Mubadalah.id – Mempunyai peran sebagai ibu, saya duduk di serambi rumah, saya melihat anak-anak bermain bola. Di tepi halaman berdiri tiang dengan bendera berkibar megah. Ya, tiap bulan Agustus, Sang Merah Putih berkibar di depan rumah. Bermain bola di bawah kibaran bendera, anak-anak kami ini masih duduk di bangku SD. Perjalanan mereka dan jutaan anak Indonesia lain masih panjang, begitu juga kibaran Merah Putih di seluruh penjuru negeri kita tercinta ini.
Merah Putih itu sederhana tapi anggun. Angin khatuliswa membuat kibarannya makin berwibawa. Semoga kita diberi umur panjang agar ikut menyaksikan ketika bendera itu dikibartinggikan kala Republik kita merayakan 100 tahun kemerdekaannya. Dan, yang lebih penting lagi, semoga kita ikut menjadi saksi bahwa saat itu nanti semua yang dijanjikan kemerdekaan bisa tertunaikan bagi tiap anak bangsa. Janji Kemerdekaan kita adalah melindungi, mencerdaskan, menyejahterakan dan menjadi bagian aktif dari dunia. Janji itu harus kita lunasi sama-sama, kita lunasi bagi tiap anak bangsa.
Pada saat itu, anak-anak kita mungkin sudah akan mencapai -bahkan melebihi- usia kita sekarang. Saat itu merekalah yang akan terlibat dan ikut menjadi pengambil keputusan, menentukan arah di bidang mereka masing-masing. Tugas kita kini adalah mengantisipasi, menyiapkan dan terus menggelar karya demi masa depan yang lebih baik. Anak-anak kita bukan sekadar generasi muda, merekalah wajah masa depan. Pada kita amanah untuk menyiapkan masa depan itu dibebankan.
Membaca perubahan dan mengantisipasi masa depan itu tidak sederhana. Ketika saya masih bertugas di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, salah satu hal yang paling menyita pikiran dan kegiatan adalah mengantisipasi perubahan, melihat tantangan yang akan generasi baru kita hadapi serta memastikan sarana dan iklim belajar tersedia bagi mereka agar dapat menjadi pemenang pada masa mereka.
Dalam berbagai forum global maupun nasional, pesan yang sama bergaung, yaitu tentang perubahan yang begitu pesat. Dunia saat ini telah memasuki gelombang revolusi industri keempat. Konektivitas mampu mengubah peta dunia lebih dari sekadar batas-batas negara. Saat berkeliling ke berbagai daerah dan bertemu dengan para pendidik, saya selalu ingatkan kepada semua untuk mengantisipasi perubahan dunia ini dan untuk membimbing anak-anak kita agar memiliki fondasi karakter dan menguasi kompetensi abad 21. Semua harus berkolaborasi demi masa depan anak-anak.
Kini, sejak tugas saya sebagai anggota Kabinet Kerja yang membawahi bidang Pendidikan dan Kebudayaan dicukupkan, maka kesempatan untuk bersama keluarga meningkat drastis. Pada hari-hari awal saya di rumah, dua anak terkecil kami, Kaisar dan Ismail, bertanya, “Jadi Abah sekarang bisa sering di rumah, ya?” Saat dijawab ya, senyum lebar mengembang di wajah mereka. Itulah pertanyaan pertama.
Bagi mereka kehadiran ayah mereka untuk ikut main sepak bola, otelo, congklak atau mendongeng sebelum tidur adalah prioritas utama. Dan memang benar, hari-hari berikutnya saya punya waktu lebih banyak dengan keluarga, mengantarkan anak berangkat sekolah secara bergantian, dan punya waktu untuk berbincang dengan istri dan ibunda.
Keluarga adalah pilar pendidikan yang pertama dan terutama. Saat bertugas di Kementerian kami secara khusus membentuk Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga. Pemerintah perlu menyiapkan diri untuk membantu orang tua dan keluarga dalam mendidik anak-anak mereka.
Kami sekeluarga biasa duduk bersama di serambi menghadap ke halaman yang di tengahnya ada tiang bendera dan kibaran Merah Putih. Biasanya saya hanya duduk di pagi hari, saat bendera masih tergulung di tiang, saat tidak ada angin. Akhir-akhir ini saya sering ngobrol bersama keluarga dan tamu di serambi rumah di sore hari, di saat angin kuat membuat bendera itu berkibar megah.
Pada sore itulah saya merenungkan kembali -dan makin percaya- tentang peran keluarga dan bangsa kita, dan bendera itulah simbolnya. Saya makin yakin bahwa bisa saja para pejabat, para pemimpin dan pemikir berdiskusi konsep-konsep besar tentang negara beserta kemajuannya, namun sesungguhnya dari keluargalah bangsa ini bergerak. Lebih jauh lagi, di dalam keluarga itu ada seorang penjaga, penggerak dan inspirasi, yaitu ibu.
Saat bersama keluarga di rumah akhir-akhir ini, saya makin menyadari betapa besar peran yang dilakukan ibunda dan istri, dalam mengawal tumbuh kembang anak-anaknya, menjalankan roda kegiatan keluarga kami, di tengah-tengah berbagai kesibukan lain yang ia jalankan di bidang sosial dan pengembangan kemasyarakatan. Saya yakin, di setiap keluarga fenomena yang hampir sama juga berlangsung.
Saya membayangkan, seorang ibu itu memiliki job description yang jauh lebih rumit dan lebih kompleks daripada CEO perusahaan mana pun. Ibulah yang paling banyak hibahkan segalanya demi keluarganya. Ibu hibahkan waktu, pikiran, tenaga, rasa dan hati demi keluarga, demi pendidikan anak-anak. Keringat Ibu saat mendampingi anak-anak terlihat seperti kristal cemerlang berwarna cinta. Air mata Ibu saat menyaksikan anak-anaknya berprestasi adalah pancaran cahaya kebahagiaan bernuansa syukur. Ibu adalah sumber aliran cinta tanpa syarat, tanpa henti.
Kami para suami, sering hanya tahu beres. Kerumitan, kerepotan dan jumpalitan di balik lancarnya semua urusan jarang terperhatikan. Saat semua urusan di rumah berjalan lancar, kita tidak sadar. Saat ada urusan yang mandek dan bermasalah, kita cekatan memprotes bahkan menyalahkan. Ibu berhadapan dengan parade kerja rumit di tempat sunyi, kerja besar di tempat mungil: di rumah.
Saya perhatikan saat anak-anak dianugerahi prestasi, hampir semua prestasi anak itu merupakan hasil dampingan ibu-bapak mereka. Tetapi saat menyebut nama orang tua, hampir selalu yang disebut adalah nama ayah mereka tanpa nama ibu. Dan menariknya, para ibu itu tidak pernah mempertanyakan. Memang, Ibu bukan hanya hulu aliran cinta, ibu juga hulu aliran ikhlas tak berbatas.
Di keluargalah semua kebiasaan dimulai. Kebiasaan itu kelak menjadi karakter dan budaya. Tanpa kita sadari radio yang biasa didengarkan di rumah atau di mobil turut membentuk selera musik anak kita. Program televisi yang biasa ditonton turut membentuk selera hiburan. Jenis bacaaan yang biasa dibaca di rumah adalah pembentuk minat baca, mutu bacaan dan daya baca. Rutinitas ibadah yang biasa dilakukan di rumah, pembentuk budaya ritual beribadah.
Keindonesiaan juga dimulai di rumah. Ketika kita menyaksikan ribuan anak muda, anak-anak abad 21, menyatakan siap menjadi guru di pelosok jauh daerah bernuansa abad 19, kita terpana. Kita kagum saat menyaksikan anak-anak muda yang dengan kreativitasnya menorehkan nasionalisme.
Sesungguhnya yang sedang kita saksikan adalah sebuah bukti otentik bahwa keluarga-keluarga kita, atau lebih tepatnya ibu-ibu kita, tetap menumbuhkan anak-anak yang mencintai negeri ini. Peran ibu kita tetap melahirkan pejuang-pejuang.
Saat kita merayakan kemerdekaan, kita perlu ingat bahwa sesungguhnya pilar penjaga kemerdekaan itu adalah keluarga. Benih kecintaan kepada bangsa dan kemauan untuk berkarya demi bangsa tumbuh dari hati keluarga. Rumah bisa sederhana atau mewah, tapi suasana batin keluargalah yang menjadi penumbuh rasa kebangsaan ini, rasa kemerdekaan.
Maka pada perayaan kemerdekaan Indonesia ke-71 ini, saya ingin menyampaikan penghargaan tinggi kepada para ibu, yang seringkali tak menyadari bahwa bukan hanya saat menjalani profesinya saja ia berkontribusi kepada bangsa. Saat ia menjalankan roda keluarga, sesungguhnya ia sedang menggerakkan bangsa dengan karya, mengisi kemerdekaan dengan prestasi. Dari keluargalah akan muncul anak-anak muda yang akan membawa Indonesia mengarungi tantangan zaman baru di era global. Dari keluargalah kemerdekaan diisi oleh makna dan karya.
Dari ibu yang cinta tanah air, hadir anak pejuang negeri. Dari dendang senandung Ibu saat mengantarkan anak menuju tidur, hadir pesan mulia dalam benak anak. Dalam dongeng yang diceritakan orang tua kepada anaknya, hadir bibit nilai untuk budi pekerti luhur.
Dari ibu ditumbuhkan akar kuat kebangsaannya agar kelak prestasi anak-anak bisa menjulang tingi, bisa berkarya dan bisa turut mewarnai dunia, mengisi kemerdekaan sambil tetap mengakar di tanah ibunya, di Indonesia.
Terima kasih para Ibu.
Dirgahayu Indonesia.
Anies Baswedan
sumber:http://www.femina.co.id