Mubadalah.id – Kisah perempuan dan sarung ini bermula, ketika Menjelang sore hari, Nea pergi ke kediaman kakaknya yang tak jauh dari rumah. Di sana ternayata ada tamu istimewa, seorang sesepuh kampung dalam pengertian yang sebenarnya. Di mana ia telah khatam dengan asam garamnya hidup. Ia adalah Pak Bukhori yang telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengabdi di kampung Boneaka, usianya 95 tahun. Usia paling tua di antara warga kampung.
Kopi telah tersedia di atas meja, Nea duduk sambil mendengar cerita kakaknya bersama Pak Bukhori. Sesekali ia tersenyum dan menyimak soal pembicaraan mereka yang kadangkala terlihat begitu serius.
Pak Bukhori sangat dihormati di kampung ini. Ia Tokoh yang penuh kebijaksanaan. Kesehariannya sederhana, orangnya murah senyum, ia membantu orang lain tanpa pamrih, tanpa neko-neko. Ia sering memberi nasehat bahkan kepada Nea sekalipun.
Nea memanggil Pak Bukhori dengan sebutan “Baba.”
Panggilan ini sering orang-orang kampung untuk memanggil Pak Bukhori, sebagai bentuk penghormatan terhadap orang tua sekaligus sesepuh kampung.
Resah Soal Jodoh
“Baba, di umur segini saya mulai resah tentang persoalan jodoh” Nea membuka pembicaraannya dengan Pak Bukhori
Yah Nea sedang dirundung masalah, ibunya mulai ikut-ikutan mengamini pertanyaan orang-orang kampung soal pasangan hidup. Karena usianya sudah hampir memasuki kepala tiga. Padahal urusan jodoh, rejeki, kelahiran dan kematian itu adalah hak Tuhan dalam menentukan. Lagian semua orang ingin menikah dan punya anak, termasuk Nea. Tapi standar kehidupan masyarakat begitu kejam dengan mitos-mitos kesempurnaan yang begitu memaksakan agar terlihat “Normal” dalam kehidupan.
Pak Bukhori mendengarkan sambil tersenyum, usai menghisap kreteknya , ia menjawab keluhan Nea dengan suara yang khas dan agak pelan.
“Nak urusan jodoh serahkan saja sama Tuhan. Kita hanya bisa berusaha, asal dalam berusaha lihat orangnya, akhlaknya, dan kelakuannya. Jangan karena terdesak serta merta kita langsung menentukan dan asal-asalan dalam menikah.”
“iya, tapi saya mulai kalut. Baba tahu kan masyarakat kita terlalu Ikut mencampuri setiap hal pribadi orang lain. Saya jadi mulai malu dan merasa sesak ketika kata-kata pertanyaan kapan nikah terdengar di telinga saya.”
Mendengar kata-kata Nea, Pak Bukhori tersenyum sambil manggut-manggut
“Kenali diri sendiri dulu, kenali jati diri dulu sebagai perempuan, sebagai manusia. Nak menikah itu tidak mudah, kamu perlu persiapan yang matang. Bukan karena usiamu, di mana kamu harus siap secara fisik dan mental. Jangan karena terdesak dan malu dengan kata orang. Kamu harus menyeleksi laki-laki, sebab menikah adalah ibadah yang kamu lakukan selama seumur hidup. Jika kamu salah memilih pasangan hidup, kamu akan tinggal dalam neraka sebelum bertemu neraka sungguhan.” Tutur Pak Bukhori.
Menentukan Tujuan Hidup
Suasana mendadak senyap. Nea dan kakaknya hanya menggelengkan kepala saat mendengar nasehat dari Pak Bukhori.
“Sebagai Perempuan apa tujuan hidupmu, apa yang bikin kamu bahagia? Karena membangun rumah tangga berarti sepenuhnya kamu dan laki-laki pilihanmu nanti, akan sama-sama menjadi pelaku dalam menghadapi persoalan hidup. Untuk itulah perlu sama-sama menjaga ridla pasangannya. Perempuan ibarat sarung. Di mana sarung melambangkan kesederhanaan, simbol kebaikan, kelas sosial, dan kehormatan. Saat laki-laki menikahi perempuan, ia seperti mengambil sarung baru yang tersimpan dalam lemari. Inilah makna perempuan dan sarung.”
Orang tua perempuan menyerahkan anak perempuannya kepada sang menantu laki-laki. Lalu menyerahkan sarung kepada laki-laki dengan harapan agar dapat merawatnya bersama. Yakni dengan menanamkan pengetahuan, keyakinan, nilai, sikap, cara hidup, dan meneruskan tradisi. Bertambah lagi sebagai teman dalam beribadah. Sarung kita gunakan secara tidak sembrono, karena mengedapankan rasa malu, tidak arogan sebagai pesan mengarungi kehidupan bersama pasangan.” Lanjut Pak Bukhori
Nea Tertegun mendengar kalimat dari Pak Bukhori. Ia tak menyangka ternyata hal-hal sederhana yang ia abaikan dalam kehidupan sehari-hari, tapi justru banyak mengandung makna. Yah tidak elok rasanya mengibaratkan perempuan dengan sarung, tapi apa yang Pak Bukhori katakan adalah benar. Pandangannya soal perempuan adalah bentuk memuliakan perempuan. Karena sarung bagi laki-laki adalah kehormatan, di mana sarung penggunaannya secara tidak sembrono dan sering terpakai saat salat.
Perjalanan Menemukan Pasangan Hidup
“Untuk itulah sebagai laki-laki, memakai sarung seharusnya menyadarkan kita bahwa ada hal-hal vital yang harus kita jaga, dan kita rawat. Bukan untuk kita rusak agar bisa sejalan dengan mandat yang diberikan sebagai manusia. Sebab tak hanya janji yang disaksikan di hadapan orang-orang, tapi juga di Hadapan Tuhan. Nak, dari itu pilihlah laki-laki yang baik. Tak perlu kaya harta, ganteng, dan berpendidikan tinggi, asal mampu menghargai dan memahami keadaan kita. Ingat nak kita orang susah, jangan sampai kita tak dihargai, karena pada akhirnya kita hidup bersama dengan tanggung jawab dan akhlak dari laki-laki pilihan itu”.
Itulah kalimat penutup untuk Nea, sembari pak Bukhori menghabiskan sisa kopinya. Lalu ia pamit beranjak pulang ke rumahnya.
Kali ini Nea sedikit lega, ia mulai memahami bahwa perkara menemukan pasangan hidup bukanlah hal yang mudah. Jodoh dan pernikahan bukanlah sebuah lomba, persaingan, dan bukan pula hal yang harus kita paksakan. Kita harus pandai memilih dan teliti, sebab menikah adalah ibadah terpanjang bagi setiap manusia laki-laki maupun perempuan. Oleh karenanya, perempuan membutuhkan sosok laki-laki yang siap secara intelektual, spiritual, dan finansial. Sehingga harapannya ketika menjadi pasangan, dapat saling bersinergi dan bisa bermanfaat bagi sesama. []