Mubadalah.id – Beberapa hari kemarin saya silaturahim ke Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan. Selain karena ingin mengetahui beberapa info ter-up date kondisi kehidupan masyarakat, hari itu juga rencana mau ada syukuran. Sesekali saya juga ‘kepo’ ke beberapa orang yang sedang berkunjung ke KUA, tentang biaya nikah, jumlah pernikahan, usia pernikahan para calon pengantin, termasuk angka perceraian.
Sepanjang yang saya amati, perceraian sering terjadi, konon kebanyakan karena faktor ekonomi. Selain itu karena KdRT, kualitas bersebadan yang menurun dan lain sebagainya. Nafkah suami yang diberikan istri kurang. Apa betul demikian? Memang betul, cuma bukan persoalan yang mendasar. Adalah pemahaman tentang makna pernikahan dan rumah tangga yang kurang dimengerti. Tentang cara pandang dan penyikapan.
Meskipun persoalan ekonomi penting, tetapi persoalannya kita menikah bukan semata-mata karena urusan ekonomi. Uang dan harta. Karena menikah hanya diukur dengan uang dan harta, tidak aneh jika di antara kita cepat marah dan frustasi manakala uang dan harta yang didapat tidak mencukupi. Cukup atau tidak adalah soal kualitas syukur. Ada sepasang istri-suami berpenghasilan 200 ribu perbulan dan ada yang berpenghasilan 20 juta perbulan. Bagi sebagian banyak orang, tentu akan memilih berpenghasilan 20 juta ketimbang yang 200 ribu.
Padahal sungguh benar nyata, bahwa ada sepasang istri-suami yang penghasilan 20 juta tetapi tidak berbanding lurus dengan kualitas rumah tangganya. Bukan hanya selalu merasa kurang, tetapi juga rumah tangganya rentan diterpa percekcokan, anak-anak yang susah diatur, kesehatan yang semakin menurun dan seterusnya. Itu artinya tidak ada syukur dalam hidupnya. Padahal keberlimpahan harta bukanlah jaminan dan sama sekali tidak identik dengan biduk rumah tangga yang berkualitas.
Cara pandang dan sikap yang arif jauh lebih berharga daripada uang. Komitmen saling bersyukur dan memahami jauh lebih berarti ketimbang urusan materi. Kesehatan, anak-anak yang saleh-salehah, jauh lebih mahal daripada harta yang banyak sekalipun. Pemahaman kita terlalu instan dan pragmatis. Kita terjebak pada urusan harta semata. Siang dan malam menghabiskan waktu hanya untuk mencari uang tanpa jelas halal-haramnya, riba atau bukan.
Kalau saja istri dan suami mampu bersikap demikian, jika saat ini keduanya sedang diuji oleh Allah sedang tidak punya uang sepeserpun, keduanya akan selalu menghadapinya dengan tenang dan tawakal. Bagi sebagian orang mungkin dikira omong kosong, ya silakan. Tetapi kita yang sudah maupun belum menikah harus belajar hidup dengan arif, belajar bagaimana agar mental kita siap manakala sudah berumah tangga.
Fatalnya, kita selalu mengidentikkan kebahagiaan dengan uang yang banyak. Kita juga sering kali mengukur kebahagiaan rumah tangga kita dengan rumah tangga orang lain. Akhirnya kita pun sering dilanda gelisah karena rumah tangganya tidak seperti orang lain. Meneladani kehidupan rumah tangga orang lain adalah baik, selama yang diteladani adalah sikap-sikap hidup yang baik. Kita harus punya prinsip menjadi ‘diri sendiri’, proses rumah tangga yang betul dijalani dengan nikmat dan penuh seni.
Sehingga dengan demikian, saya kok ragu kalau kemudian sampai ada suami yang tega menceraikan istrinya, atau istri yang tega menggugat cerai suaminya. Apalagi anak-anaknya sedang tumbuh besar, tentu mereka semakin butuh kasih sayang dari orang tuanya. Kalau saja pernikahan dan rumah tangga bisa dinikmati dengan segala risikonya secara bersama, yakin seberat apapun permasalahan tidak akan berujung pada perceraian. Sebab acap kali perceraian terjadi hanya karena persoalan sepele: kesalahpahaman. []