Mubadalah.id – Rahmah el-Yunusiyah wafat pada 26 Februari 1969 menjelang Magrib. Sehari sebelumnya, ia sempat bertemu Gubernur Sumatra Barat Harun Zain. Dengan suara yang berat, ia berkata:
“Pak Gubernur, napas ini sudah hampir habis. Tolonglah, Pak, dilihat dan diperhatikan Sekolah Diniyah Putri.”
Di ujung hidupnya, beliau tidak meminta penghormatan, tidak meminta gelar, tidak meminta fasilitas. Ia hanya meminta satu hal yaitu jangan biarkan sekolah perempuan ini mati.
Setelah wafatnya, kepemimpinan Diniyah Putri dilanjutkan Isnaniah Saleh hingga 1990, dan sejak 2006 dipimpin oleh Fauziah Fauzan. Kini lembaga ini memiliki jenjang pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi.
Buya Hamka dalam Islam dan Adat Minangkabau menyebut Rahmah el-Yunusiyah sebagai tokoh pembaruan Islam Minangkabau.
Bahkan, Prof. Azyumardi Azra berkali-kali menegaskan bahwa perkembangan Islam modern dan gerakan perempuan muslim Indonesia tidak mungkin dipisahkan dari nama Rahmah el-Yunusiyah.
Pada 13 Agustus 2013, pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra Adipradana kepadanya secara anumerta. Dan pada 10 November 2025 pemerintah menjadikan Rahmah el-Yunusiyah sebagai Pahlawan Nasional.
Mengapa Kisah Rahmah El-Yunusiyah Relevan Hari Ini?
Karena kita hidup di zaman ketika perdebatan tentang kepemimpinan perempuan masih diulang-ulang seperti tidak pernah ada pelajaran sejarah. Seolah bangsa ini lupa bahwa salah satu tokoh pendidikan perempuan paling dihormati dunia datang dari Indonesia.
Kisah Rahmah adalah bukti terang bahwa perempuan adalah pembuat arah. Bahkan dunia Islam mengakui kualitas seorang perempuan Indonesia ketika sebagian masyarakat kita masih sibuk berdebat soal boleh tidaknya perempuan mengambil peran publik.
Pertanyaannya adalah jika Al-Azhar saja sudah sejak 1957 mengakui otoritas keilmuan perempuan, apa alasan kita hari ini masih menahan perempuan untuk tidak aktif di ruang publik?
Jika Rahmah dapat mengubah cara pandang dunia, mengapa negara, lembaga pendidikan, bahkan komunitas keagamaan kita masih ragu membuka ruang kepemimpinan bagi perempuan?










































