Mubadalah.id – Abu Syuqqah melalui karya buku Tahrir al-Marah fi ‘Ashr al-Risalah telah menjadi rujukan bagi khalayak untuk isu-isu kesetaraan gender. Abu Syuqqah dengan spirit Islam, mengkritik terhadap kecenderungan konservatif sebagian besar umat Islam, terutama masyarakat Arab, yang memaksa perempuan hidup di dalam rumah.
Terlebih masyarakat Arab pada waktu itu, telah melarang para perempuan untuk bekerja dan aktif di publik, menjauhkan mereka dari politik, dan mengidealkan masyarakat yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.
Lebih lanjut, Abu Syuqqah, seperti dikutip di dalam buku Qiraah Mubadalah karya Faqihuddin Abdul Kodir, telah menetapkan, semua pengalaman sahabat perempuan pada masa Nabi Muhammad Saw dengan tegas dan jelas, sebagai hadis-hadis praktikal (al-ahadits al-‘amaliyyah altathbiqiyyah) dalam semua isu relasi kehidupan antara laki-laki dan perempuan.
Ini pernyataan yang cukup radikal yang bisa memberikan otoritas pada praktik-praktik yang para sahabat perempuan lakukan pada masa Nabi Muhammad Saw.
Pernyataan Sahabat Perempuan
Pernyataan dan perbuatan para sahabat perempuan, seperti Khadijah Ra, Aisyah Ra, Ummu Haram Ra, Nusaibah binti Ka’ab Ra, Ummu Salamah Ra, Asma’ binti Abu Bakar Ra, dan yang lain menjadi contoh dari petunjuk praktis kenabian.
Melalui pernyataan dan pengalaman para sahabat perempuan, Abu Syuqqah menyusun kembali tema-tema hadis menjadi lebih tegas dan jelas. Terutama dalam mendeskripsikan ragam kehidupan dan aktivitas perempuan pada masa kenabian.
Ada banyak tema tentang karakter, kondisi, dan aktivitas perempuan pada masa itu, di dalam rumah tangga dan di ruang-ruang publik.
Ada tema tentang kepintaran perempuan, keikhlasan, ketekunan, keikutsertaan dalam hijrah dan jihad. Kemudian tema tentang perempuan yang belajar, bekerja, mengelola rumah tangga, dan bahkan menafkahi keluarga.
Semua pengalaman perempuan pada masa Nabi Muhammad Saw, jika kita eksplorasi lebih lanjut. Maka bisa menjadi fiqh tersendiri yang lebih menyuarakan jati diri dan karakter perempuan.
Untuk interpretasi ini, Abu Syuqqah mengakui bahwa bias laki-laki seringkali mempengaruhi proses pemaknaan teks-teks Islam. Karena itu, perlu metode khusus untuk pemaknaan yang lebih berimbang. Di antaranya dengan mendasarkan pada realitas sosial mengenai kondisi perempuan sekarang, dan pada prinsip-prinsip Islam yang lebih fundamental. []