Mubadalah.id – Seluruh umat Islam di dunia merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW pada 12 rabi’ul awal. Banyak cara untuk memperingati hari kelahiran tersebut. Termasuk di daerah Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat.
Perlu teman-teman ketahui, Maulid Nabi di Gunung jati, selalu mengadakan acara marhabanan dan panjang jimat, biasa juga kita sebut dengan Pelal.
Marhabanan biasanya mereka lakukan setelah isya, di depan pintu makam pertama yang berwarna kuning. Warga setempat yang mengikuti pembacaan maulid diba’i biasanya duduk di atas panggung. Bagi pengunjung yang ingin ikut pembacaan maulid diba’i tersebut duduk di bawah.
Panjang Jimat
Panjang jimat adalah upacara untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW dan merupakan acara puncak dari serangkaian kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Gunung Jati, Cirebon.
Kata “panjang” berarti sederetan iring-iringan berbagai benda pusaka dalam prosesi itu. Dan “jimat” berarti “siji kang dirumat” atau satu yang kita hormati. Yaitu kalimat syahadat “la illa ha illallah” sehingga arti dari dua kata itu adalah sederetan persiapan menyongsong kelahiran Nabi yang teguh mengumandangkan kalimat syahadat kepada umat di dunia.
Ada juga yang mengartikan dengan pengertian lain. Panjang secara bentuk berarti piring, ambeng (tempat makan) Rasul dan para sahabatnya. Jimat singkatan dari diaji dan dirumat. Artinya kita pelajari dan kita amalkan, kembali kapada fitrah sebagai manusia untuk mengamalkan ajaran agama Islam.
Dalam piring atau panjang terdapat berbagai tulisan yang mengandung ajaran Islam yang harus kita jimat (diaji dan dirumat) oleh segenap pemeluk agama Islam sebagai tujuan untuk perayaan tahunan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Melihat Lebih Dekat Perayaan Maulid
Saya melihat lebih dekat perayaan Maulid. Ada sekelompok orang yang berjajar membawa piringan atau ambeng yang tertutup oleh kain. Biasanya di dalamnya itu terdapat benda pusaka. Konon pusaka tersebut berupa keris. Dan orang-orang yang mengelilingi orang yang lewat tersebut kebanyakan melemparkan beberapa uang receh.
Setelah itu orang-orang tadi masuk ke dalam pintu kuning yang terbuka tersebut. Pelaksanannya juga di tengah-tengah ketika kita sedang berdiri ketika marhabanan.
Setelah selesai marhabanan, warga setempat yang membaca maulid diba’i terutama yang berada di panggung ikut keluar lewat pintu kuning tersebut. Dan bagi pengunjung boleh saja melewatinya, itu pun bagi pengunjung yang ikut baris di belakang warga yang masuk ke pintu kuning itu.
Bagi warga setempat biasanya setelah selesai marhabanan akan mendapatkan berkat (sajian makanan yang ditaruh pada tempat khusus). Berkat itu biasaya berisi kan nasi ketan putih yang di atasnya di guyur oleh nasi kuning. Lauk yang wajib ada di dalamnya itu ikan goreng, tepung dan asam manis, cemplung, telor asin, dan dadar tepung yang berwarna kuning. Dan laukan yang lain hanya berupa tambahan.
Peran Perempuan Belum Terlihat
Adapun pelibatan perempuan pada kegiatan acara marhabanan hanya terlihat sebelum acara. Warga setempat perempuan hanya terlibat sebelum acara marhabanan saja. Dalam artian yang menyiapkan makanan dan berkat untuk warga setempat laki-laki yang mengikuti marahabanan tersebut.
Kenapa demikian? Karena memang adat kebiasan di situ tidak pernah melibatkan perempuan untuk marhabanan di panggung dalam area makam Sunan Gunung Jati.
Akan tetapi, bagi para pengunjung yang ingin mengikuti marhabanan itu bebas baik laki-laki maupun perempuan. Pengunjung yang ikut masuk lewat pintu kuning pun bebas bagi laki-laki dan perempuan.
Menurut saya, seharusnya bagi warga setempat, perempuan juga terlibat pada seluruh acara yang ada. Bukan hanya untuk mempersiapkan berkat bagi laki-laki saja.
Karena sesungguhnya, mungkin perempuan juga ada yang ingin mengikutinya akan tetapi dari adat setempat tidak ada yang ikut maka akan menjadi sulit. Seperti contohnya saya sebagai pendatang yang ingin mengikuti acara akan tetapi kesusahan karena adat yang seperti itu. Maka saya lebih memilih pergi sendiri bersama teman saya. []