Berbincang seputar perempuan, kalimat yang sering muncul di khalayak umum seakan “tidak ada habisnya”. Perempuan memang penuh dengan kompleksitas yang menarik dibahas dari berbagai sisi kehidupan.
Namun, dari banyaknya perdebatan wacana seputar perempuan dewasa ini, seperti perempuan dalam ranah politik, perempuan dan kesetaraan hukum, perempuan dalam relasi sosial, hampir semua tema pembahasan tersebut jika dikerucutkan dalam satu tema besar akan mengarah pada pertanyaan inti, yakni perihal apa yang ada pada diri perempuan bersifat kodrati (alamiah) dan mana yang merupakan hasil konstrusi atau bentukan budaya masyarakat.
Selama ini diskursus tentang perempuan mengalami pendikotomian. Satu pihak ada yang cenderung mengatakan (segala) apa yang ada pada diri perempuan adalah bersifat kodrati.
Sedangkan di lain pihak mengatakan apa yang ada pada diri perempuan merupakan konstruk masyarakat yang telah berkembang berabad-abad lamanya dan secara kontinyu disosialisasikan melalui elemen-elemen masyarakat sehingga terciptalah bangunan nilai dan norma budaya yang kemudian hal itu seolah menjadi hal yang kodrati.
Lantas, bagaimanakah kita memahami persoalan tersebut?.
Sebelum berlanjut mengkaji pertanyaan di atas, perlu digaris bawahi bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama-sama manusia dan keduanya bersumber dari Ayah dan Ibu yang sama, yaitu Adam dan Hawa.
Syaikh Mahmud Syaltut, mantan pemimpin tertinggi Al Azhar Mesir, berpendapat bahwa Allah telah menganugerahkan kepada perempuan dan laki-laki berupa potensi yang cukup untuk memikul aneka tangga jawab sehingga mampu melaksanakan aneka kegiatan kemanusiaan yang umum maupun khusus.
Mencari tahu perbedaan laki-laki dan perempuan tidak cukup hanya bertumpu pada kenyataan, bahwa laki-laki merupakan makhluk yang mempunyai sperma dan perempuan adalah makhluk yang mempunyai ovum. Namun juga tidak tepat pula
Jika kita menganggap bahwa keduanya seperti dua unit yang masing-masing berdiri sendiri secara independen, tanpa adanya jalinan relasi yang saling membutuhkan dan melengkapi.
Quraish Shihab, dalam salah satu karya tulisnya yang berjudul “Perempuan” dengan merujuk pada sekian banyak pakar kedokteran dan psikologi, mengemukakan beberapa perbedaan lain antara laki-laki dan perempuan yang tidak mudah diketahui oleh orang kebanyakan.
Antara lain bahwa laki-laki dan perempuan, masing-masing memiliki hormon khusus dan ciri biologis tertentu yang memiliki kadar berbeda. Darahnya pun memiliki perbedaan, jumlah butiran-butiran darah merah pada perempuan lebih sedikit ketimbang laki-laki. Begitu pula dalam kemampuan bernafas pun perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Namun demikian, bukan berarti kemudian perempuan secara otomatis dianggap sebagai jenis makhluk yang lemah. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam hal kemampuan perempuan yang lebih besar melawan kuman dan virus dibandingkan dengan laki-laki.
Pakar psikologi asal Mesir, Zakaria Ibrahim, menjelaskan bahwa perempuan memiliki kecenderungan mencintai diri sendiri yang berkaitan dengan kecenderungan untuk menyakiti diri demi kelanjutan keturunan.
Dengan kata lain, perempuan memiliki rasa pengorbanan dan empati yang besar. Hal ini berpengaruh pada kekuatan perempuan dalam mengatasi kesulitan dan rasa sakit yang memang telah menjadi kodratnya, seperti haidh, melahirkan serta menyusui, dan membesarkan keturunannya.
Lebih jauh, para pakar menyatakan bahwa perempuan mempunyai rasa kepekaan lebih besar, sehingga sentimen dan rasa takutnya cenderung lebih cepat muncul. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang cenderung berkepala dingin.
Lebih lanjut, Alexis Carrel menyebutkan bahwa perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki lahir dari sebab yang sangat dalam, yakni keterpengaruhan anggota badan seluruhnya dengan unsur-unsur kimiawi serta apa yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjarnya.
Ketidaktahuan menyangkut kenyataan-kenyataan dasar ini menjadi bagian problem terbesar peradaban Barat, di mana mereka menetapkan hukum serta melakukan perencanaan bagi manusia yang merasa tidak kenal sifat dan ciri-cirinya, terlebih rahasia dan tujuan hidupnya.
Selain itu, dan ini yang menjadi perhatian penting, bahwa beberapa perbedaan antara laki-laki dan perempuan memang dihasilkan dari proses budaya atau konstruksi sosial yang telah melekat sekian lama dalam kehidupan suatu masyarakat.
Sebagai contoh, citra ideal seorang perempuan di Jawa yang dibentuk sedemikian rupa, seperti harus memiliki sikap lemah lembut, berbicara dengan intonasi rendah dan kental akan tugas domestik rumah tangga; ‘dapur, sumur dan kasur’.
Sehingga dalam menjalani hidupnya, seorang perempuan akan cenderung bertindak berdasarkan nilai-nilai dari hasil konstruksi budaya masyarakat yang sebenarnya bersifat nisbi/relatif dan temporer.
Dalam arti ia bukanlah hal yang mutlak dan paten yang tidak menerima perubahan. Hal ini penting untuk disadari karena tidak sedikit nilai-nilai relasi sosial tersebut menjadi sebab akan pola subordinasi dan marjinalisasi terhadap perempuan.
Sebagai refleksi kesadaran terhadap fakta realitas yang demikian, upaya untuk melakukan ‘rekonstruksi’ nilai budaya pun dianggap sebagai (seolah) berjalan melawan arah kurva, diburu stigma negatif; “perempuan nakal dan pembangkang”, bahkan tidak sedikit perempuan yang kehilangan nyali untuk berani keluar dari lingkaran sosial yang mengekang hak kebebasan hidupnya.
Dari pemaparan beberapa ahli di atas, bahwa laki-laki dan perempuan memang memiliki perbedaan dalam beberapa porsi. Satu sisi apa yang ada pada diri perempuan adalah hasil dari konstruk masyarakat, meski di lain sisi juga terdapat faktor perbedaan biologis yang sifatnya kodrati/alamiah.
Quraish Shihab berpendapat, bahwa perbedaan-perbedaan yang ada itu telah dirancang oleh Allah SWT. Agar tercipta kesempurnaan kedua belah pihak karena masing-masing tidak dapat berdiri sendiri tanpa keterlibatan antara satu sama lain dalam mencapai kesempurnaan.
Dengan demikian dapat kita tarik kesimpulan bahwa laki-laki dan perempuan dalam segala perbedaannya, tetap berhak memperoleh penghormatan yang sama sebagai manusia tanpa mengurangi kedudukan satu pihak dan melebihkan pihak yang lain. []