Mubadalah.id – Banyak orang yang bukan beragama Islam seringkali mengasumsikan bahwa puasa sangat berat dan merasa iba, kasihan pada komunitas muslim. Sedikit mereka tahu bahwa bulan Ramadan bagi kita justru adalah waktu yang paling dinanti-nantikan. Lapar dan haus sepanjang hari memang merupakan tantangan yang tidak mudah bagi semua orang, tapi justru ketika beduk maghrib berkumandang lah, riuh kegembiraan tak kuasa terpancarkan.
Suasana ini lah yang meski berat, selalu kita nantikan tiap tahunnya. Pun bagi para perempuan, terutama yang harus berjibaku menyiapkan sahur dan buka puasa tiap hari. Lelah yang melanda seakan langsung terhapus ketika semua anggota keluarga makan dan minum dengan lahap.
Tak heran Ramadan selalu disambut dengan suka cita, tak hanya di Indonesia, di banyak negara-negara mayoritas muslim pun juga sama. Yang menarik, dalam banyak tradisi, para perempuan juga berperan penting dalam perayaan menyambut Ramadan. Salah satu contohnya di Gaza sana. Di daerah rawan konflik antara Israel dan Palestina ini, beberapa perempuan membuat berbagai dekorasi unik khas bulan puasa yang biasa dipajang di rumah-rumah.
Hanan al-Madhoon, seorang ibu beranak tiga yang menjadi pengrajin dekorasi mengaku, pesanannya agak menurun ketika pandemi berlangsung. Namun hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk terus berkarya. Apalagi, selama ini dekorasi sejenis biasanya diimpor dari Mesir dan China yang menyebabkan harganya agak mahal. Oleh karena itu, meski kini situasinya sulit, ia tak begitu saja menyerah. Bersama anak-anaknya, ia tak menyerah untuk berkreasi demi menyemarakkan Ramadan.
Lain di Gaza, lain lagi ceritanya di Mesir. Bulan puasa di Mesir identik dengan suara nyaring drum yang dibunyikan bersamaan dengan solawat dan lagu-lagu religi tradisional untuk membangunkan warga sahur. Bahkan di sana, hal tersebut tidak hanya identik dengan remaja laki-laki. Perempuan pun juga terlibat, termasuk Dalal.
Perempuan paruh baya itu menyampaikan bahwa ia selalu bersemangat untuk berjalan dan memukul drum meski itu dini hari. Baginya, tradisi berkeliling membangunkan sahur di bulan Ramadan selalu menyenangkan hatinya. Dalam riuh suara drum dan nada-nada lagu yang ia serta kawan-kawannya mainkan, ada energi dan spirit Ramadan yang ia tak dapatkan di bulan-bulan lain.
Tidak hanya itu saja, sebagai pemain drum Ramadan selama beberapa tahun terakhir, ia selalu diapresiasi oleh masyarakat setempat karena telah membantu mempertahankan budaya bangsa Mesir. Tak heran, dalam beberapa kesempatan, beberapa warga dengan sukarela memberikannya uang dengan jumlah lumayan sebagai penghargaan telah membantu mereka bangun.
Namun, uang yang diperolehnya tersebut tak lantas membuatnya egois. Apa yang ia dapatkan saat berkeliling biasanya ia gunakan juga untuk berdonasi kepada warga yang kurang mampu, sebab ia merasa bahwa apa yang diperolehnya adalah rezeki titipan yang perlu disalurkan kepada orang-orang di sekitarnya.
Di Kuwait, selain Idulfitri yang dirayakan dengan meriah, minggu pertama bulan Ramadan juga diperlakukan hampir sama. Persisnya di tiga hari pertama, kerabat dekat biasanya akan saling berkunjung untuk mengadakan makan bersama. Hari-hari tersebut akan menjadi hari sibuk bagi kaum perempuan yang biasanya bertugas untuk memasak.
Mereka akan menyiapkan menu istimewa untuk memanjakan lidah para anggota keluarga. Namun, kini dengan datangnya pandemi, kegiatan saling berkunjung harus ditunda terlebih dulu. Dalam banyak kasus, akhirnya banyak warga di sana hanya bertegur sapa secara virtual terutama ketika pandemi belum benar-benar usai seperti sekarang.
Di Indonesia, para muslimah pun tak ketinggalan untuk turut bergembira ria menjelang Ramadan. Di Aceh contohnya, para perempuan Singkil menyambut Ramadan dengan mengadakan mandi balimau. Mandi balimau sendiri merupakan suatu ritual menyucikan diri dengan ramuan puluhan jenis bunga, termasuk daun serai pulau pinang yang dicampur dengan daun pandan.
Ramuan keduanya kemudian ditumbuk lalu disaring. Filosofinya adalah untuk menyucikan diri untuk bersiap dalam beribadah penuh di bulan suci. Tradisi sejenis juga dilakukan oleh banyak warga di Jawa dan Madura, hanya bedanya di Singkil, kaum perempuannya memiliki tradisi yang lebih khusus.
Melihat berbagai peran yang dijalankan para perempuan di seluruh dunia dalam merayakan Ramadan, baik itu di lingkungan keluarga maupun sosial kita patut mengapresiasi setinggi-tingginya. Sebab, selama ini acap kali kerepotan mereka dianggap sebagai hal wajar, terlebih jika itu dilakukan oleh full time mom.
Padahal dengan mengucapkan terima kasih, baik itu melalui ucapan maupun tindakan seperti pelukan, kita sejatinya sedang membantu mereka untuk jauh lebih berbahagia. Meski dalam berbagai kesempatan, melihat keluarganya senang saja sudah cukup bagi perempuan. Namun, memberikan kadar lebih dalam porsi bahagianya, tentu tidak ada salahnya bukan? []