Mubadalah.id – Islam mengajarkan bahwa pelajaran atau kewajiban mencari ilmu tidak ada ujung akhirnya. Sebagai akibat dari ajaran-ajaran ini maka salah satu aspek penting dalam sistem pendidikan pesantren ialah tekanan pada murid-muridnya untuk terus menerus berkelana dari satu pesantren ke pesantren yang lain.
Seorang santri seringkali dikatakan sebagai thalib al-‘ilm (seorang pencari ilmu), mencari guru yang paling masyhur dalam berbagai cabang pengetahuan Islam. Dengan demikian pengembaraan merupakan ciri utama kehidupan pengetahuan di pesantren dan menyumbangkan terbangunnya kesatuan (homogenitas) sistem pendidikan pesantren, serta merupakan stimulasi bagi kegiatan dan kemajuan ilmu.
Sedangkan pengertian santri yang dipakai dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kiai bilamana memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren untuk mempelajari kitab-kitab Islam klasik. Oleh karena itu, santri merupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren.
Berdasarkan penjelasan Zamakshary Dhofier dalam bukunya “Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia”. Pertama, santri mukim, yakni murid-mudir yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal di pesantren biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memang bertanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari.
Mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah. Kedua, santri kalong. Yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren, biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka bolak-balik (nglaju) dari rumahnya sendiri.
Sementara untuk pengertian kyai, menurut asal-usulnya, kata “kyai” dipakai untuk ketiga jenis gelar yang saling berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, seperti “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta. Kedua, gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya. Ketiga, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.
Selain gelar kyai, ia juga sering disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya). Lalu seorang yang alim ini, di kalangan umat Islam disebut pula ulama. Di Jawa Barat disebut ajengan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ulama yang memimpin pesantren disebut Kyai.
Namun di zaman sekarang, banyak juga ulama yang cukup berpengaruh di masyarakat mendapat gelar “kyai” meski mereka tidak memimpin pesantren. Jika melihat penjelasan tersebut, maka Hadratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari, masuk dalam pengertian tersebut. Beliau adalah pendiri Pesantren Tebuireng, Jombang, pendiri Nahdlatul Ulama, sosoknya merupakan seorang guru paripurna.
Ribuan santri beliau didik, dan ratusan dari mereka menjadi ulama atau kiai, pendiri pondok pesantren, atau menjadi tokoh-tokoh umat Islam. Ini belum termasuk santri-santrinya yang terbilang mustami’ (pendengar setia sang guru), ngaji sekilas kepada beliau, jejer pandito dalam waktu singkat atau yang hanya sekedar minta doa dan obat kepada beliau.
KH Hasyim Asy’ari merupakan pribadi yang cakap dalam hal menulis, Ia telah menulis beberapa kitab dalam berbagai macam disiplin ilmu. Salah satu kitab yang sampai saat ini masih dipelajari di berbagai lembaga pendidikan di Indonesia adalah kitab Adāb al ‘Ᾱlim wa al Muta‘allim. Kitab tersebut selesai disusun pada hari Ahad, 22 Jumadil al-Tsani tahun 1343 H/ 1924 M.
Kitab ini berisikan pandangan-pandangan Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan Islam. Seorang ulama atau ilmuwan dalam menulis sebuah kitab atau karangan bukan tanpa alasan. Pasti terdapat sebab yang melatar belakangi sebuah penulisan tersebut.
Penulisan kitab Adāb al ‘Ᾱlim wa al Muta‘allim bisa jadi di dorong oleh situasi kondisi pendidikan yang pada saat itu mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama (tradisional) yang sudah mapan ke dalam bentuk baru modern akibat dari pengaruh sistem pendidikan barat yang diterapkan di Indonesia.
Mencermati isi dari kitab Adab Alim wal Muta’allim akan tampak bagi kita bahwa Kiai Hasyim Asy’ari banyak dipengaruhi oleh pemikiran etika Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Pengaruh tersebut kiranya sangat terlihat seperti dalam pernyataan Kiai Hasyim Asy’ari dalam kitab ini: Pertama bahwa keutamaan ilmu hanya akan didapatkan oleh seorang yang belajar dengan tujuan meraih keridhaan, dan kemuliaan di sisi Allah. Dan bukan karena tujuan duniawi.
Kedua bahwa seseorang yang sedang dalam kondisi belajar harus sederhana dalam gaya hidupnya yang ditunjukkan dengan makan dan berpakaian sederhana. Hal ini koheren dengan apa yang dikatakan Imam Al-Ghazali dalam kitab Mauidhah Al-Mu’minin yang mengatakan: “Ilmu adalah pengabdian terbaik. Dan adalah baik jika seseorang telah merasa cukup dalam hidupnya hanya dengan mendedikasikan dirinya pada ilmu.”
Secara umum, dapat dikatakan bahwa pemikiran pendidikan Kiai Hasyim Asy’ari masih mempertahankan kebudayaan, dan ideologi pendidikan Islam yang mengutamakan kecintaan, kemuliaan ilmu, dan sumbernya. Kiai Hasyim Asy’ari mengatakan dalam bab ketiga: “Seyogianya seorang murid memikirkan secara mendalam dan beristikharah terlebih dahulu, kepada siapa ia akan mencari lmu (belajar)….”.
Kiranya hal ini semakin relevan untuk diterapkan saat ini di era teknologi media digital di mana banyak orang dibingungkan dengan berbagai ajaran agama, dan hanya belajar via media sosial, youtube dan sebagainya. (Bersambung)