Mubadalah.id – Dunia akademik di Indonesia kembali mencatat sebuah capaian penting melalui sosok Nyai Hindun Anisah. Pada sidang terbuka promosi doktor di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), ia berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Gerakan Ulama Perempuan Indonesia: Studi atas Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) sebagai Gerakan Baru Perempuan Indonesia”.
Disertasi ini bukan hanya buah dari kerja intelektual yang mendalam, melainkan juga sebuah sumbangan berharga dalam memetakan peran ulama perempuan di tanah air. Melalui risetnya, Nyai Hindun menegaskan bahwa kehadiran ulama perempuan bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian penting dari bangunan peradaban Islam Nusantara yang berkeadilan dan inklusif.
KUPI sebagai Inspirasi Gerakan Intelektual
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menjadi titik berangkat utama riset Nyai Hindun. Ia memandang KUPI bukan hanya sebagai peristiwa historis, melainkan tonggak lahirnya ruang dialog baru bagi ulama perempuan.
Kongres pertama berlangsung pada 2017 di Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, yang melahirkan Ikrar Kebon Jambu. Sementara kongres kedua digelar di Jepara pada 2022 dengan Ikrar Bangsi Jepara yang menegaskan komitmen melawan pemaksaan perkawinan, kekerasan berbasis gender, dan segala bentuk diskriminasi.
Bagi Nyai Hindun Anisah, KUPI hadir sebagai forum moral sekaligus wadah intelektual. Ia bukan organisasi dengan struktur hierarkis, tetapi sebuah jaringan yang menghubungkan para ulama perempuan, akademisi, aktivis, dan pemangku kebijakan. Dari ruang perjumpaan inilah lahir gagasan bahwa suara perempuan dalam keulamaan layak kita posisikan sejajar dengan laki-laki.
Dengan menjadikan KUPI sebagai objek kajian, disertasi Hindun menyoroti dimensi baru dari gerakan perempuan Indonesia—yakni gerakan yang berakar pada nilai-nilai Islam Nusantara namun berpikiran maju. Penelitiannya memotret bagaimana KUPI menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi patriarki, sekaligus menandai kebangkitan ulama perempuan sebagai agen transformasi sosial.
Menembus Sekat Patriarki dan Tantangan Otoritas
Salah satu temuan penting dalam riset Nyai Hindun Anisah adalah tantangan legitimasi yang masih dihadapi ulama perempuan. Meski memiliki kapasitas keilmuan, suara mereka kerap dipandang sekunder di tengah dominasi otoritas keagamaan laki-laki. Banyak kalangan masih enggan mengakui fatwa, ceramah, atau pemikiran ulama perempuan sebagai sumber otoritatif.
Fenomena ini bukan hal baru. Dalam sejarah Islam, tokoh-tokoh perempuan seperti Aisyah RA sudah membuktikan kiprahnya sebagai perawi ribuan hadis dan guru bagi banyak ulama laki-laki. Namun, seiring perjalanan waktu, konstruksi patriarki membuat peran perempuan dalam keulamaan tersisih.
Nyai Hindun menilai bahwa resistensi ini terus berlangsung di Indonesia, meski perlahan mulai mengalami perubahan. Kehadiran KUPI menjadi ruang artikulasi baru, sekaligus benteng yang memperkuat posisi perempuan. Media sosial dan jaringan digital pun memberi energi tambahan, memungkinkan ulama perempuan menjangkau audiens lebih luas dan meneguhkan otoritas mereka.
Namun demikian, Hindun mengingatkan bahwa jalan menuju kesetaraan sejati masih panjang. Tugas ulama perempuan bukan hanya membuktikan kompetensinya, tetapi juga menegakkan nilai-nilai Islam yang menolak diskriminasi. Dengan begitu, keulamaan perempuan tidak lagi dipandang sebagai pengecualian, melainkan bagian integral dari tradisi keilmuan Islam itu sendiri.
Prestasi Akademik dan Makna Kolektif
Keberhasilan Nyai Hindun meraih gelar doktor dengan nilai gemilang bukan semata pencapaian personal, melainkan kemenangan kolektif bagi dunia akademik dan gerakan perempuan. Sidang promosi doktornya dipimpin oleh Ahmad Su’adi dengan kehadiran para penguji ternama, sementara proses pembimbingan dilakukan oleh Prof. Maria Ulfah Anshor dan Dr. Ginanjar Sya’ban.
Kualitas akademik disertasinya mendapat apresiasi tinggi, tidak hanya karena ketajaman analisis, tetapi juga karena relevansinya dengan tantangan sosial-keagamaan kontemporer. Sebagai anggota DPR RI, Nyai Hindun membawa perspektif akademis tersebut ke ranah kebijakan, sehingga penelitian ini berpotensi berdampak langsung terhadap regulasi yang lebih berpihak pada perempuan.
Capaian ini juga mempertegas posisi UNUSIA sebagai pusat kajian Islam Nusantara yang melahirkan ilmuwan dengan perspektif kritis dan progresif. Disertasi Hindun menjadi saksi bahwa pergulatan akademik dapat berpadu dengan perjuangan sosial, menghadirkan ilmu yang hidup, menyapa, dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat.
Dari Disertasi ke Perubahan Sosial
Nyai Hindun Anisah berhasil membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dapat menjadi alat perjuangan, bukan hanya sekadar catatan akademis. Disertasinya tentang gerakan ulama perempuan mengukuhkan bahwa perempuan memiliki hak penuh untuk berkontribusi dalam khazanah keilmuan Islam.
Lebih dari sekadar gelar doktor, pencapaian ini menjadi simbol kebangkitan intelektual perempuan Indonesia. Ia membuka jalan bagi generasi baru ulama perempuan yang tak lagi sekadar “pendamping,” melainkan pemimpin pemikiran.
Dengan karya ilmiahnya, Nyai Hindun menegaskan bahwa keadilan gender bukan hanya agenda sosial, tetapi juga bagian dari misi keagamaan. Inilah warisan berharga yang diharapkan terus bergema, tidak hanya di ruang akademik, tetapi juga dalam kehidupan umat sehari-hari. []