Mubadalah.id – Kajian tentang pemukulan sebagai metode mendidik anak bisa didekati sebagaimana kajian pemukulan istri yang ditawarkan Ibn Asyur.
Dalam kerangka maqashid al-syari’ah untuk kemaslahatan terbaik anak, maupun dengan basis Hadis-Hadis kasih sayang, terutama tentang pentingnya kesabaran, kelembutan, dan ketenangan dalam berinteraksi dengan anak, seperti Hadis dalam Shahih al-Bukhari no. 6063 dan Sunan Abi Dawud no. 4809.
Dari az-Zuhri menceritakan kepada kami, oleh Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah Saw. mencium sang cucu, Hasan bin Ali, dengan penuh kasih sayang.
Di samping beliau ada Aqra’ bin Habis al-Tamimi r.a. menimpali: “Aku punya anak sepuluh, tidak ada satu pun yang aku cium.”
Nabi Saw. memandangnya penuh heran: “Orang yang tidak menyayangi (anak, atau orang lain), akan sulit Tuhan dan atau manusia sayangi.” (Shahih al-Bukhari, no. 6063).
Dari Abdullah bin Mughafal, bahwa Rasulullah Saw, bersabda: “Allah itu lembut dan menyukai kelembutan. Allah juga memberi (kepada seseorang) atas kelembutan (yang ia lakukan) suatu anugerah yang tidak Allah berikan atas kekerasan (yang ia lakukan).” (Sunan Abi Dawud, no. 4809).
Usia anak adalah masa tumbuh kembang untuk menjadi manusia dewasa yang utuh dan bertanggung jawab. Dalam masa ini kemaslahatan anak menjadi prioritas, karena itu perspektif kasih sayang menjadi landasan utama dalam semua fase pendidikan anak yang tumbuh kembang menjadi dewasa.
Kemaslahatan Anak
Kemaslahatan anak ini bisa kita wujudkan dengan kerangka maqashid al-syari’ah. Yaitu untuk melindungi nyawa dan jiwa anak (hifzh al-nafs), melindungi akal dan pengetahuannya (hifzh al-‘aql).
Kemudian, melindungi harta dan sumber daya ekonominya (hifzh al-mal), melindungi fungsi reproduksinya (hifzh al-nasl), dan melindungi nalar spiritualnya (hifzh al-din).
Teks Hadis pemukulan pada Sunan Abi Dawud di atas bisa kita intepretasikan ulang dengan kerangka maqashid al-syari’ah.
Dalam kerangka maqashid al-syari’ah, Hadis di atas bisa kita interpretasikan sebagai sanksi tegas atas pelanggaran yang dilakukan seorang anak.
Sanksi ini harus menyesuaikan dengan tujuan pendidikan dan menyelaraskan dengan usia tumbuh kembang anak.
Misalnya, bentuk sanksinya adalah menjauhkan anak-anak dari mainan, atau mengurangi jam main yang biasa ia miliki sebelumnya. Atau dengan melakukan kerja-kerja sosial untuk kepentingan keluarga dan masyarakat.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik.