Mubadalah.id – Salah satu sektor yang paling terdampak akibat pandemic covid-19 adalah perekonomian, terutama pada kelompok masyarakat menengah ke bawah. Perubahan siklus keuangan ini menyebabkan hilangnya fungsi keseimbangan dalam rumah tangga.
Alih-alih mencari solusi dan jalan keluar, ketidakmampuan dalam mengelola perekonomian ini justru berakhir di meja hijau melalui perceraian. Di tahun 2020, kasus perceraian mengalami lonjakan 80%, dari 20.000 kasus menjadi 57.000 kasus, dan mayoritas diajukan oleh pihak istri.
Lonjakan kasus cerai gugat (cerai yang diajukan pihak istri) ini disebabkan karena pandangan patriarkis dan pembagian peran dalam rumah tangga yang hanya membebankan tanggungjawab nafkah kepada pihak suami, dan membebankan urusan domestic kepada istri. Hal itu tampak dari pasal 34 Undang- Undang Perkawinan No.1 tahun1974, yang menyatakan: “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan berumah tangga sesuai dengan kemampuannya” dan pada pasal selanjutnya disebutkan “Isteri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya.”
Undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia memisahkan peran domestik dan publik berdasarkan jenis kelamin. Pun demikian dengan tradisi dan pemahaman yang mengakar pada mayoritas masyarakat kita dewasa ini. Seperti pada tradisi Jawa yang meletakkan posisi istri sebagai konco wingking saja bagi suami. Kondisi ini tak hanya merugikan pihak istri, namun juga merugikan pihak suami. Terlebih saat kondisi pandemic seperti ini.
Membangun relasi mubadalah dalam hubungan suami istri
Undang-undang perkawinan yang patriarkis tersebut bukan lahir secara tiba-tiba. Aturan mengenai hak dan kewajiban suami istri yang membedakan ranah publik dan domestik berdasarkan jenis kelamin didasari atas pemahaman fiqih literalis. Laki-laki berdasarkan pemahaman QS an-Nisa [4]: 34 diberi mandat untuk bertanggungjwab menafkahi perempuan. Kalimat qawwam dalam ayat tersebut diartikan dengan keutamaan, sehingga dalam kondisi apapun hanya pihak laki-laki yang dituntut untuk memenuhi nafkah.
Timbal balik dari nafkah yang diberikan suami adalah kemahiran istri dalam memenuhi dan memuaskan kebutuhan biologis. Sehingga pemahaman yang muncul adalah hak perempuan ada pada nafkah dan hak laki-laki ada pada kepuasan biologis. Ketidakmampuan salah satu pihak acapkali dijadikan legitimasi pihak lainnya untuk menuntut perceraian.
Melihat bagaimana pembagian peran ini berdampak cukup signifikan selama pandemi, maka perlu membangun relasi alternatif yang menempatkan suami istri sebagai mitra, partner bekerjasama dalam mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah bukan relasi transaksional. Suami istri harus meninggalkan cara lama dalam membangun rumah tangga. Perubahan kondisi, sosial, geografis menuntut adanya relasi kesalingan (mubadalah).
Relasi mubadalah ini mengandung semangat kesalingan, timbal balik, resiprokal. Menempatkan suami dan istri dalam kedudukan yang sama dalam rumah tangga. Tanpa ada dominasi, ketergantungan, untuk mewujudkan rumah tangga yang harmonis, dan kokoh, pun jika permasalahan dalam rumah tangga sedang menghampiri.
Lima Pilar Pernikahan dalam Perspektif Mubadalah
Membina keluarga yang harmonis adalah visi yang harus dibangun oleh suami-istri. Guna mencapai tujuan tersebut dibutuhkan pilar-pilar penyangga untuk merealisasikan visi tersebut dalam kehidupan di dunia sekaligus menggapai kebahagiaan di akhirat. Menurut Kiai Faqih Abdul Kodir, terdapat lima pilar pernikahan yang harus dijadikan pedoman suami-istri dalam membangun rumah tangga, antara lain:
Pertama, perjanjian yang kokoh. Karena pernikahan adalah ikatan yang kokoh, maka baik suami maupun istri harus memperkuat komitmen untuk menjalankan rumah tangga dengan sebaik mungkin, dan segera mencari solusi jika menghadapi masalah. Suami harus memberlakukan istri sebagaimana ia ingin dilayani.
Tidak membebankan tanggungjawab hanya kepada satu pihak saja. Ketika terjadi permasalahan ekonomi, istri tidak hanya menuntut suami, namun juga harus berusaha untuk segera mencari solusi. Demikian pula jika istri merasa kesulitan dalam menjalankan peran domestik, maka suami harus dengan rela membantu.
Kedua, berpasangan. Sebagaimana ditulis dalam Qs. Al-Baqarah [2]: 187 dinyatakan bahwa suami adalah pakaian istri, dan istri adalah pakaian suami. Oleh karena itu, keduanya harus saling melindungi demi mewujudkan keharmonisan keluarga. Masalah suami adalah masalah istri, begitupula dengan sebaliknya. Sehingga Ketika menghadapi permasalahan rumah tangga, satu sama lain harus saling men-suport, terbuka, dan komunikatif.
Ketiga, muasyarah bil ma’ruf. Suami-istri dalam mengambil keputusan dalam rumah tangga harus didasarkan atas kebaikan bersama. tidak boleh mengambil keputusan berdasarkan paksaan. Misal dalam menentukan pembagian peran dalam rumah tangga, memutuskan berapa anak yang akan dilahirkan, pembagian waris bagi anak, harus didasarkan atas kebaikan Bersama. tidak boleh ada salah satu pihak yang mendominasi yang lainnya dan merasa memiliki superioritas lebih dalam rumah tangga.
Keempat, komunikatif. Ketika salah satu sumber penghasilan dalam keluarga menghadapi sebuah permasalahan, pihak yang bersangkutan harus segera berembuk dan saling tukar pikiran. Tidak menanggung permasalahnnya sendiri sehingga pihak yang lain merasa diabaikan. Diskusi dengan pasangan adalah salah satu amanat dalam Qs. Al-Baqarah [2]: 233. Dengan membuka komunikasi, sama sekali tidak mengurangi kehormatan baik suami maupun istri.
Kelima, kerelaan. Kerelaan adalah penerimaan paling puncak untuk menciptakan ketenangan dalam rumah tangga. Ketika empat pilar sebelumnya telah terealisasi, maka kenyamanan tersebut akan hadir di tengah keluarga. Istri rela untuk bekerja demi keluarga, dan suami rela untuk mengerjakan peran domestik. Tanpa pemisahan, tanpa sekat, menjalankan apa yang sekiranya bisa dikerjakan didepan mata. Sehingga ketika permasalahan menghampiri, suami-istri segera mencari alternatif terbaik dengan menjalankan penuh kerelaan.
Jika kelima pilar ini diterapkan dalam rumah tangga, maka akan mendatangkan keberkahan dan kebaikan untuk semua. Tidak saling menuntut, tidak saling menyalahkan, dan tidak terbebani dengan pembagian peran yang otoriter tanpa musyawarah. Karena sesungguhnya akad yang diucapkan suami saat pernikahan adalah awal dari terjalinnya relasi kesalingan untuk sama-sama menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Dalam menjalankan ibadah sepanjang hayat tersebut, masing-masing pihak harus bersikap baik antara satu dengan yang lainnya.
Terlebih di tengah pandemi seperti ini, perubahan yang cepat berdampak pada stabilitas ketahanan keluarga. Maka yang dibutuhkan adalah sikap terbuka, sikap pengertian, sikap saling mendukung, tidak saling menyalahkan, dan tidak pula membebankan suatu urusan kepada salah satu pihak saja. Perubahan relasi menuju relasi kesalingan yang adaptif dengan perubahan kondisi di luar adalah suatu keharusan dan harus disegerakan dalam rumah tangga. []