• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Monumen

Mubadalah dalam Sorotan: Sebuah Perbandingan Ide Resiprokal (3)

Menakar gagasan yang dimiliki oleh para sarjana merupakan hal yang penting agar tidak terjerembab dalam fanatisme ketokohan

Moh. Nailul Muna Moh. Nailul Muna
18/04/2024
in Monumen, Rekomendasi
0
Ide Resiprokal

Ide Resiprokal

806
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Ide resiprokal atau timbal balik yang notabene menjadi salah satu sudut pandang dalam mengkaji isu feminisme dalam Islam dimiliki oleh beberapa tokoh. Di antara tokoh yang teridentifikasi secara jelas menawarkan ide tersebut yakni Faqihuddin Abdul Kodir dan Ahmed An-Nā’im. Baca sebelumnya di “Perdebatan Awal” dan Gagasan Resiprokal An-Naim.

Alih-alih bersikap jumud dalam memaknai konsep-konsep kesalingan, Faqihuddin menawarkan term yang menarik dengan memilih diksi dari bahasa Arab yakni mubādalah. Di seberang lainnya, An-Nā’im menggunakan terminologi reciprocity yang ia ambil dari  bahasa Inggris sebagai penyebutan dari gagasannya.

Adapun benang merah dari gagasan resiprokal Faqihuddin dan an-Na’im yakni: Pertama, pemberlakuannya secara umum pada semua manusia. Artinya, ide tersebut tidak terbatas pada golongan muslim saja. Kedua, menganggap bahwa prinsip resiprokal itu bersifat saling menguntungkan. Ketiga, penafsiran teks keagamaan sebagai salah satu tahapan untuk menerapkan prinsip resiprokal.

Dengan adanya persamaan ini, Faqihuddin terkesan terlewat dalam kajian literaturnya untuk menyebut sosok An-Nā’im yang datang lebih awal. Meski hal ini bisa bersifat subjektif namun dapat menjadi sorotan bagi kajian akademiknya.

Apalagi mubādalah berangkat dari karya disertasinya yang berjudul Interpretation of Hadith for Equality between Women and Men: Reading Tahrir al-Mar’a fi’Asr al-Risala by’Abd al-Halim Muhammad Abu Shuqqaa. Pada karya tersebut, Faqihuddin juga tidak menyebutkan adanya peran dan gagasan reciprocity yang datang dari an-Nā’im.

Baca Juga:

Membaca Ulang Ayat Nusyuz dalam Perspektif Mubadalah

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

Doa, Mubadalah, dan Spirit Penguatan Perempuan: Catatan Reflektif dari Kuala Lumpur

Semua Adalah Buruh dan Hamba: Refleksi Hari Buruh dalam Perspektif Mubadalah

Perbedaan Ide Resiprokal

Meski demikian, pembaharuan dari ide resiprokal juga tampak dari Faqihuddin, perbedaan gagasan resiprokal keduanya yakni: Pertama, konsep resiprokal an-Na’im ditujukan secara luas, bersifat global dan tanpa adanya sekat, dengan tanpa adanya batasan-batasan kultur, agama, bahasa dan ras.

Hal tersebut sedikit berbeda dibanding dengan gagasan reciprocity yang ditawarkan oleh Faqihuddin yang berangkat dari teks agama, dan berada dalam upaya rekonstruksi ajaran agama Islam melalui praktik-praktik yang dianggap menyimpang. Kedua, resiprokal an-Nā’im menyasar pada tema hak-hak manusia secara umum. Sedangkan Faqihuddin mengarahkannya lebih spesifik pada ketimpangan gender.

Ketiga, an-Nā’im mengaitkan ide resiprokalnya secara erat dengan hukum perundang-undangan resmi milik negara. Sedangkan Faqihuddin lebih kepada tawaran-tawaran pembacaan ulang yang bersifat agamis. (Baca: dakwah).

Maka tidak heran, gagasan resiprokal an-Nā’im lebih sesuai jika disebut sebagai alat untuk mendekonstruksi syariah. Sedangkan gagasan resiprokal Faqihuddin mengarah kepada unsur dakwah agama. Keempat, prinsip hukum yang dicari oleh an-Nā’im tidak berhenti pada hukum agama Islam, namun menghubungkannya dengan prinsip hukum internasional dan kemanusiaan yang meniscayakan hilangnya sekat-sekat agama.

Sementara itu prinsip keadilan mubādalah berhenti pada maqāshīd dari agama Islam itu sendiri. Kelima, gagasan mu‘awadah (reciprocity atau retribution) milik an-Nā’im terinspirasi dari Mahmud Mohammad Ṭahā. Sedangkan Faqihuddin menyebut tiga jenis inspirasi dari gagasan qirā’ah mubādalah, yakni tradisi klasik, ulama kontemporer (Abū Syuqqah), dan ulama, pemikir Indonesia.

Penerapan Konsep Resiprokal

Secara praktis, penerapan konsep resiprokal an-Nā’im dan Faqihuddin sama-sama beririsan. Konsep reciprocity atau mu‘awadah diupayakan oleh an-Nā’im agar bisa menyasar pada ruang-ruang kehidupan secara global dan dilakukan melalui sudut pandang hak kemanusiaan secara umum. Sedangkan kesalingan mubādalah lebih menyasar pada hak kemanusiaan perempuan dan sumber keagamaan Islam.

Meski demikian, bukan berarti konsep mu‘awadah an-Nā’im tidak membicarakan gender dan perempuan. Ia secara khusus membahas tentang diskriminasi atas nama gender dan agama. Seperti kasus tentang talāq dan warisan yang mana dua hal tersebut juga Faqihuddin bicarakan.

Pada kasus yang lain perihal kekerasan, keduanya juga memberikan perhatian yang besar, meski an-Nā’im mencoba menerapkannya lebih luas merujuk ke hak manusia secara global. Sebagai bukti, prinsip mu‘awadah menganggap konsep hudūd (qiṣaṣ mata dengan mata) berasal dari sumber fundamental kehidupan.

Konsep tersebut bukan dari hanya sekedar konsep beragama, meski memang ditemukan dalam teks keagamaan. Prinsip tersebut selayaknya diapresiasi oleh manusia di dunia, bukan hanya terbatas sekelompok penganut agama tertentu. Sedangkan contoh kasus mubādalah mengarah pada larangan pemukulan kepada istri yang membangkang nusyūz.

Dalam hal ini, Faqihuddin menganggap pentingnya konsep ṣulh untuk mengatasi problem nusyūz. Ia juga menambahkan bahwa nusyūz bukan hanya berlaku pada istri, namun juga pada suami. Berdasarkan prinsip, kedua-duanya sama agar menerapkan adanya penghukuman yang sebanding antara satu dengan lainnya, namun fokus mubādalah berada pada ruang-ruang sosial-keagamaan yang tidak ramah dengan perempuan.

An-Nā’im memilih untuk berangkat dari beberapa fenomena dan konsep di agama Islam namun ia mencoba menggeneralisasi nilai yang ada di konsep dan fenomena tersebut.

Gagasan An-Naim

Di antara contoh lain penerapan gagasan Ahmed An-Nā’im dalam kasus sensitif perempuan, semisal poligami. Bagi Ahmed An-Nā’im bahwa pemaknaan poligami jika dibaca secara lengkap melalui Al-Quran maka memunculkan prinsip penafsiran baru yang mengarahkan adanya pembatasan dalam perilaku poligami.

Selain itu, lelaki dan perempuan memiliki kesamaan mutlak di depan hukum. Makna lengkap tersebut berkaitan dengan (QS. An-Nisā’[4]:3) yang mensyaratkan keadilan, sedangkan (QS. An-Nisā’[4]: 129) menunjukkan kemustahilan dalam meraih keadilan dalam poligami.

Oleh karena itu, kedua ayat tersebut menjadi petunjuk penghapusan praktik poligami. Sebab, Al-Quran telah mengesankan penolakan secara gradual. Pembacaan yang dilakukan an-Nā’im ini dengan mempertimbangkan aspek historisitas yang terjadi di masa lalu, di mana jumlah laki-laki lebih sedikit akibat perang dan mereka meninggalkan wanita janda yang memiliki risiko untuk hidup melarat dan tak berdaya jika tanpa pendamping melalui praktik poligami.

***

Sebagai penutup, tulisan sederhana ini saya hadirkan sebagai upaya apresiasi dari gagasan kedua tokoh tersebut, sekaligus membandingkan sejauh mana tujuan yang ingin dihasilkan keduanya dalam mendobrak ketimpangan yang ada di masyarakat, semisal dalam kaitannya dengan isu-isu marjinalisasi perempuan di struktur sosial.

Kredit atas kedua tokoh tersebut hemat penulis layak untuk kita berikan, sebab Faqihuddin maupun an-Nā’im terbukti berhasil mempengaruhi para sarjana untuk mengikuti produk pemikiran mereka. Lebih dari itu, menakar gagasan yang dimiliki oleh para sarjana merupakan hal yang penting agar tidak terjerembab dalam fanatisme ketokohan. []

Tags: Ahmed An-Na'imDr. Faqihuddin Abdul KodirIde ResiprokalMetodologiMubadalah
Moh. Nailul Muna

Moh. Nailul Muna

Penulis berasal dari Lamongan. Ia merupakan alumni PBSB S1 UIN Sunan Kalijaga dan LPDP S2 UIN Syarif Hidayatullah dengan jurusan IAT. Latar belakang pendidikan non-formalnya yakni: PP. Matholi’ul Anwar, LSQ Ar-Rahmah, Sirojut Ta'limil Quran, Al-Munawwir, PPA. Nur Medina, dll. Beberapa kajian yang pernah digeluti penulis antara lain, kepesantrenan, Tafsir, Hadis, dan gender yang menjadi tema tesis. Pada saat ini penulis sedang mengabdi di UIN Saizu, UNU Purwokerto dan PESMA An Najah.

Terkait Posts

Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Perempuan Fitnah

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

15 Mei 2025
Pendidikan Seks

Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

14 Mei 2025
Kebebasan Berekspresi

Kebebasan Berekspresi dan Kontroversi Meme Prabowo-Jokowi

13 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

    KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version