Mubadalah.id – Dengan terselenggaranya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) sesungguhnya memiliki tujuan khusus, yaitu memberikan penegasan secara ilmiah bahwa peran Ulama Perempuan perlu diperhitungkan di tengah distorsi pemaknaan kata “ulama” yang sering dikaitkan hanya pada laki-laki.
Sehingga mengartikan al-‘ulama waratsah al-Anbiya’ tidak lagi meninggalkan kesan memarginalkan keberadaan ulama perempuan sebagai pewaris Nabi.
Bias gender dalam kata ulama juga disinggung oleh Hatoon al-Fasi, dalam pidatonya beliau memperjelas bahwa demi menyelamatkan peran ulama dalam kontestasi dunia ilmiah. Beliau lebih menyepakati julukan ‘alimat bagi ulama perempuan.
Kata al-‘ulama’ dan al-‘alimu sekali pun berasal dari akar kata yang sama tapi keduanya memiliki perbedaan makna yang sangat signifikan.
Perbedaan makna ini dapat kita ihat dengan tambahan penjelasan al-Baqi dalam mu’jam nya. Bahwa ketika dalam al-Qur’an disebutkan kata al-‘ulama’ yang disebutkan hanya dua kali. Penyebutan ini mengarah kepada keimanan dan ketakwaan, seperti ayat innama yakhsyaallah min ‘ibadih al-‘ulama’.
Penggunaan ayat ini konsisten untuk ajakan kepada manusia agar bertafakkur dan tadabbur terhadap keberadaan Tuhan.
Sedangkan penggunaan kata al-‘alimun tercatat ada sebanyak lima kali dan kata al-‘alim sebanyak tiga belas kali tidak mengintegrasikan manusia terhadap relasi religiusitas.
Pembahasan dalam KUPI menyimpulkan tidak hanya ulama yang memahami agama dan memiliki latar belakang yang religi. Namun juga para ‘alim- ‘alimah yang expert dalam berbagai bidang sosial.
Penggunaan kata ulama sering sebagian orang salah artikan sebagai kata khusus untuk laki-laki. Namun hal tersebut tidak lagi berlaku bagi KUPI. KUPI mampu menghapus delegitimasi sebutan ulama yang hanya untuk laki-laki. Serta membuktikan pengaruh perempuan terhadap kemajuan peradaban bangsa Indonesia.
Kenyataan ini ternyata bersinergi dengan visi misi muqaddimah KUPI yang menjelaskan upaya dan tujuannya ulama perempuan sering mengalami berbagai tantangan. Seperti pengabaian, deligitmasi, bahkan kekerasan.
Untuk itu, perlu kita lakukan berbagai upaya penguatan pengetahuan dan keahlian, jejaring antarulama perempuan, afirmasi dan apresiasi kerja-kerja mereka, serta pengokohan eksistensi secara kultural. []