Mubadalah.id – Salah satu ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa hingga hari ini, pernikahan bagi sebagian orang, kerap kali masih dimaknai sebagai legalisasi hubungan seks.
Perempuan, kata Bu Nyai Badriyah, lebih menjadi sebagai objek yang keberadaannya secara suka-suka oleh laki-laki tentukan sendiri. Hak talak dianggap sebagai hak mutlak laki-laki, menyedihkan.
Lebih menyedihkan lagi, masih banyak yang beranggapan bahwa semua itu tidak ada masalah karena agama membolehkan.
Agama menjadi tameng praktik pelecehan lembaga pernikahan dan pelecehan terhadap perempuan. Nikah sirri pun menjadi pilihan cara untuk melegalkan semuanya.
Benarkah Islam Membenarkan Nikah Sirri
Bu Nyai Badriyah menanyakan benarkah Islam membenarkan praktik-praktik perkawinan sirri ?
Menurut Bu Nyai Badriyah, inilah pertanyaan kritis yang mesti kita ajukan kepada diri sendiri, dan sekaligus mesti kita jawab sendiri sesuai kondisi kita saat ini.
Menyerahkan jawaban atas pernyataan ini, kata dia, semata-mata kepada pendapat-pendapat ahli fiqh masa lalu bisa menjadikan kita terjebak dalam formalitas hukum yang tidak mampu menangkap keadilan substantif.
Sebab, fiqh itu sendiri adalah produk pemikiran yang tidak terlepas dari konteks sosiologi dan antropologis pada masanya masing-masing.
Sayangnya, Bu Nyai Badriyah memaparkan, banyak umat Islam yang menutup mata pada realitas saat ini di mana rasa keadilan publik, rasa keadilan perempuan, rasa keadilan anak, serta rasa keadilan kelompok lemah dan rentan semakin mendapat tempat dalam sistem politik dan budaya masyarakat dan negara.
Fiqh adalah pemikiran Islam yang bersifat ijtihadi. Demikian pula fiqh munakahat (fiqh perkawinan).
Indonesia sebagai bangsa, bersama sebagian besar bangsa berpenduduk mayoritas Muslim di seluruh dunia, telah melakukan reformasi fiqh munakahat secara cukup signinifikan sejak tahun 1970-an.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum Islam yang men-sahkan melalui Inpres Nomor 1 tahun 1991, adalah terobosan fiqh yang positif menjadi hukum nasional yang menjadikan keadilan bagi perempuan sebagai salah satu dasar pertimbangannya.
Jika saat ini ada norma-norma yang perlu menyesuaikan, maka itu merupakan hal yang wajar karena UU itu sudah lebih dari 40 tahun berlaku, dan KHI telah lebih dari 20 tahun menjalankannya. (Rul)