Mubadalah.id – Jika merujuk beberapa teks Hadis, terutama saat Nabi Saw menghadapi permasalahan dengan perempuan, Beliau tidak pernah menggunakan media kekerasan, kata-kata penghinaan, ucapan kotor, apalagi pemukulan.
Karena secara prinsip, kekerasan dan pelecehan tidak diperkenankan dalam Islam. Ia bisa diperkenankan ketika nyata memberikan dampak positif pada proses pendidikan (lil ishlah bainahuma). Ketika ia tidak memberikan dampak positif, maka ia kembali pada hukum semula haram. Nabi Saw sendiri tidak menganjurkan dan tidak melakukannya sepanjang hidup beliau.
Dengan begitu, orang-orang yang menjadikan Nabi Saw sebagai teladan (uswah hasanah). Maka semestinya tidak pernah berpikir untuk memukul perempuan seperti yang tidak pernah Nabi Saw lakukan. Bahkan tidak memperkenankan siapapun untuk memukul perempuan seperti yang juga Nabi Saw tidak pernah membolehkan.
Apalagi menganjurkan pemukulan dengan mengatasnamakan agama, karena justru Nabi Saw menganggap mereka yang memukul perempuan sebagai orang yang tidak bermoral baik.
Seperti yang Imam Ali bin Abi Thalib ra katakan: “Hanya orang-orang mulia yang akan memuliakan perempuan, dan hanya orang-orang hina yang menistakan perempuan”.
Atas berbagai pertimbangan di atas, pandangan fiqh ada saat sekarang ini seharusnya memilih dan menegaskan ijihad yang telah Imam Atha’ sampaikan pada abad pertama hijriah.
Pandangan Syaikh Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur
Demikianlah yang dilakukan ulama terkemukan dari Maroko, Syaikh Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur (w. 1393H/1973M).
Dia menyatakan bahwa wewenang “memukul istri” diberikan kepada suami demi kebaikan kehidupan rumah tangga. Ketika pemukulan tidak lagi bisa efektif untuk memulihkan kehidupan rumah tangga yang baik, seperti yang terjadi pada saat-saat sekarang ini, maka wewenang itu bisa dicabut.
Bahkan, pemerintah bisa melarang tindakan pemukulan itu dan menghukum mereka yang tetap menggunakan pemukulan sebagai media pemulihan hubungan suami-istei. Ada banyak cara yang lebih manusiawi untuk memulihkan hubungan suami-istri, yang tidak menistakan perempuan.
“Jika para penguasa (pemerintah) menjumpai para suami tidak lagi bisa menempatkan hukuman syari’ah secara benar dan pada tempatnya, dan tidak bisa berhenti pada batasan-batasannya yang telah Islam tentukan. Maka pemerintah boleh mencabut hak penghukuman dari tangan mereka. Dan pemerintah juga memberitahukan pada para suami itu, bahwa orang yang memukul istrinya, justru akan kita berikan sanksi. Agar kekerasan antara suami dan istri tidak menjadi semakin besar, apalagi ketika “spirit keimanan’ sudah melemah.” (Ismail Hasani, 1999: hal. 210). []
Sumber: Buku Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir.