Mubadalah.id – Menjelang perayaan hari kemerdekaan ke-78 pada 17 Agustus 2023 mendatang, sebagian masyarakat Indonesia tengah berlomba-lomba untuk menyiapkan perayaan ini dengan penuh suka cita.
Tidak sedikit para warga di seluruh Indonesia mulai menghiasi gang-gang, rumah, kendaraan, sekolahan dan seluruh area publik dengan kibaran bendera merah putih.
Semarak perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus memang menjadi salah satu momen untuk membangkitkan kembali rasa cinta sebagian masyarakat kepada tanah air Indonesia.
Bahkan semarak perayaan ini mulai kita rasakan sejak memasuki awal bulan Agustus. Biasanya akan ada banyak lomba-lomba yang mereka adakan untuk menuju perayaan puncak pada tanggal 17 Agustus.
Seperti di Desa Sindangjawa, Kabupaten Cirebon, sudah diadakan perlombaan turnamen sepak bola. Turnamen sepak bola ini diikuti oleh sebagian desa-desa yang berada di Kabupaten Cirebon.
Dari turnamen sepak bola, membuat kita bisa bertemu dengan banyak orang dari berbagai desa yang berada di Cirebon. Sehingga kita bisa saling kenal mengenal sesama para suporter.
Bahkan saat menjadi suporter ini, baik orang tua, muda, anak-anak, bahkan dari semua golongan suku sunda, jawa. Maupun dari berbagai agama bisa duduk bersama.
Momen seperti ini lah, saya kira yang jarang terjadi di sebagian masyarakat. Karena tidak ada kegiatan yang mampu mempertemukan mereka. Apalagi mereka bisa duduk bersama meninggalkan segala identitas yang melekat pada tubuhnya.
Ada salah satu hal yang menarik saat saya ikut terlibat menjadi suporter. Saat itu, saya bertemu dengan Fredy (nama samaran), seorang pemuda Kristen dari Desa Jamblang.
Fredy bersama delapan temannya, empat laki-laki, dan empat perempuan yang beragama Kristen ikut hadir dan mendukung tim dari desanya saat berlaga di lapangan.
Mereka tampak semangat dan melantunkan yel-yel mereka, “Yo bisa yo, Jamblang pasti menang.”
Hal ini lah yang menarik perhatiaan saya, untuk bisa ngobrol dengan Fredy.
Kisah Fredy
“Bro, kenapa mau hadir dan mendukung tim kamu?,” tanyaku.
“Lho, iya bro, mumpung ada even seperti ini, kapan lagi kita bisa berkumpul dan menyatukan semangat untuk mendukung. Apalagi yang bertanding itu adalah dari desa sendiri. Jadi kami bersama warga Desa Jamblang baik yang Kristen maupun Islam, duduk bersama dan mendukung tim kami,” jawab Fredy.
“Kalau tidak ada momen seperti sepak bola ini, memangnya kalian jarang bertemu atau ngobrol gitu?,” lanjutku.
“Jangankan ngobrol, bertemu juga hanya saat berpapasan di jalan. Terlebih, stigma negatif kepada kami yang beragama Kristen di desa itu masih sangat kuat. Maka dari itu, dari sepak bola ini, akhirnya saya bisa bertemu dan duduk bersama dengan teman-teman dari desa kami,” tegasnya.
“Memangnya, mereka menstigma kalian itu seperti apa?,” tanya penasaranku.
“Iya, gitu bro, kalian jangan dekat-dekat dengan orang Kristen, apalagi sampai berteman, pokoknya gitulah. Bahkan untuk kegiatan pemuda di desa, kami jarang untuk dilibatkan,” paparnya.
“Jadi, kami sangat beruntung dengan adanya pertandingan sepak bola ini, kami bisa ikut terlibat dan mendukung tim desa kami, agar bisa juara,” tambahnya.
“Waduh, saya turut prihatin ya, kalian yang sabar, semoga semakin banyak ruang-ruang perjumpaan yang bisa melibatkan kalian. Sehingga stigma negatif itu akan runtuh dengan cara bertemu dan berjumpa ya,” ucapku.
Dari sepak bola ini lah, saya kira menjadi wadah untuk saling bertemu dan saling mengenal.
Fredy yang awalnya susah untuk bertemu dan ikut terlibat aktif dengan teman satu desanya, namun dengan adanya turnamen ini, mereka bisa bertemu dan berjumpa.
Namun dari percakapan dan pengakuan Fredy di atas menjadi tamparan dan PR bagi kita semua, bahwa stigma negatif dengan mereka yang berbeda itu masih cukup kental di sebagian masyarakat.
Bahkan, jika ada orang atau keluarga yang beragama Kristen di lingkungan yang mayoritas Islam, mereka kerep kali dikucilkan, tidak diikutkan, dan tidak dilibatkan. Bahkan tidak diberikan ruang.
Konflik Pendirian Rumah Ibadah
Terlebih, di sebagian daerah di Indonesia masih kerap terjadi konflik pendirian rumah ibadah.
Dalam laporan Direktur Riset SETARA Institute, Halili Hasan mengatakan, berdasarkan data longitudinal SETARA Institute periode 2007-2022, telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah minoritas dalam satu setengah dekade terakhir.
Gangguan tersebut, kata Halili mencakup pembubaran dan menolakan peribadatan dan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lainnya.
Dari data tersebut, saya kira begitulah fakta di lapangan, bahwa kebebasan beragama di Indonesia sangat menyedihkan dan tragis. Bahkan tidak sedikit teman-teman kita yang berbeda agama masih mengalami kesulitan untuk beribadah.
Oleh sebab itu, di hari kemerdekaan ke-78 ini, saya kira menjadi waktu untuk intropeksi dan sadar penuh bahwa teman-teman yang beragama Non-Muslim, mereka masih belum sepenuhnya merdeka.
Haknya untuk beribadah belum sepenuhnya bangsa Indonesia berikan kepada mereka. Jangankan untuk beribadah, untuk mendirikannya juga masih mendapatkan beragam penolakan.
15 Tahun Belum Berdiri Rumah Ibadah
Bahkan dalam laporan BBC News Indonesia menyebutkan selama 15 tahun jemaat gereja HKBP Maranatha Cilegon belum bisa mendirikan rumah ibadahnya.
Bisa kita bayangkan, selama 15 tahun teman-teman kita yang Kristen tidak bisa beribadah. Hal ini yang berbeda dengan kita sebagai umat Islam, kita memiliki banyak sekali masjid yang besar-besar dan mushala di setiap sudut desa. Terlebih, kita sebagai umat Islam, dapat beribadah dengan tenang, nyaman, dan mudah.
Oleh karena itu, hal ini lah menjadi PR kita bersama, kebebasan beragama di Indonesia masih penuh luka dan duka.
Maka dengan begitu, dari semangat kemerdekaan ini, saya kira bisa langkah awal untuk memperbaiki dan menumbuhkan kesadaran bagi kita semua, bahwa mereka yang berbeda juga punya hak yang sama sebagai warga Indonesia.
Yaitu, mereka memiliki hak untuk beribadah dengan baik dan aman, hak aktif ikut terlibat di ruang publik dan hak untuk mendapatkan keamanan.
Oleh sebab itu, dalam hal tersebut, sebetulnya negara memiliki peran penting untuk memberikan dan menjamin perlindungan, keselamatan, dan keamanan bagi seluruh masyarakatnya. Termasuk bagi teman-teman kita yang Non-Muslim.
Islam: Agama yang Damai
Sejalan dengan semangat kemerdekaan, Islam adalah agama yang mengajarkan kepada seluruh umat Islam untuk tidak menyakiti mereka yang berbeda.
Dalam beberapa teks hadis, seperti yang saya kutip di buku Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir menyebutkan bahwa Islam merupakan agama yang melarang menyakiti pemeluk agama apa pun.
“Nabi Muhammad Saw bersabda menyakiti diri atau orang lain adalah haram dalam Islam.” (Sunan Ibnu Majah, hadits nomor 2430).
Dalam hadis lain menjelaskan, ketika ada seseorang yang bertanya, “apakah misi utama kerasulan?. Nabi menjawab, “menyambung persaudaraan, membuat aman dan damai perjalanan, memelihara kehidupan, dan memberantas kemusyrikan.” (Musnad Ahmad, hadits nomor 17290).
Pernyataan Nabi Muhammad Saw dalam Musnad Ahmad ini, menurut Kiai Faqih, cukup benderang, bahwa memang misi kerasulan adalah menguatkan relasi persaudaraan, mewujudkan segala upaya perdamaian, dan membangun kehidupan, tentu saja di samping ketauhidan kepada Allah Swt.
Dalam ungkapan lain, segala pentuk perilaku buruk dan menyakiti siapa pun, secara prinsip, adalah bukan bagian dari ajaran nabi. Sehingga, teks hadis ini bisa menjadi landasan bahwa nabi melarang menyakiti manusia siapa pun, sekalipun berbeda agama.
Oleh sebab itu, dengan semangat kemerdekaan di atas dan Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw ini, bagi saya penting untuk kita terapkan bagi seluruh umat beragama yang ada di negeri ini.
Artinya, jika perintah ini bisa kita terapkan, maka teman-teman yang beragama Non-Muslim dapat beribadah, menjalankan semua aktivitas, dan hidup di tengah masyarakat dengan aman dan nyaman.
Dengan begitu, mari menjelang perayaan hari kemerdekaan ke-78 ini, kita benar-benar bisa hidup secara merdeka dari berbagai penindasan. []