Mubadalah.id – Manusia (laki-laki dan perempuan) merupakan makhluk yang memiliki banyak keistimewaan, kelebihan, dan sebagai ciptaan Tuhan yang harus dihormati.
Dari pemahaman ini, refleksi sosialnya menjadi begitu kentara. Itu konsekuensi logis prinsip tauhid pada tataran sosial kemanusiaan.
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa masyarakat muslim Indonesia sekarang ini seolah-olah mengadopsi kultur padang pasir (baca: Arab) yang sangat berbeda dengan kultur Indonesia, dalam hal perempuan misalnya?
Menjawab pertanyaan ini, KH. Husein Muhammad berpendapat perlunya meruntut terlebih dahulu dari kehadiran Islam dalam masyarakat Arab pertama kali pada abad ke-6 yang nomaden, badui. (Baca juga: Perempuan dalam Pemikiran Progresif KH. Husein Muhammad (1))
Penghargaan terhadap perempuan sangat rendah. Iri bukan khusus Arab. Ini proses kebudayaan yang terasimilasi dari berbagai kebudayaan sebelumnya seperti pengaruh Romawi, Yunani, Sumeria, Babilonia, yang tidak menghargai perempuan.
Nabi Muhammad Saw Sosok Revolusioner
Nabi Muhammad Saw mencoba mentransformasi budaya itu, bahkan secara revolusioner. Mereka yang direndahkan, tidak dapat hak apa-apa, halal dibunuh bahkan (anak perempuan), diangkat begitu rupa bahkan disebut namanya, walaupun haknya baru separuh.
Tetapi, dalam rentang waktu sangat pendek, 23 tahun proses kenabian, 13 tahun di Mekkah, dan 10 tahun di Madinah. Ini sangat revolusioner.
Selama 13 tahun di Mekkah, Nabi memproklamurkan prinsip kemanusiaan universal, seperti ingatlah kepada Tuhanmu yang satu, kamu saling kenal-mengenal, tetapi yang paling terhormat adalah yang paling takwa, tidak ada kelebihan bangsa ini dari bangsa itu.
Ketika di Madinah, Nabi mendirikan masyarakat baru yang dalam praksis, operasional, tetap harus mengakomodasi budaya yang sudah ada. Karenanya, saat itu ada persoalan budaya yang tidak bisa sekaligus disesuaikan dengan prinsip universal tersebut.
Di sinilah sebetulnya tugas kaum muslim masa kini, yaitu melanjutkan cita-cita Nabi di Mekkah itu. Masyarakat di situ adalah masyarakat yang kecil, menerapkan hukum saat itu yang tepat untuk kondisi lokal di situ.
Hanya setelah Nabi meninggal, tampaknya kebudayaan lama sebelum Islam muncul kembali dan otoritas tunggal seperti Nabi tidak ada sehingga orang bebas melakukan penafsiran, muncul tafsir-tafsir sesuai dengan tempat dan waktu.
Budaya Terus Bergerak dan Berubah
Hal yang menarik, penafsiran itu tidak selalu sama seperti yang Nabi Saw lakukan karena proses kebudayaan telah bergerak dan berubah. Hanya para penafsir itu memahami tujuannya, nilai moral yang sudah diputuskan Nabi. Dengan tidak adanya otoritas tunggal, muncul tafsir yang berbeda-beda.
Dengan kata lain, KH. Husein selalu mengatakan, apa yang Nabi Saw putuskan di Madinah adalah contoh menerapkan nilai universal dalam konteks sosial tertentu. Yang kita hindari adalah terjadi kekerasan, pemaksaan, agar selalu terjadi dialogantara ide universal dan tradisi lokal.
Sebagai umat beragama, tatanan dunia (tafsir wacana ataupun realitas sosial) yang diskriminatif tentu kita tidak ingin mengharapkannya. Karena rationally dan/atau revelationally sudah mengetahuinya bahwa perilaku diskriminatif itu menentang kodrat alam yang mengharuskan keseimbangan.
Diskriminasi itu pun menyimpang dari kodrat kemanusiaan yang mendamba keadilan sosial.
Dari sinilah, seperti yang Kiai Husein ungkapkan ini, kita membutuhkan suatu paradigma agama baru yang lebih relevan untuk realisasi tujuan agama sendiri, yakni keadilan.*
*Sumber : tulisan karya Septi Gumiandari dalam buku Menelusuri Pemikiran Tokoh-tokoh Islam.