Mubadalah.id – Ibunda Gusdur termasyhur dengan nama Solichah Wahid, perempuan agung yang sejak kecil akrab terpanggil Munawwaroh atau Neng Waroh lahir di Jombang, 11 Oktober 1922. Putri ke-5 yang lahir dari pasangan tokoh besar NU, yaitu Kiai Bisri Syansuri dan Nyai Chadijah.
Ibunda Gusdur lahir di lingkungan pesantren yang setiap waktunya bersentuhan langsung dengan dunia pendidikan dan pengawasan ketat orangtuanya. Kiai Bisri Syansuri mendidik anak-anaknya di Madrasah diniyah yang berada dalam naungannya dengan metode tradisional, sama seperti santri yang lainnya.
Hanya saja sebagai bekal tambahan untuk mengajarkan santri-santri kelas bawah, Kiai Bisri memberikan tambahan pelajaran pribadi seusai salat dzuhur dan Isya’. Hal ini ditegaskan oleh putra Kiai Bisri, KH. Salahuddin Wahid dalam buku yang berjudul Sama tapi Berbeda : Potret Keluarga KH. A. Wahid Hasyim karya Ali Yahya bahwa transfer nilai-nilai ke-Islaman Mbah yai dan mbah nyainya kepada ibundanya berjalan dengan sangat baik terutama dalam hal keteladanan.
Dari pengalaman mengajar santri, membuat pribadi Ibunda Gusdur ini, berpengetahuan luas dan lebih maju meskipun belum mengenal tulisan latin. Terbukti dengan kemampuan leadershipnya mengatur penugasan terhadap saudara-saudara dan santrinya, serta memiliki banyak gagasan.
Di zaman Ibunda Gusdur belia, perjodohan adalah sebuah tradisi yang wajar di kalangan anak-anak ulama. Pun yang terjadi di kehidupan Neng Waroh. Ayahnya menikahkannya dengan Abdourrochim , anak dari Kiai Cholil atas titah dari KH. Hasyim Asy’ari.
Pernikahan sederhana yang terlaksana pada bulan Rajab. Beberapa saat setelah pernikahan, Abdourrochim berpamitan untuk menimba ilmu. Hingga sampai terdengar kabar duka pada usia sebulan pernikahan, Abdurrochim wafat.
Ibunda Gusdur aktif Membantu Perjuangan Para Pejuang Kemerdekaan
Tiba setelah dua tahun kepergian suami, Neng Waroh menikah dengan putra KH. Hasyim Asy’ari, yaitu KH. Wahid Hasyim. Bedanya, pernikahan kali ini bukan merupakan perjodohan antar orang tua. Melainkan pinangan KH. Hasyim Asy’ari sendiri yang murni dengan menemui KH. Bisri untuk meminang Neng Waroh yang kini terkenal dengan Nyai Solichah Wahid.
Pada saat telah pindah ke Tebuireng, Nyai Solichah mulai belajar membaca dan menulis huruf latin karena dulu di rumahnya hanya belajar kitab-kitab klasik. Kiai Hasyim Asy’ari sering membelikan buku-buku bacaan baik berbahasa Indonesia, Inggris maupun Belanda.
Keberanian Ibunda Gusdur Nyai Solichah ikut serta dalam membantu pejuang relawan perang mempertahankan kemerdekaan. Dalam catatan sejarah menceritakan bahwa Neng Waroh menyamar sebagai kurir yang bertugas membawa pesan-pesan rahasia dan makanan serta obat-obatan ke garis depan perjuangan yang ada di Mojokerto, Sidoarjo dan Jombang. Menjadi kurir dalam medan perang adalah pertaruhan yang tak mudah oleh nyali seorang perempuan.
Menurut beberapa sumber, Nyai Solichah atau Neng Waroh juga terlibat aktif dalam organisasi Fujinkai. Yaitu organisasi yang Jepang dirikan dan beranggotakan isteri-isteri pejabat.
Beliau juga aktif dalam kegiatan dapur umum, yang bertugas membantu para pejuang prajurit perang dalam mempertahankan kemerdekaan untuk memperoleh asupan makanan serta kebutuhan. Beliau juga memberikan dukungan moral terhadap mereka.
Keaktifan Nyai Solichah tidak hanya pada masa kemerdekaan, tetapi juga pasca kemerdekaan dengan terjun ke organisasi kemasyarakatan NU dan terpilih menjadi anggota DPR RI, serta turut aktif kedalam kepengurusan yayasan Dana Bantuan hingga akhir hayatnya. []