Mubadalah.id – Di dalam keluarga, kita mungkin sering mendengar ungkapan “ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak” (al-ummu madrasah ula). Ungkapan ini sering dipahami bahwa seorang ibu yang cerdas akan mampu mendidik anak dengan baik. Sebaliknya, ibu yang kurang mendapatkan pendidikan akan sulit menjadi pilar kecerdasan bagi anak-anaknya. Karena itu, perempuan tidak boleh terpinggirkan dari dunia pendidikan.
Namun, menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah ungkapan tersebut tidak boleh kita pahami sebagai penyerahan tanggung jawab pendidikan hanya kepada ibu semata. Sebab, siapa pun yang paling dekat dengan anak—baik ayah, kakak, kakek, nenek, bahkan pengasuh—sesungguhnya adalah “sekolah pertama” bagi anak itu.
Dengan demikian, pendidikan anak adalah kerja bersama, bukan beban yang perempuan pikul seorang diri.
Penting digarisbawahi, kegagalan dalam pengasuhan tidak boleh ditimpakan kepada ibu atau perempuan. Menyalahkan perempuan ketika terjadi masalah dalam pendidikan anak adalah bentuk ketidakadilan struktural yang masih kuat dalam budaya kita.
Dengan begitu, perspektif mubadalah justru menegaskan bahwa ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam mendidik anak. Mereka kami harapkan dapat berpartisipasi aktif, saling mendukung, dan bekerja sama demi tumbuh kembang anak-anaknya.
Membangun Keluarga sebagai Ruang Kesalingan
Mubadalah sendiri secara makna artinya kesalingan. Prinsip ini menolak segala bentuk dominasi sepihak, baik dari laki-laki maupun perempuan. Dalam konteks keluarga, kesalingan berarti membangun hubungan yang setara: saling mendukung, saling mengasuh, dan saling mendidik.
Oleg karena itu, ayah tidak bisa lepas tangan dengan dalih mencari nafkah, sementara ibu dibebani seluruh urusan rumah tangga dan pengasuhan. Begitu juga sebaliknya, ibu tidak bisa menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pada ayah.
Apalagi di era modern yang penuh tantangan, model keluarga yang berbasis pada kesalingan ini menjadi kebutuhan mendesak. Pasalnya, kita menghadapi situasi sosial yang kompleks: anak-anak terpapar dunia digital sejak dini, kompetisi semakin ketat, dan tekanan psikologis semakin tinggi.
Dalam kondisi seperti ini, anak-anak membutuhkan dukungan utuh dari kedua orang tua dan seluruh lingkar keluarga.
Pada akhirnya, keluarga adalah benteng pertama sekaligus benteng terakhir masyarakat. Jika keluarga mampu menjadi ruang kesalingan. Maka anak-anak akan tumbuh dengan jiwa yang sehat, percaya diri, dan penuh empati. Inilah yang pada gilirannya akan melahirkan masyarakat yang kuat. []