Mubadalah.id – “Peminggiran perempuan” masih menjadi isu yang menarik dalam diskursus kesetaraan gender. Sehingga, tidak heran, jika topik ini turut menjadi perhatian dalam perhelatan KUPI II di .P. Hasyim Asy’ari Jepara November silam. Di mana salah satu Musyawarah Keagamaan KUPI II, pada 26/11/2022, membahas topik: “Peminggiran Perempuan” dalam Menjaga NKRI dari Bahaya Kekerasan Atas Nama Agama.
Musyawarah keagamaan itu melahirkan Sikap Keagamaan KUPI. 1) Hukum menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah wajib bagi setiap warga negara. 2) Hukum peminggiran perempuan yang berdampak pada tidak terjaganya NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah haram bagi setiap lembaga Negara, masyarakat sipil, organisasi sosial dan keagamaan sesuai dengan otoritas yang dimilikinya. 3) Semua pihak bertanggung jawab untuk melindungi perempuan dari segala bentuk bahaya kekerasan atas nama agama. Terutama negara dalam berbagai tingkat otoritasnya, lembaga keagamaan, lembaga sosial, dunia usaha, masyarakat sipil, keluarga, dan media.
Peminggiran Perempuan Menyalahi Ketauhidan
Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam, mengutip pandangan Amina Wadud dalam karyanya Qur’an and Woman. Ia mengatakan bahwa sistem sosial patriarki, yang menjadikan laki-laki sebagai superior dan perempuan berada di bawahnya, bertentangan dengan konsep tauhid dalam Islam. Sebagaimana Faqihuddin Abdul Kodir jelaskan, “Tiada Tuhan selain Allah Swt. berarti tidak ada perantara antara hamba dengan Tuhannya, dan bahwa sesama manusia tidak boleh yang satu menjadi tuhan terhadap yang lain. Dalam arti laki-laki sama sekali bukan rujukan utama bagi perempuan.”
Paradigma keadilan dalam ketauhidan sosial ini sejalan dengan banyak ayat dalam al-Qur’an, yang menegaskan keadilan sebagai ajaran pokok Islam dalam menjalani kehidupan. Misalnya, dalam Surah an-Nahl ayat 90, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Berdasarkan pandangan Amina Wadud dan penjelasan Faqihuddin Abdul Kodir di atas, kita dapat menyimpulkan kalau, tindakan “peminggiran perempuan” merupakan laku patriarki yang menyalahi prinsip ketauhidan. Sebab, ketauhidan pada dasarnya meniscayakan relasi setara antar-sesama hamba Tuhan (laki-laki dan perempuan).
Bukannya malah menjadikan pihak yang satu sebagai superior dan yang lain sebagai inferior. Sehingga dalam kehidupan, termasuk dalam konteks melawan laku kekerasan atas nama agama, perempuan harus mendapatkan ruang kiprah yang adil. Selain itu juga harus ada pengakuan dan penghormatan terhadap kontribusi perempuan. Jadi, tidak boleh ada laku kehidupan yang meminggirkan eksistensi perempuan sebagai manusia.
Bukan Oposisi Biner Melainkan Mitra Sejajar
Pemberian ruang dan pengakuan kontribusi terhadap perempuan, bukan merupakan ambisi untuk membandingkan. Apalagi untuk meninggikan, peran perempuan daripada laki-laki. Maksud dari upaya melawan laku “peminggiran perempuan”. Bukan untuk membangun oposisi biner antara laki-laki dan perempuan. Melainkan, untuk mewujudkan adanya kesetaraan gender, sehingga dengan relasi setara yang sehat kedua pihak, laki-laki dan perempuan, dapat menjalin kerja sama. Gus Dur (Abdurrahman Wahid) membahasakan kerja sama setara ini dengan istilah “mitra sejajar”.
Ashilly Achidsti dalam Gender Gus Dur menjelaskan, “Pemikiran Abdurrahman Wahid mengenai mitra sejajar antara perempuan dan laki-laki dapat kita lacak dari tulisan dan sikapnya selama di kepengurusan NU. Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki secara ajaran agama Islam memiliki posisi yang sama.”
Konsep “mitra sejajar” Gus Dur sedikitnya tergambar dalam Makanah al-Mar’ah fi al-Islam. Yakni Kedudukan Perempuan dalam Islam, yang lahir dari Munas NU di Lombok pada tahun 1997 M. Sewaktu Gus Dur menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, beliau menegaskan bahwa, Islam mengakui hak perempuan sama dengan hak laki-laki. Yakni dalam hal pengabdian kepada agama, nusa, dan bangsa. Selain itu, juga menegaskan kalau ajaran Islam menempatkan perempuan pada posisi setara dengan laki-laki.
Konsep mitra sejajar ini mendukung implementasi Sikap Keagamaan KUPI II. Di mana ada penegasan bahwa, “Hukum menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah wajib bagi setiap warga negara.” Dan juga, “Hukum peminggiran perempuan yang berdampak pada tidak terjaganya NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah haram bagi setiap lembaga Negara, masyarakat sipil, organisasi sosial dan keagamaan sesuai dengan otoritas yang dimilikinya.” Sebab, pada dasarnya kita semua, baik laki-laki dan perempuan, harus ber-mitra sejajar dalam upaya mewujudkan kehidupan damai yang jauh dari tindak kekerasan.
Yang Menjadi Lawan Bersama
Semangat “mitra sejajar” sejalan dengan pesan dalam Surah al-‘Asr ayat 1-3: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran, dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Laki-laki dan perempuan harus saling nasehat-menasehati. Artinya ber-mitra sejajar, dalam memperjuangkan kebenaran. Jika yang kita lakukan malah sebaliknya–tidak ber-mitra sejajar, membangun sekat oposisi biner. Atau men-superior-kan pihak yang satu dari yang lain. Maka hasilnya hanyalah sebuah kerugian. Kerugian itu bisa kita pahami berupa ketidakadilan dan laku kekerasan, yang lahir dari tatanan kehidupan patriarki yang menyalahi prinsip ketauhidan.
Oleh karena itu, adalah tepat Sikap Keagaman KUPI II yang menegaskan bahwa, “Semua pihak bertanggung jawab untuk melindungi perempuan dari segala bentuk bahaya kekerasan atas nama agama. Terutama negara dalam berbagai tingkat otoritasnya, lembaga keagamaan, lembaga sosial, dunia usaha, masyarakat sipil, keluarga, dan media.” Sebab, pada dasarnya kekerasan atas nama agama, atau dalam bentuk apapun, merupakan musuh kita bersama dalam mewujudkan peradaban yang berkeadilan. []