Mubadalah.id – Berbicara perempuan tidak bisa lepas dari pembahasan isu gender. Perbincangan tersebut mengarah pada soal keadilan dan hak kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan seringkali mendapat perlakuan diskriminatif dari sekitar maupun dari golongannya sendiri. Pun tidak dipungkiri, pembahasannya tidak terbatas pada cara pandang sosial, ekonomi, dan budaya semata, melainkan agama juga dilibatkan didalamnya.
Pemimpin adalah orang yang mengemban tugas dan tanggung jawab untuk memimpin dan bisa mempengaruhi orang yang dipimpinnya. Perempuan memiliki arti mereka yang secara biologis mengandung, melahirkan, menyusui, senada dengan kata “wadon” dalam bahasa Jawa yang berarti perempuan ini sering diartikan sebagai wa “wadahe” dan don “adon-adon”.
Maksudnya adalah perempuan itu disebut hanya sebagai wadah, tempat atau objek. Adon-adon ialah ladang, tempat bercocok tanam atau sesuatu yang akan dicipta menjadi sesuatu yang lain. Dalam arti sederhana, bahwa ia berguna sebagai tempat penetrasi kaum adam dan hanya bertugas di wilayah domestik. Dari berbagai pandangan kaum kuno hingga sekarang memang demikian adanya. Perempuan masih sering disebut sebagai the second sex.
Fiqh adalah produk ijtihad (memiliki status fatwa yang kedudukannya tidak mengikat dan memaksa semua orang), bersifat memaksa dan mengikat apabila hukum tersebut sudah disepakati oleh seluruh ulama (mujtahid) dalam hal ini biasa disebut dengan ijma’, apabila masih ada perbedaan pendapat, maka hukum fiqh bisa lentur sesuai dengan kebutuhan yang diprioritaskan.
Salah satu isu bias gender yang ada didalam pemahaman umum fiqh ialah tentang kepemimpinan perempuan. Hadis yang biasanya dijadikan sebagai landasan hukum adalah, “Suatu kaum tak akan sejahtera apabila urusan mereka dipegang dan dipimpin perempuan”.
Harus kita ketahui dengan membuka mata bahwa hadis ini ada ketika Nabi diberi tahu bahwa sepeninggal kaisar Persia, orang-orang Persia menobatkan salah seorang anak perempuan kaisar menjadi pemimpin mereka dan adanya beberapa ketidakpasan, ketidakpuasan dalam kepemimpinan kala itu.
Masih banyak kalangan yang beranggapan bahwa perempuan tidak layak atau tidak pantas menduduki posisi sebagai pemimpin, terlebih pemimpin dalam suatu negara. Mereka memandang perempuan sebagai makhluk perasa, condong memakai perasaan dan kurang mengedepankan akal atau otoritas berpikir, sedangkan yang dibutuhkan oleh pemimpin ialah mereka yang mampu mengedepankan akal dalam segala hal yang akan diputuskannya.
Mengacu pada nilai universal al-Quran, Islam datang membawa rahmat untuk semesta. Ia ada sebagai pemberi maslahat bagi seluruh makhluk. Secara biologis, perempuan dan laki-laki memang berbeda, namun nilai ia sebagai makhluk Tuhan adalah sama.
Sejarah Islam telah mencatat seorang Ratu Balqis yang dikenal sebagai penguasa negeri Saba yang adil, bijaksana dan penuh tanggung jawab. Dan juga kisah Aisyah yang tampil dalam perang Jamal bersama para sahabat Nabi yang laki-laki. Hal ini membuktikan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki potensi yang sama dalam hal memimpin atau mungkin bahkan lebih baik.
Kita tidak boleh menutup mata, bahwa ayat Alquran sudah pasti benar, namun yang sampai kepada kita adalah tafsian-tafsiran manusia yang masih perlu pemahaman lebih mendalam. Oleh karenanya, berpegang teguh pada nilai universal Alquran adalah menjadi suatu keharusan dan acuan. Alquran dan Islam datang untuk memuliakan seluruh makhluk, ia ada untuk kemaslahatan, keadilan, kesetaraan, kesalingan, kemitraan, dan kerjasama baik antara laki-laki dan juga perempuan.
Kita juga tidak boleh memungkiri kenyataan yang sudah dan akan terjadi, di Indonesia kita telah membuktikan bahwa perempuan layak dan bisa untuk berdiri sebagai pemimpin nomor satu suatu negeri. Bahkan dalam pandangan seorang feminis yaitu Amina Wadud, ia mengatakan bahwa imam perempuan dalam salat diperbolehkan dengan syarat tertentu.
Sesuai dengan semangat dan nilai universal al-Quran dan hadis, maka pesan atau teks yang berbicara mengenai kepemimpinan perempuan perlu diasosiasikan secara kontekstual. Hukum fiqh harus senantiasa disesuaikan dengan kondisi zaman agar keberadaannya menjawab setiap permasalahan yang ada. []