Mubadalah.id – Perayaan Hari Lingkungan Hidup Internasional memang telah usai. Namun, semangat perjuangan untuk mempertahankan ruang hidup dan lahan hijau yang terus terkikis tidak boleh padam. Termasuk dalam mempertahankan hutan dan alam di Raja Ampat, Papua Barat dari penambangan nikel.
Raja Ampat selama ini dikenal sebagai wilayah dengan keindahan alam yang luar biasa dan dengan kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah. Tak heran, jika sejak tahun 1920, tambang nikel milik Belanda sudah mulai beroperasi di wilayah ini. Namun dengan seiring berjalannya waktu, kepemilikan perusahaan tersebut pun berpindah ke tangan Indonesia dan berlanjut hingga kini.
Salah satu perusahaan tambang nikel di Raja Ampat merupakan bagian dari lima perusahaan yang mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada tahun 2017, dan mulai beroperasi setahun kemudian.
Namun, kehadiran tambang ini belakangan kembali memicu kontroversi publik. Kekhawatiran atas dampak buruk lingkungan bukan hanya di Raja Ampat. Tetapi juga di berbagai wilayah lain yang mengalami nasib serupa.
Dampak Penambangan Nikel terhadap Lingkungan
Dengan maraknya industri tambang di Indonesia sama dengan meningkatnya eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Salah satu dampak paling nyata terlihat sejak proses awal pembukaan lahan. Ribuan hektare hutan hijau dipugar dan digantikan oleh bangunan industri tambang.
Menurut data dari Kompas.id yang diolah melalui citra satelit, dalam rentang waktu 2001–2023, ada sekitar 700.000 hektare hutan telah berubah menjadi lahan pertambangan. Deforestasi ini membawa berbagai dampak serius seperti rusaknya habitat flora dan fauna, pencemaran air tanah, erosi, kerusakan udara, hingga hilangnya ekosistem yang selama ini menjadi tempat hidup masyarakat adat.
Tragisnya, masyarakat adat yang telah mendiami hutan selama ratusan bahkan ribuan tahun, sering kali menjadi korban langsung. Mereka diusir secara paksa dari tanah leluhur yang mereka jaga turun-temurun. Tak jarang, proses ini disertai konflik dan kekerasan.
Mengutip laporan Amnesty International Indonesia, sebanyak 11 warga masyarakat adat di Halmahera Timur ditangkap karena menolak tambang nikel yang merusak kampung halaman mereka. Mereka hanya berusaha mempertahankan tanah tempat mereka tinggal. Hal ini adalah tindakan yang seharusnya dijamin oleh hukum dan konstitusi.
Nasib Masyarakat Adat: Terpinggirkan di Tanah Sendiri
Konflik akibat pembukaan lahan tambang telah menjamur di berbagai daerah. Bukan hanya karena kerusakan lingkungan, tetapi juga karena masyarakat kehilangan akses terhadap tanah, sumber air, dan mata pencaharian mereka. Yang paling terdampak tentu kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.
Bayangkan masyarakat adat yang hidup dengan alam, kini mereka kehilangan rumah, hutan, dan seluruh sistem kehidupan yang menopang keberadaan mereka. Dalam situasi seperti ini, mereka menjadi korban dari sistem yang mengutamakan keuntungan ekonomi ketimbang keberlanjutan sosial dan ekologis.
Di balik gemerlap keuntungan yang diperoleh para pemilik tambang, maka di situ tersimpan kisah pilu masyarakat adat yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya.
Dengan begitu, saya kira sudah saatnya negara dan semua pemangku kebijakan benar-benar memperhatikan nasib mereka. Hal ini bukan hanya sebagai “korban statistik”, tapi sebagai manusia yang punya hak hidup, hak tinggal, dan hak atas masa depan.
Islam Menghargai Masyarakat Adat
Dalam menghadapi persoalan ini, penting bagi kita untuk tidak diam. Sebagai bagian dari masyarakat, kita bisa ikut menyuarakan keadilan bagi masyarakat adat. Apalagi, dalam Islam sendiri, keberadaan adat istiadat sangat dihargai.
Kaidah al-‘adah muhakkamah dalam hukum Islam menunjukkan bahwa adat bisa menjadi dasar pertimbangan hukum, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Artinya, Islam mengakui dan menghormati nilai-nilai lokal, termasuk keberadaan masyarakat adat dan hak atas tanah ulayat mereka.
Islam juga mengajarkan prinsip kesalingan dalam hal kebenaran. Yaitu membela masyarakat adat yang berjuang mempertahankan tanah mereka adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, menyuarakan yang benar, dan melawan kezaliman.
Bijak Menyikapi Tambang
Dengan begitu, dunia tambang memang menjanjikan keuntungan besar, namun kita tak boleh buta terhadap kenyataan di lapangan. Ketika masyarakat adat terusir, hutan musnah, dan lingkungan rusak, pertanyaannya, keuntungan ini sebenarnya untuk siapa?
Sudah saatnya pemerintah bersikap tegas dan adil. Keuntungan ekonomi tak seharusnya merusak dan menghancurkan alam. Maka kita perlu berterima kasih kepada masyarakat adat, karena mereka adalah penjaga bumi yang sesungguhnya, yang selama ini merawat alam dengan penuh cinta. []