Mubadalah.id – Pernikahan yang ideal tidak hanya berlandaskan cinta, tetapi mensyaratkan adanya kemampuan, yang di dalam hadis disebut sebagai al-ba’ah. Jika seseorang sudah memiliki kemampuan baik secara fisik, psikis, maupun secara ekonomi, dianjurkan agar ia menikah.
Kemampuan dalam arti fisik adalah telah memasuki usia dewasa dan memiliki tubuh yang sehat. Kemampuan dalam arti psikis adalah memiliki emosi yang stabil, mampu membuat keputusan untuk dirinya dan keluarga, serta dapat bertanggung jawab baik terhadap dirinya maupun orang lain.
Adapun pengertian mampu secara ekonomi adalah memiliki penghasilan yang dapat membiayai kebutuhan hidup berupa makanan, pakaian, rumah, pendidikan, perawatan kesehatan, dan yang lainnya, baik untuk dirinya maupun keluarga.
Bagi mereka yang tidak memiliki persyaratan-persyaratan tersebut dapat masuk dalam kategori belum mampu, dan sebaiknya menunda pernikahan sampai saat yang tepat.
Hal ini sejalan dengan perintah Rasulullah Saw. dalam hadis tadi, agar seseorang membatalkan niatnya untuk menikah dan mengendalikan dorongan seksualnya dengan cara melakukan ibadah puasa.
Makna Pernikahan
Pernikahan dalam bahasa al-Qur’an kita sebut sebagai mitsaqan ghaIizhan, yaitu suatu perjanjian yang kukuh. Karena itu, masing-masing pihak, yakni suami dan istri, wajib memelihara keutuhan rumah tangganya dengan cara memenuhi apa yang menjadi kewajibannya masing-masing.
Kedua belah pihak harus saling menghormati, saling menyayangi, dan membiasakan diri untuk saling berkomunikasi secara terbuka. Termasuk dalam hal-hal yang paling sensitif, agar tidak terjadi prasangka maupun kecurigaan di antara keduanya.
Adapun hukum nikah sangat bergantung pada kondisi seseorang. Gambarannya sebagai berikut:
Pertama, orang yang hasrat seksualnya tidak dapat dikendalikan yang dipastikan akan terjerumus pada perzinaan. Sementara dia memiliki kemampuan sesuai dengan persyaratan untuk menikah, hukum nikah baginya adalah wajib dan berdosa jika tidak menikah.
Kedua, orang yang kondisinya mampu menikah secara fisik, psikis, dan ekonomi, tetapi tidak khawatir jatuh pada perzinaan. Jika ia memiliki keinginan untuk menikah, hukum nikah baginya sunnah, yaitu mendapat pahala jika menikah.
Ketiga, orang yang mampu mengendalikan nafsu seksualnya atau tidak khawatir terjerumus pada perzinaan. Tetapi kondisinya jika ia menikah, istrinya atau suaminya akan menderita dan teraniaya, karena tidak mampu secara fisik, psikis, dan ekonomi. Maka, hukum nikah baginya adalah haram, yaitu berdosa jika ia menikah. []