi menyasar sesama muslim yang berbeda tafsir atau pandangan.
Fikih Relasi Sosial
Ini harusnya menjadi refleksi penting yaitu sudah saatnya kita merumuskan fikih relasi sosial yang tidak lagi bertumpu pada mu’min-kafir, kawan-lawan, atau cinta-benci. Tapi berlandaskan kesepakatan bersama untuk menjamin setiap orang memiliki hak yang sama dalam hidup, berpendapat, dan berkarya.
Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa fikih klasik telah lama merumuskan pidana murtad (hadd ar-riddah) yang dalam praktiknya kerap mengancam kebebasan beragama dan berekspresi di tengah masyarakat muslim.
Lebih jauh lagi, istilah-istilah seperti kufr, zindiq, bid’ah, dan khurafat sering menjadi cap yang menyingkirkan, bahkan menghabisi, banyak pemikir ulama besar yang justru di kemudian hari menjadi perkembangan ilmu.
Perumusan fikih yang keras semacam ini tentu tidak lahir di ruang hampa; ia lahir dalam konteks sosial politik tertentu pada zamannya.
Karena itu, kita perlu membaca ulang seluruh khazanah tradisi ini dengan kacamata baru, agar melahirkan pemahaman fikih yang lebih selaras dengan prinsip dasar Islam yaitu rahmah (kasih sayang), kebebasan, dan keadilan. []