Mubadalah.id – Memberi hutang pada dasarnya menjadi perbuatan untuk memudahkan dan meringankan beban orang lain. Dalam hadits, Nabi SAW mengatakan apabila seseorang menghutangi hingga dua kali, maka seperti sedekah sekali. Sabda Nabi SAW:
“Seorang muslim yang meminjamkan uang ke muslim lain dua kali. Maka seperti bersedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah)
Demikianlah Nabi SAW memotivasi banyak orang untuk menyisihkan rezekinya dihutangkan kepada yang membutuhkan. Imam Nawawi dalam al-Majmu menyatakan bahwa berdasarkan teks-teks hadits tersebut, meminjamkan uang disunnahkan.
Anehnya, limpahan pahala dan janji kemudahan dari Allah belum mampu memotivasi para jutawan untuk meminjamkan uangnya kepada yang lemah, termasuk para buruh migran.
Sebaliknya, kebanyakan mereka mau menghutangi bila ada bunga pinjaman. Mereka itu adalah para lintah darat (rentenir) yang justru akan semakin mencekik leher orang lemah, termasuk para buruh migran.
Ironisnya, para rentenir ini seringkali menjustifikasi kehalalan bunga pinjaman dengan dalih agama. Yakni, bunga pinjaman itu sebagai al-Qardlu al-Hasan yang sangat agama anjurkan.
Memang benar bahwa seorang yang berhutang dianjurkan agar mengembalikan hutang dengan melebihi dari hutang pokok. Hal ini berdasarkan hadits:
“Dari Abu Hurairah ra: Sesungguhnya ada seseorang datang kepada Nabi SAW untuk menagih hutang, kemudian ia berkata keras kepada Beliau hingga membuat para sahabat ingin memukulnya. Namun, Rasul SAW bersabda:
“Biarkanlah, karena bagi orang yang memiliki hak itu ada kebebasan untuk berbicara. Lalu, ia meneruskan sabdanya: “Berikanlah unta padanya yang umurnya sama dengan unta yang aku hutang. Para sahabat menjawab:
“Wahai Rasulullah, kami tidak mendapatkan unta yang umur sama, kami hanya mendapatkan unta yang umurnya lebih tua.” Beliau bersabda: “Berikanlah unta itu, kareng sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik membayar hutang.” (HR. al-Bukhari). []