Mubadalah.id – Tafsir teks keagamaan yang bias jender menjadi wacana yang menarik dibahas dalam berbagai diskursus seputar perempuan dan agama. KH Husein Muhammad adalah diantara sedikit ulama yang concern menyoroti diskursus tersebut.
Dalam pandangannya, agama telah terlibat dalam arus besar budaya yang bias gender alias tidak bersikap adil terhadap perempuan.
Lebih lanjut menurutnya, memang di dalam realitas sosial, tanpa kita sadari terdapat tarik-menarik yang sulit memisahkan antara sistem budaya dan agama.
Meskipun ada kesepakatan kaum agamawan bahwa agama tidak mungkin memberikan peluang bagi berlangsungnya sistem yang diskriminatif pada semua aspek kehidupan, namun realitas sosial memperlihatkan sebaliknya. Terutama berkaitan dengan relasi lelaki dan perempuan, baik dalam domain domestik ataupun publik. (Baca juga: Perempuan dalam Pemikiran Progresif KH. Husein Muhammad (2))
Bila menulusuri dari prinsip Fundamental Islam, yakni prinsip tauhid, maka akan mendapatkannya, bahwa prinsip tauhid pada dasarnya tidak membeda-bedakan, apalagi mensubordinasi manusia dengan latar belakang sosial dan budaya apa pun.
Tauhid sering memaknainya hanya sebagai hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, tetapi sebetulnya ada hubungan horizontal antarmanusia. Epistemologinya, Tuhan seakan-akan tempat menjustifikasi semua masalah atas nama Tuhan.
Monoteisme Islam sangat membebaskan, tidak boleh ada pandangan yang menyatakan manusia tidak lebih besar dan lebih benar dari yang lain. Yang paling benar hanya Tuhan.
Manusia yang memiliki keistimewaan, kelebihan, terhormat, yang dekat dengan Tuhan adalah siapa saja yang memiliki komitmen pada penegakan kemanusiaan, yang melihat manusia, laki-laki maupun perempuan sebagai makhluk Tuhan yang terhormat.
Sebab Tuhan juga menghormati manusia. Dari pemahaman ini, refleksi sosialnya menjadi begitu kentara. Itu konsekuensi logis prinsip tauhid pada tataran sosial kemanusiaan.*
*Sumber : tulisan karya Septi Gumiandari dalam buku Menelusuri Pemikiran Tokoh-tokoh Islam.