Awal tahun 2020, seorang teman mengatakan bahwa dia butuh curhat. Sebelumnya dia pernah beberapa kali menceritakan masalah-masalahnya dengan suaminya. Hingga akhirnya memutuskan untuk bercerai karena berbagai masalah yang menurutnya tak dapat diselesaikan setelah beberapa tahun pernikahan. Kemudian dia juga menceritakan kekerasan yang dilakukan suaminya.
“Aku pernah dipaksa berhubungan seksual sampai aku nangis karena aku gak enjoy melakukannya. Dia gak memahami bahwa aku lagi sedih. Dia tetap melanjutkannya, gak peduli aku nangis. Akhirnya dia gak melanjutkan sampai selesai karena aku nangis lebih histeris”, begitu kata seorang teman padaku.
Awalnya dia tak berani bercerita tentang ini padaku, mungkin karena hal ini tabu, menyakitkan dan memalukan untuk diceritakan pada orang lain. Saya berempati pada pengalaman negatifnya, memvalidasinya, sekaligus mengapresiasi segala usahanya. Dia ingin bersuara terkait permasalahan ini agar bisa menjadi pembelajaran bersama. Saya membantunya untuk menuliskan melalui tulisan ini.
Dia menambahkan, “Pernah juga dia sangat maksa, padahal aku sudah bilang gak mau. Dia berusaha buka pakaianku. Lalu dia cemberut, ngambek, gak mau ngomong. Aku gak lagi manis sama dia karena dia memperlakukanku seperti itu. Aku merasa gak ada kedekatan emosional dengannya.”
Dia sudah berusaha bertahan dan memperbaiki masalah-masalah tersebut dengan mengkomunkasikan ini pada suaminya, namun tak ada perubahan yang signifikan. Karena pemaksaan hubungan seksual tersebut, dia merasa kecewa, kehilangan trust dan respect pada suaminya.
“Dia seperti mendengarkan tapi aku gak mendapatkan respon yang aku mau. Dia bilang, ‘Iya aku akan berusaha, iya aku akan berubah’, tapi gak ada hasilnya. Dia kembali lagi memperlakukanku seperti biasanya.”
“Misalnya aku nolak saat tidur, aku digrayangi, padahal aku sudah bilang tidak mau atau saat sedang marahan. Dia sering mencoba untuk menyetubuhi saat aku sedang tidur.”
Hal itu tentu saja merupakan kekerasan dalam rumah tangga. Suaminya telah melakukan kekerasan seksual, kekerasan emosional, kekerasan verbal dan kekerasan fisik padanya. Dia sangat kuat, tapi dia lelah dan ingin merasakan kebahagiaan dan kepuasan juga.
“Aku ingin menikmati seks dengan pelan, romantis dan aku ingin merasa disayang. Aku ingin kita saling menanyakan kebutuhan sehingga bisa sama-sama terpuaskan. Bukannya egois dan nggak peduli kebutuhan pasangannya.”
Pemerkosaan dalam Perkawinan
Istilah marital rape atau pemerkosaan dalam perkawinan masih penuh kontradiksi. Masih banyak orang yang meyakini bahwa pemerkosaan hanya terjadi di luar pernikahan. Ada yang menertawakan ini, dan bilang “buat apa nikah kalau gitu?”. Sebagian orang meyakini bahwa istri wajib melayani kebutuhan seksual suaminya apapun keadannya.
Tahun lalu ada wanita yang menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dengan poster yang bertuliskan “Saya iklas diperkosa suami saya kapan pun suami saya, minta jujur enak!!! Dapat pahala lagi”. Dari suara itu saja kita tahu bahwa si penulis tidak bisa membedakan mana pemerkosaan mana hubungan seksual dengan consent (izin).
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga memang tidak ada istilah marital rape, yang ada hanyalah kekerasan seksual. Dalam UU nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1, kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Pengertian marital rape menurut Raquel Kennedy Bergen (2006) yang berjudul Marital Rape: New Research and Direction adalah intercourse atau penetrasi yang tidak diinginkan (vaginal, anal, oral) yang dilakukan dengan paksa, ancaman, atau ketika istri tidak mampu menyetujuinya (Bergen, 1996; Pagelow, 1992; Russell, 1990).
Relasi Suami dan Isteri
Secara umum, tujuan pernikahan adalah terciptanya keluarga yang bahagia, yang biasanya disebut sakinah, mawaddah wa rahmah. Tujuan pernikahan juga dijelaskan dalam surah ar-Rum [30]:21, sebagai berikut:
“Dan dari tanda-tanda (keagungan)-Nya, Dia menciptakan untuk kamu pasangan kamu, dari jenis yang sama denganmu, agar kamu bisa memperoleh ketentraman di sisinya, dan Dia menjadikan di antara kamu (pasangan-pasangan) rasa saling cinta dan sayang. Sesungguhnya pada (semua) hal itu, ada tanda-tanda (keagungan Tuhan) bagi orang-orang yang berfikir.”
Dalam buku Fiqh Anti Trafiking disebutkan bahwa tujuan ayat tersebut hanya akan terwujud jika relasi suami-isteri adalah relasi yang adil, setara, tidak totaliter dan hegemonik. Relasi ini harus dibangun berdasarkan sikap saling percaya, saling pengertian, saling mengingatkan, dan saling memberi. Jika tidak, maka akan terjadi kekerasan dalam pernikahan.
Kekerasan fisik, psikis, seksual maupun ekonomi, pada dasarnya adalah refleksi hubungan yang timpang dan tidak adil. Yang tentu saja dilarang oleh ajaran Islam.
Al-Qur’an sendiri mengibaratkan hubungan suami isteri laksana pakaian (libas). Suami adalah pakaian bagi isteri dan isteri adalah pakaian bagi suami (Q.S. al-Baqarah [2]:187). Seperti kita ketahui, pakaian berfungsi sebagai perlindungan, juga memberikan keindahan, kehangatan, kenyamanan serta menutupi rahasia dan kekurangan.
Kebutuhan seksual
Dalam pernikahan, hubungan seksual adalah kebutuhan suami dan istri. Bukan hanya kebutuhan suami. Keduanya harus saling memahami kebutuhan pasangannya dan memahami karakter pasangannya sehingga setiap kebutuhan dapat dikomunikasikan dengan baik dan tanpa paksaan.
Abu Hurairah Ra. Menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang suami mengajak isterinya baik-baik untuk naik ranjang (berhubungan intim), lalu dia menolak (tanpa alasan), kemudian suaminya marah sepanjang malam, maka malaikat melaknatnya sampai pagi.” (Shahih Bukhari no. 3273)
Hadits di atas tidak boleh dimaknai secara tekstual saja, harus dimaknai secara mubadalah atau kesalingan. Perempuan juga bisa menjadi subjek utama, sehingga suami dan isteri bisa saling menikmati hubungan seksual tanpa adanya paksaan dan kekerasan.
Kekerasan seksual di sekitar kita
Jika hubungan seksual dilakukan dengan paksaan dan kekerasan maka akan melukai salah satunya. Mungkin kita juga pernah mengetahui pengalaman-pengalaman orang di sekitar kita yang mengalami pemerkosaan dalam pernikahan. Sebagian mungkin hanya bisa menahan sakit, pahit dan getirnya dalam diam.
Pada 2018, ada seorang suami yang memaksa isterinya berhubungan intim setelah 4 hari melahirkan, hingga isterinya meninggal dunia. Ada juga seorang isteri yang seminggu setelah melahirkan anaknya, dipaksa melakukan hubungan seksual yang membuatnya pendarahan, kesakitan dan jahitan pada vaginanya lepas.
Ada juga seorang isteri yang ketakutan setiap diajak berhubungan seksual oleh suaminya karena suaminya biasa mengalungkan celurit pada leher isterinya saat berhubungan seksual. Atau kisah seorang suami yang tega membunuh isterinya di hadapan anaknya karena menolak berhubungan intim. Juga ada seorang isteri yang depresi karena dipaksa suaminya berhubungan intim padahal baru saja melahirkan anaknya. Hingga akhirnya dia membunuh suaminya karena tak tahan dengan itu.
Lima Pilar Rumah Tangga
Dalam pernikahan, kebaikan hidup di dunia dan di akhirat harus dicapai bersama. Dalam buku Qiraah Mubaadalah disebutkan bahwa ada lima pilar penyangga kehidupan rumah tangga, jika merujuk pada al-Qur’an.
1. Komitmen (mitsaqan ghazalizhan, QS. an-Nisa’ [4]:21)
Yaitu ikatan janji yang kokoh sebagai amanah dari Allah SWT. Hal ini diwujudkan melalui akad nikah. Janji dan komitmen ini harus diingat bersama, dijaga bersama, serta dipelihara dan dilestarikan bersama.
2. Prinsip berpasangan dan kesalingan (zawaj, QS. al-Baqarah [2]:233 dan QS. ar-Rum [30]:21)
Isteri adalah pasangan suami, dan suami adalah pasangan isteri. Diibaratkan bahwa isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian isteri. Suami dan istri harus saling menghangatkan, melindungi, menghiasi, menutupi, menyempurnakan dan memuliakan.
3. Saling memperlakukan dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf, QS. an-Nisa’ [4]:19)
Suami dan istri harus saling memperlakukan pasangannya dengan baik. Kebaikan dalam pernikahan harus dihadirkan dan dirasakan oleh kedua belah pihak. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa tidak boleh melakukan pemaksaan kepada perempuan, mewarisi tubuh mereka, menghalangi dan mengambil harta mereka. Tentu saja perempuan juga dilarang untuk melakukannya.
Pemaksaan, kekerasan, dan kezhaliman itu diharamkan Islam dan berlawanan dengan akhlak mulia yang menjadi pondasi moral dalam pernikahan. Hal ini harus dijauhi untuk mencapai keridhaan Allah SWT dan untuk kemaslahatan keluarga.
4. Kebiasaan saling berembuk bersama (musyawarah, QS. al-Baqarah [2]:233)
Apapun yang terjadi dalam rumah tangga, suami-istri harus selalu berembuk dan saling bertukar pendapat dalam memutuskan sesuatu untuk kepentingan rumah tangganya. Suami atau isteri tidak boleh menjadi pribadi yang otoriter dan memaksakan kehendaknya. Suatu keputusan tidak boleh diputuskan senditri tanpa pertimbangan pasangannya, sekalipun laki-laki disebut sebagai kepala rumah tangga.
5. Perlaku saling memberi kenyamanan/kerelaan (taradhin min-huma, QS. al-Baqarah [2]:233)
Dalam pernikahan, suami-isteri harus saling merasa nyaman dan saling memberikan kenyamanan pada pasangannya. Serta adanya kerelaan/penerimaan dari kedua belah pihak. Apapun yang dilakukan suami atau istri, maka harus ada penerimaan dan kenyamanan bagi keduanya. Tidak boleh ada yang keberatan, terpaksa, atau penolakan dalam melakukan apapun. Suami-istri harus mencari dan mengusahakan kerelaan pasangannya agar tercipta ketenangan dan kenyamanan bagi keduanya. []