Mubadalah.id – Anugerah tuhan Yang Mahakuasa memang tak pernah surut. Begitulah kiranya perasaan yang kini merasuki jiwa sanubari Nnena Kalu. Siapakah sosoknya?
Sebagai penyandang difabel, ia sukses merenggut anugerah Turner Prize 2025. Selaku pemenang, Nnena Kalu berhak mengantongi hadiah sebesar 25,000 poundsterling atau setara 554 juta.
Tapi, tentu ini tak sekadar soal hadiah. Lebih dari itu, kita akan melihat bagaimana sosok Nnena melawan tiga sekat yang selama ini kerap dianggap membatasi: difabilitas, keperempuanan, juga kulit hitam.
Seni sebagai laku ekspresi
Nnena Kalu adalah seorang seniman yang jago mengolah pola gambar serta menyusun warna-warna. Kepiawaiannya juga merambah seni instalasi, di mana jiwa artistiknya bisa berpadu akrab dengan kecanthasan tangannya.
“Dia (Nnena Kalu) adalah sosok yang memiliki banyak keterampilan selama bertahun-tahun,” beber manajer Kalu, Charlotte Hollinshead, sebagaimana warta The Guardian.
Kalu merupakan seorang keturunan keluarga Nigeria. Sudah barang tentu, ia berkulit hitam. Ia juga memiliki kemampuan berbeda (difabilitas) dalam berkomunikasi. Ia lahir di Glasgow pada tahun 1966.
Di usianya yang masih belia, Kalu dan keluarganya mesti pindah ke London. Mereka tinggal di kamp penampungan imigran yang dekat dengan studio amal ActionSpace.
ActionSpace merupakan galeri dan ruang kreasi yang berfokus pada pengembangan seni untuk penyandang difabel. Otoritas London di era itu telah menaruh cukup perhatian pada pengembangan seni untuk kelompok subaltern.
Di sana, Kalu mengenal sosok Charlotte Hollinshead yang kemudian menjadi manajernya. Sejak membersamai Kalu dari tahun 1999, Hollinshead mengaku jika senimannya itu punya bakat yang luar biasa.
Atensi dunia yang tak buta
Meskipun berstatus sebagai seorang penyandang autisme, Kalu punya daya eksplorasi kreatif yang sangat luas. Daya imajinasinya, utamanya soal desain, bentuk, dan warna, seringkali membuat takjub siapapun.
“Sejak awal, saya tahu bahwa Nnena punya bakat kuat pada seni skulptur. Ia sungguh membuat kami amazed,” kata Hollinshead.
Berkat hibah yang ActionSpace peroleh pada tahun 2010, Nnena Kalu punya ruang kreasi yang lebih luas. Hal itu ia manfaatkan untuk terus mengasah hasil seninya. Ia kian ranjing berkarya.
Tahun 2016, Kalu mengikuti pameran Laure Prouvost di Belgia. Dua tahun kemudian, ia mengikuti pameran internasional di Glasgow. Lalu, di 2024, untuk pertama kalinya Kalu membuka galeri komersialnya sendiri.
Perhatian juri Turner Prize 2025 lekas mengarah padanya saat pameran di Barcelona. Kalu dengan difabilitas yang ia miliki nyatanya bisa menunjukkan seni berkualitas.
“Karya Nnena merupakan seni pilihan berkualitas tinggi. Sebagai seorang seniman yang mengidap autisme, juga dengan keterbatasan komunikasi, ia adalah sosok yang mungkin sebelumnya tak pernah dipertimbangkan,” tutur Ketua Juri Turner Prize 2025, Alex Farquharson.
Ruang seni bagi difabel: teladan Solo!
Kisah Nnena Kalu tentu dapat menjadi pelajaran penting. Kalu telah menjadi figur yang mendobrak tiga sekat sekaligus. Ia seorang perempuan, kulit hitam, juga difabel yang moncer berprestasi.
Tentu kisah Kalu tak boleh sekadar menjadi inspirasi semata. Kita perlu bersama-sama mewujudkannya dalam wujud riil. Yakni, membangun ruang kreasi seluas-luasnya bagi seniman penyandang difabilitas.
Kota Solo barangkali dapat menjadi panutan. Akhir November (21/11) lalu, kota yang masyhur dengan kuliner Nasi Liwet itu menghelat gelaran INDACT (Indonesian Disability Art & Culture) 2025.
Mengutip akun Genpi Solo Raya, inisiasi penyelenggaraan INDACT 2025 bertujuan untuk merayakan keberagaman dan kreativitas. Selama tiga hari, panitia menyajikan berbagai kegiatan inklusif dan inspiratif, seperti pameran, lokakarya, hingga seminar.
Selain itu, ada pula Pasar Festival yang menyajikan berbagai barang, semisal hasil kriya (craft), fashion, hingga kuliner. Upaya tersebut dapat menstimulasi publik untuk lebih peka dengan keberadaan para difabel yang acap tersisih.
Padahal, para penyandang difabel perlu beroleh ruang ekspresi. Mereka berhak untuk secara mandiri berdaya, berkarya, dan bebas dari stigma belas kasihan. Merdeka sebagai manusia seutuhnya! Sudah siap menjadi penikmat seni karya para kawan difabel? []











































