Mubadalah.id – Pertama kali masuk kelas perkuliahan jenjang doktoral yang memang usia mahasiswanya antara 30 hingga 70, tentunya hampir keseluruhannya sudah berumah tangga, ada satu teman perempuan datang terlambat. Sebagai perempuan di ruang pendidikan, Jumlah kami sangat minoritas 31:4, lalu dosen bertanya “Mengapa ibu terlambat?”
Belum sempat teman saya menjawab, bapak dosen nyeletuk lagi “Tapi saya maklum kalau ada ibu-ibu datang terlambat, barangkali diajakin ‘begituan’ sama suaminya”, lalu satu kelas yang mayoritas laki-laki itu tertawa gerrr.
Miris ya, ternyata guyonan seksis tidak cukup secara lisan, tetapi juga tulisan di grup whatsapp, dengan orang-orang yang sama. Mereka kerap mengirimkan pesan di grup yang bernada seksis.
Padahal jika kita lihat dari latar belakang pendidikan, mereka kebanyakan adalah berprofesi sebagai dosen dan sedang menjalani jenjang pendidikan doktoral. Lebih mirisnya lagi, jurusan yang kami ambil adalah pendidikan agama Islam. Tetapi guyonan yang selalu terlontarkan seputar selangkangan dan poligami.
Same energy, kebetulan lewat berita di beranda, akun Youtube Kinderflix yang kontennya adalah edukasi untuk balita justru menuai berbagai komentar pelecehan seksual yang ditujukan oleh konten kreator. Padahal banyak ibu-ibu yang terbantu dengan konten di akun Kinderflix. Bahkan membantu balita yang mengalami speech delay. See?
Konten kreatornya, Kak Nisa, adalah sarjana psikologi, sajian kontennya edukasi bayi. Editing videonya profesional layak bersanding dengan konten kreator edukasi bayi di luar negeri, pakaiannya sopan, juga memakai hijab. Tapi otak komentatornya yang tidak memiliki nurani, hatinya mati, seolah tidak jauh beda manusia dan pejantan yang sedang birahi.
Pengalaman Biologis Perempuan
Teko mengeluarkan sesuai isi, begitu pula dengan lisan, yang terucapkan mewakili isi kepala. Lima pengalaman biologis perempuan yang berupa menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui adalah untuk kita apresiasi, dan difasilitasi. Bukan untuk dilecehkan, direndahkan dengan guyonan bernada pelecehan seksual.
Sayangnya kelima pengalaman biologis tersebut menyebabkan lima pengalaman sosial berupa stigmatisasi, subordinasi, marjinalisasi, kekerasan, dan beban ganda hanya karena dia menjadi perempuan.
Perempuan mengalami fase menstruasi mingguan, ada premenstrual syndrome (PMS) atau gejala yang terjadi pada perempuan antara ovulasi dan menstruasi yang melibatkan perubahan hormon selama siklus menstruasi. Bahkan sebelum menstruasi, emosi menjadi kurang stabil karena perubahan hormon.
Ketika menstruasi pun ada banyak perempuan yang mengalami sakit kepala, kram perut, nyeri perut, anemia, mual, muntah. Bahkan ada yang pingsan, juga pendarahan berlebihan ketika menstruasi.
Hal ini menjadi suatu hal yang “sangat umum” bahkan terjadi pada kurang lebih 2 juta kasus per tahun di Indonesia.
Jenis Darah Perempuan
Dalam fikih, ilmu darah perempuan sangat luas, risiko-risiko ketika mengeluarkan darah “upnormal” kita bahas menjadi 7 jenis: Mubtadi’ah Mumayyizah, Mubtadi’ah Ghairu Mumayyizah, Mu’tadah Mumayyizah, Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Dzakirah Li’adatiha Qadran wa Waqtan, Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Dzakirah Li’adatiha Qadran Laa Waqtan, Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Dzakirah Li’adatiha Waqtan Laa Qadran, darah ini dikenal dengan darah istihadlah atau darah penyakit.
Bayangkan, perempuan mengeluarkan darah tidak hanya mingguan. Tetapi juga bulanan, dan bagi muslimah diwajibkan memahami ketujuh jenis darah tersebut.
Laki-laki hanya mengalami 1 pengalaman biologis dengan mengeluarkan sperma selama beberapa menit dengan efek nikmat juga menyenangkan. Perempuan mungkin menikmati selama berhubungan seksual, tetapi efeknya tidak hanya berhenti di fase tersebut. Ketika terjadi pembuahan, maka perempuan hamil dan membutuhkan waktu hingga 9 bulanan lebih.
Kehamilan
Di awal kehamilan ada morning sickness, all day sickness, resiko abortus atau keguguran, kram perut, perubahan fisik karena hormon kehamilan. Setiap kehamilan perempuan memiliki pengalaman yang berbeda, bahkan satu perempuan dengan beberapa kali kehamilan mengalami sensasi yang tidak sama.
Ini yang Al-Qur’an sebut sebagai kurhan dan wahnan ‘ala wahnin. Perintah mengapresiasi perempuan saat hamil ada dalam Al-Qur’an:
حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ
“Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” (QS. Luqman: 14)
Melahirkan dan Menyusui
Melahirkan juga menjadi pengalaman dahsyat bagi perempuan. Al-Qur’an mengatakan bahwa Sayyidah Maryam pun, yang merupakan perempuan suci, merasakan pengalaman yang seolah-olah tidak ingin terulang lagi (dengan penyebutan kalimat “Yaa laitani”).
فَاَجَاۤءَهَا الْمَخَاضُ اِلٰى جِذْعِ النَّخْلَةِۚ قَالَتْ يٰلَيْتَنِيْ مِتُّ قَبْلَ هٰذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَّنْسِيًّا
“Kemudian rasa sakit akan melahirkan memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia (Maryam) berkata, “Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.” (QS. Maryam: 23).
Risiko melahirkan tidak hanya taruhan nyawa, tapi pemulihan pasca melahirkan. Melahirkan secara operasi pun terkadang masih dianggap bukan melahirkan secara normal, padahal operasi meminimalisir risiko berat berupa kematian antara ibu dan bayi.
Pengalaman menyusui bagi perempuan juga tidak mudah, Sayyidah Hajar, saat Ismail menangis sebab air susu ibunya kering dan tidak keluar karena mengalami paceklik yang luar biasa menuntutnya untuk tirakat berlari-lari kecil sambal berzikir (tawaf) dari Bukit Shafa ke Marwa.
Allah Swt. mengapresiasi tirakat seorang ibu yang ingin memberikan air kehidupan bagi putranya. Zam-Zam mengalir, Hajar meminum air tersebut. Lalu setelah ia merasa payudaranya bernutrisi kemudian ia susukanlah kepada Nabiyullah Ismail.
Kini, kondisi bagi sebagian ibu tak jauh beda dengan Sayyidah Hajar, para perempuan tidak hanya dihadapkan pada pemenuhan gizi selama menyusui, seperti stunting pada bayi yang prosentasinya cukup tinggi karena kurangnya pemenuhan standar gizi bagi ibu menyusui. Ibu yang telah terpenuhi nutrisinya juga masih harus berjuang dengan karakter puting yang berbeda.
Contohnya payudara dengan jenis puting flat yang membutuhkan beberapa treatment agar bayi bisa menyusu, risiko ASI seret, risiko puting terluka, iritasi, berdarah, hingga bernanah, dan itu dijalani selama “haulaini kamilaini”, 2 tahunan bahkan lebih, proses menyapih yang juga tak mudah bagi psikis ibu dan bayi sekalipun menggunakan metode menyapih dengan cinta atau weaning with love.
Prosesnya begitu panjang demi bisa memberikan nutrisi kepada bayi, tanggung jawabnya untuk menjadi murabbil jasad kepada putra-putrinya bukan menjadi hal yang bisa diremehkan hanya karena dia menjadi perempuan.
Guyonan Seksis
Sayangnya, banyak yang kurang mengapresiasi hal ini dengan mengeluarkan guyonan seksis “menyusui bapaknya”, “bapak kalah saingan dengan bayinya” dan guyonan yang mengarah pada pelecehan tentang anatomi tubuh perempuan. Ingat bagaimana Aura Kasih sebagai pejuang ASI menceritakan prosesnya menjadi ibu menyusui? Komentar-komentarnya tak luput dari pelecehan seksual yang tidak bisa dibendung. Dia sempat menulis perlawanan “Kalian lahir dari mana? Setetes air susu ibu itu yang membuat kalian hidup.”
Bayangkan, betapa “gift” dari Tuhan berupa payudara yang menjadi sumber penghidupan pertama seorang anak manusia dengan mudahnya dilecehkan, sedangkan laki-laki tidak mengalami puting lecet, payudara penuh, atau resiko mastitis (radang kelenjar susu) saat menyusui.
Betapa gambaran terdahulu dari perempuan-perempuan agung era para nabi dan rasul tidak cukup menyadarkan untuk sebagian manusia yang masih asik dengan fantasi seksualnya dan menjadikan perempuan sebagai objektifikasi.
Belum lagi soal nifas, perdarahan pada vagina perempuan pasca melahirkan. Hitungannya mingguan bahkan bulanan. Lalu darah yang keluar lebih dari 60 hari mewajibkan perempuan muslimah harus paham istilah “istihadlah fin nifas”.
Namun hikmah di balik nifas adalah masa beristirahat bagi seorang ibu untuk melakukan aktivitas berhubungan seksual dengan suaminya. Masa fokus untuk pemulihan kesehatan reproduksinya setelah melahirkan, terkadang hal ini kurang disadari oleh kaum suami. Sehingga perhatian kepada seorang ibu pasca melahirkan sering terabaikan, tidak hanya oleh suaminya tetapi juga lingkungan sekitar hingga terjadi baby blues dan post partum depression (PPD) yang dialami seorang ibu. Di Indonesia sendiri, baby blues dan PPD mencapai angka 2 juta per tahunnya.
Allah Mengapresiasi Pengalaman Biologis Perempuan
Maka ketika mendapatkan ayat cinta dari Tuhan “Wa ‘aasyiruuhunna bil ma’ruf”, kita membacanya dengan penuh bahagia. Betapa Allah Swt. mengapresiasi pengalaman biologis perempuan dengan perintah “perlakukan perempuan dengan bermartabat”. Nabi juga menyuarakan untuk memperlakukan perempuan dengan baik:
مَا أَكْرَمَ النِّسَاءَ إِلاَّ كَرِيْمٌ ، وَمَا أَهَانَهُنَّ إِلاَّ لَئِيْمٌ
“Tidaklah yang menghormati perempuan kecuali orang mulia. Dan tidaklah yang menghinakan perempuan kecuali orang yang hina pula.” (HR. Ibnu Asakir)
Begitu pula khotbah Nabi kepada umatnya ketika Haji Wada’:
أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
“Ingatlah, saling berwasiatlah kalian semua, untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka sering dianggap sebagai tawanan, padahal tidak ada hak bagi kalian kecuali untuk kebaikan (mereka) tersebut.” (Sunan At-Tirmidzi no. 1196)
Tidak mudah bagi seorang perempuan di ruang pendidikan untuk bisa sampai pada tekad melanjutkan kuliah hingga doktoral di kampus swasta juga berbayar dengan jumlah kebanyakan laki-laki. Mereka harus mau melawan stigma terlebih dahulu dengan dogma patriarki masyarakat sekitarnya.
Yakni bahwa “perempuan lebih baik di rumah” atau “perempuan tidak perlu sekolah tinggi.” Selain itu juga tuntutan “perempuan boleh melakukan ini dan itu dengan syarat urusan domestik rumah tangga harus sudah beres”.
Kami perempuan hanya ingin mensyukuri nikmat berupa akal pemberian Tuhan untuk memberdayakan diri dalam hal keilmuan hingga jenjang tinggi perkuliahan sebagaimana laki-laki dengan mudah mengakses fasilitas tersebut tanpa ditanyai “Mengapa Bapak terlambat? Apakah Bapak melayani istri terlebih dahulu?” Atau pertanyaan “Kok Bapak kuliah S3? Anaknya siapa nanti yang mengasuh?”
Melawan Perundungan terhadap Perempuan
Guyonan seksis memang tidak bisa kita hindarkan di tengah masyarakat yang kental patriarkinya. Apalagi guyonan seksis di grup whatsapp yang kebanyakan anggotanya adalah laki-laki. Kita mungkin bergidik, dan merasa jijik, apalagi sebagai perempuan yang menjadi obyek pelecehan seksual.
Tetapi hal ini bisa kita cegah dengan tidak “ketok tular” atau memutus mata rantai chat yang berbau pelecehan seksual. Harus ada yang berani untuk meminimalisir kezaliman pada perundungan tubuh-tubuh berharga yang mana dalam surah Al-Isra’ ayat 70 disebut sebagai tubuh yang dimuliakan oleh Allah.
Untuk Perempuan, jangan ragu untuk speak up di grup jika guyonan tersebut sudah membuat kita tidak nyaman. Kita berhak berada di ruang yang aman dan nyaman.
Ada baiknya, bagi laki-laki berpendidikan tinggi dan memiliki ilmu keagamaan yang mumpuni kembali merenungkan ayat Allah Swt. surah An-Nur ayat 30:
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur)
Konsep Ghaddul Bashar
Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm. menjelaskan bahwa konsep Ghadlul Bashar dalam Al-Qur’an itu bukan Ghadlul ‘Uyun atau menundukkan mata sehingga tidak mau melihat lawan jenis, Ghadlul Bashar bermakna tidak memandang lawan jenis sebagai makhluk seksual.
Tidak melulu memandang lawan jenis dari sisi fisik dan biologis saja, tapi memandang lawan jenis sebagai makhluk intelektual, makhluk spiritual dan makhluk yang berakal budi, jadi ketika saling bertemu bukanlah seperti hewan pejantan dan betina.
Ghaddul Bashar mengontrol cara kita memandang dengan tujuan Hifdzul Furuj, agar tidak terjerumus pada zina. Percuma jika menundukkan pandangan pada lawan jenis, tidak bersalaman dengan lawan jenis tapi imajinasi seksnya liar dan melecehkan perempuan.
Hal ini berlaku juga bagi perempuan untuk menerapkan konsep Ghaddul Bashar, surah An-Nur ayat 31:
وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.” (QS. An-Nur: 31)
Tidak cukupkah Al-Qur’an sebagai peringatan, “wa laa taqrabu az-zinaa”. Janganlah kalian melecehkan tubuh kalian sendiri dan tubuh orang lain. Perempuan sebagaimana laki-laki berhak mendapatkan fasilitas yang sama berupa pendidikan, kesehatan, kesejahteraan ekonomi, dan penghidupan yang layak.
Namun perempuan memiliki pengalaman biologis yang tidak dimiliki oleh laki-laki yang seharusnya diapresiasi dengan cara memperlakukan perempuan secara bermartabat dan tidak melecehkan mereka baik secara lisan maupun tulisan. []