Mubadalah.id – Pendidikan inklusi di Indonesia masih menghadapi jalan panjang. Salah satu kendala utama terletak pada ketersediaan fasilitas sekolah. Banyak sekolah reguler belum dilengkapi sarana ramah disabilitas, mulai dari akses fisik, alat bantu belajar, hingga kurikulum yang sesuai.
Hal tersebut disampaikan oleh Alifa Aulia Shalsabilla dari Divisi Advokasi Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Jawa Barat dalam Webinar Kemerdekaan Hak untuk Pendidikan Inklusi yang digelar Kamis (21/8/2025)
“Fakta di lapangan, guru pendamping khusus (GPK) masih sering didanai oleh orang tua siswa sendiri. Bahkan, karier mereka tidak jelas karena tidak ada kepastian dari pemerintah,” kata Alifa.
Ia menambahkan, kurikulum yang ada pun belum cukup mengakomodasi kebutuhan khusus. Banyak materi pelajaran justru disederhanakan secara tidak tepat, sehingga anak-anak disabilitas dianggap tidak mampu padahal hanya butuh pendekatan berbeda.
Selain itu, stigma sosial juga masih kuat. “Banyak orang tua yang enggan menyekolahkan anaknya di sekolah umum karena takut lingkungan sekitar tidak bisa menerima anaknya,” lanjutnya.
Meski penuh tantangan, Alifa menekankan bahwa pendidikan inklusi membawa banyak manfaat. Bukan hanya bagi anak penyandang disabilitas, tetapi juga bagi siswa lainnya, guru, dan masyarakat luas.
“Di kelas inklusi, empati tumbuh, kolaborasi terjalin, dan inovasi muncul. Anak-anak belajar saling memahami, guru belajar metode baru, dan masyarakat menyadari bahwa keberagaman adalah kekuatan,” jelasnya.
Ia percaya, dengan sistem yang tepat, pendidikan inklusi bisa mendorong peningkatan dukungan masyarakat serta mempererat kolaborasi antara orang tua, guru, dan staf sekolah.
Pendidikan Inklusi di Finlandia
Dalam forum itu, Alifa juga membandingkan situasi pendidikan inklusi di Indonesia dengan beberapa negara. Ia menyoroti Finlandia, di mana 91 persen anak berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah umum. Sementara di Indonesia, angkanya baru mencapai 12,26 persen.
“Finlandia sukses karena ada komitmen pemerintah, staf pendukung yang kompeten, dan infrastruktur yang sesuai. Hal ini juga bisa kita lihat di Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara lainnya,” kata Alifa.
Menurutnya, keberhasilan pendidikan inklusi di negara lain bukanlah sesuatu yang mustahil untuk bangsa Indonesia tiru. Namun kata Alifa, hal ini membutuhkan keseriusan pemerintah, penganggaran yang jelas, serta kebijakan pendidikan yang menempatkan prinsip no child left behind (tidak ada anak yang kita tinggalkan) sebagai pijakan utama.
Diskusi ia tutup dengan refleksi bahwa 80 tahun lebih setelah Indonesia merdeka, sebagian anak negeri masih belum merdeka dalam hal pendidikan inklusi. Tantangan itu kini menjadi pekerjaan rumah bersama, terutama bagi pemerintah daerah yang sering kali lebih sibuk dengan program lain ketimbang menjamin hak anak disabilitas.
“Kemerdekaan seharusnya semua anak ikut merasakan, tanpa terkecuali. Kalau anak disabilitas masih tertinggal, berarti kemerdekaan kita belum sepenuhnya utuh,” pungkas Alifa. []