Mubadalah.id – Pati, dulu dihujat habis-habisan oleh netizen karena kasus Sukolilo. Kini, netizen mendukung penuh warga Pati atas kekompakannya melawan tirani. Memang belakangan ini rakyat Indonesia kelihatannya sudah terlalu lelah atas berbagai kebijakan yang asal njeplak.
Kebijakan para pejabat sontoloyo yang asal bunyi dan nir-empati. Tak peduli nasib rakyat kecil yang hampir tiap hari kena pungutan parkir liar, pajak, maupun royalti. Maka, ketika rakyat bergerak kompak membuat Pati bergejolak menjadi alarm keras bagi demokrasi Indonesia.
Hari ini, Pati masih cukup memanas. Bukan hanya karena iklim ataupun lokasinya yang dekat pesisir. Namun, kebijakan serta sikap para politisinya yang membuat rakyat gerah. Pada Rabu (13/08/2025) kemarin, ribuan massa memadati alun-alun Pati untuk menuntut pemakzulan bupati Pati.
Hal itu merupakan buntut dari kebijakan bupati yang dianggap sepihak dan merugikan rakyat. Sebelumnya, Bupati Pati terpilih, Sudewo, menetapkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250%. Sempat mendapat kritikan dan ancaman demo, Sudewo justru terkesan menantang. “Jangankan 5.000 orang, 50.000 orang silakan kerahkan, saya tidak akan gentar, saya tidak akan mengubah keputusan”, katanya.
Setelah tanggapan ini viral di media sosial, penggalangan donasi untuk aksi demonstrasi mendapat sambutan positif dari netizen dan juga warga setempat. Berbagai donasi datang berhilir-hiliran. Solidaritas masyarakat semakin menguat. Keresahan yang sedari dulu hanya tersimpan rapi dalam obrolan ringan di warung kopi kini menemukan momentumnya. Demo besar-besaran pecah. Polisi kewalahan. Rakyat berhasil menduduki gedung pemerintah. DPRD Pati dengan hak angketnya sepakat untuk membentuk panitia khusus pemakzulan Bupati Pati.
Pati Bergejolak: Alarm Dini bagi Petinggi Negeri
Kasus Pati ini setidaknya menjadi alarm dini bagi para petinggi negeri dalam menjalankan pemerintahannya. Mengutip dari Neneng Rosydiana melalui akun FB-nya, jika rakyat Pati berhasil memakzulkan bupati, maka itu akan menjadi rambu kuning bagi pejabat lain agar lebih berhati-hati dengan jabatan dan kebijakannya. Namun sebaliknya, jika rakyat Pati gagal, para pejabat akan semakin arogan.
Sejauh ini memang sudah banyak kebijakan kontroversial yang mengundang polemik. Baik seperti pembatasan gas LPG, pemblokiran rekening, sengketa pulau, PPN 12%, royalti, hingga masalah pajak. Bahkan netizen sudah hafal polanya, buat kebijakan dadakan – nyusahin rakyat – netizen protes – viral – kebijakan dicabut seolah-olah jadi pahlawan. Alih-alih menyikapi aspirasi masyarakat dengan santun, para pejabat justru bersikap dingin dengan perkataan yang nir-empati.
Padahal, komunikasi publik inilah yang rakyat nanti-nantikan. Seperti halnya dalam teori komunikasi, pesan yang telah komunikator sampaikan kepada publik tidak bisa ia tarik kembali. Selain itu, bagaimana komunikator menyampaikan isi pesan akan memberikan kesan yang melekat kepada pemberi pesan.
Sikap arogan karena menganggap remeh aspirasi publik inilah yang sekarang ini sering terlihat dalam diri para penguasa. Sudah selayaknya dari kasus Pati ini menjadi pembelajaran yang berharga bagi para pejabat lain. Jika tidak, rasa kepercayaan publik terhadap pemerintah pun akan semakin terkikis.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa kepercayaan publik sendiri menjadi modal penting demokrasi. Tanpa adanya saling percaya, relasi antara penguasa dan rakyat akan semakin retak. Jarak sosial semakin melebar. Stabilitas nasional semakin terancam. Imbasnya, setiap kebijakan selalu penuh dengan kecurigaan dan penolakan. Pemimpin pun akan kehilangan legitimasi dan otoritasnya. Hal ini dalam jangka panjang dapat memicu gejolak sosial yang meluas dan tidak dapat terhindarkan.
Relasi Kesalingan Penguasa dan Rakyat
Beragam gejolak sosial politik yang muncul tidak terlepas dari kurangnya relasi kesalingan antara penguasa dengan rakyat. Padahal, dalam perspektif mubadalah, relasi kesalingan menjadi kunci penting untuk mewujudkan hubungan kemitraan yang adil, setara, dan membawa kemaslahatan bersama.
Ini menjadi penting khususnya bagi umat Muslim. Hal tersebut karena relasi kesalingan sejalan dengan prinsip tauhid yang mengesakan Allah. Tidak ada yang bisa mendominasi selain-Nya.
Tauhid sebagai landasan mubadalah, menurut Faqihuddin Abdul Qodir pada gilirannya tetap bermuara pada prinsip keadilan. Tidak boleh ada kelompok atau golongan yang menjadi korban akibat sistem yang mendominasi dan hegemonik.
Oleh karena itu, relasi kesalingan antara penguasa dan rakyat seharusnya tidak mengorbankan pihak tertentu dan menguntungkan segelintir pihak lainnya. Keduanya harus saling bersinergi, bekerja sama, dan saling mengayomi satu sama lain.
Mengutip dari buku Qiroah Mubadalah (2019:19), relasi kesalingan senada dengan tujuan dari tatanan ajaran Islam sendiri yakni untuk membangun empat nilai pokok: keadilan, kasih sayang, kearifan, dan kemaslahatan. Adanya relasi kesalingan yang baik antara penguasa dan rakyat tentu dapat meningkatkan kepercayaan publik kepada pemerintah. Ketika hak dan kewajiban pemerintah telah berjalan dengan baik, rakyat akan menjalankan hak dan kewajiban dengan baik pula.
Kemaslahatan sebagai Tujuan Kesalingan
Relasi kesalingan antara penguasa dan rakyat bagaimana pun juga harus berdasar pada kemaslahatan bersama. Bukan kemaslahatan namanya jika sebuah kebijakan nyatanya malah membebani pihak lain. Apalagi kebijakan tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak.
Tanpa adanya kajian yang komprehensif dan riset yang mendalam, keputusan yang diambil hanya akan menjadi sebuah kelinci percobaan. Setelah viral dan mendapat kecaman, kebijakan dibatalkan. Hal ini jika terjadi tidak hanya sekali dua kali, justru akan menambah kesan seolah-olah para pejabat yang duduk di atas hanyalah sekumpulan orang-orang yang kurang kompeten.
Dalam proses pembuatan kebijakan, selain penyampaian informasi yang jelas dan transparan, masyarakat hendaknya juga mereka libatkan. Jika hanya mengandalkan para anggota dewan yang katanya mewakili rakyat, rasanya masih jauh dari kata cukup.
Hal ini karena banyak dari mereka yang hanya mengutamakan kepentingan partai atau golongan. Atau sekadar balas budi kepada kelompok masyarakat yang sudah memberikan suaranya ketika perhelatan pesta demokrasi.
Menurut Joko Susilo, analis kebijakan publik dari Nalar Institute, dikutip dari bbc.com, pemerintah hendaknya dapat menampung berbagai aspirasi tentang kebijakan yang masyarakat inginkan. Konsep pertemuan dengan warga misalnya.
Meski dalam lingkup kecil, model seperti ini akan membuat masyarakat merasa didengar. Dengan demikian, participatory policymaking (pembuatan kebijakan partisipatif) tidak hanya sekadar formalitas. Mereka juga akan merasa menjadi entitas yang dianggap kehadirannya dalam proses demokrasi.
Memang peran publik dalam proses perumusan kebijakan ini sangat krusial. Sebab mereka adalah subjek yang akan menjadi pelaksana atas segala kebijakan yang pemerintah putuskan. Lantas, jika muncul aspirasi atau kritik, pemerintah juga seyogyanya bersikap andhap asor untuk melakukan evaluasi. Tidak pasang muka bebal yang penuh arogansi. []