Mubadalah.id – Jika melihat realitas dalam kehidupan, kita masih kerap kali dihadapkan bahwa perempuan lebih banyak diposisikan sebagai yang dimiliki dari pada yang memiliki.
Juga termasuk untuk hal-hal yang terkait dengan kepentingan diri mereka, memilih pasangan keluarga, menikah, hubungan intim dengan suami, dan soal-soal kerumah-tanggaan sehari-hari.
Posisi yang dimiliki ini membuat perempuan tidak lagi menjadi manusia utuh, yang memiliki tubuh, jiwa, perasaan, keinginan, dan cita-cita.
Kondisi ini, sedikit banyak akan melahirkan perempuanperempuan yang lemah dan rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan, di dalam maupun di luar rumah.
Jika kondisi politik, sosial maupun budaya demikian menistakan perempuan. Maka harapan untuk melahirkan perempuan berkualitas mar’ah shalihah menjadi sangat sulit diwujudkan. Padahal, mar’ah shalihah ini yang menjadi salah satu pondasi perbaikan generasi bangsa.
Pendidikan Rendah
Jika pendidikan mereka rendah, kualitas kesehatan sederhana, kecakapan pengorganisasian lemah, dan kapasitas intelektual mereka juga rendah. Maka generasi yang akan lahir dan masyarakat yang hidup bersama mereka juga menjadi lemah dan tidak berkualitas.
Jika kita percaya bahwa realitas ketimpangan ini merupakan bentuk ketidakadilan, maka kita harus melakukan segala upaya untuk menghapus ketimpangan tersebut.
Dalam riwayat Abu Dawud dan Al-Turmudzi dari Abi Sa’id al-Khudry ra mengatakan bahwa sebaik-baik jihad adalah kalimatu ‘adlin, atau perjuangan keadilan di hadapan Sulthan Ja’ir, atau kekuasaan yang otoriter.
Artinya, perjuangan untuk mewujudkan keadilan di hadapan realitas-realitas yang otoriter dan timpang. Hal tersebut yang menyebabkan ketidakadilan, ketimpangan dan kezaliman adalah sebuah keniscayaan.
Ketika kezaliman, baik yang bersifat nyata maupun halus, kaum perempuan hadapi dengan baik. Bahkan hingga menyebabkan mereka kehilangan harkat kemerdekaan, kebebasan berpikir, dan berpendapat.
Bahkan kebebasan menolak memperlakukan secara sewenang-wenang sebagai manusia, maka telah datang kewajiban untuk berjihad bagi kepentingan perempuan. Dan inilah yang kemudian, kita mengenalnya dengan gerakan perempuan.
Gerakan ini bisa saja kita lakuan pada aras sosial, politik, atau budaya. Serta pemikiran yang di dalamnya termasuk upaya mengembangkan pemahaman keagamaan yang lebih adil dalam melihat perempuan.
Kemudian realitas ketimpangan ini juga terpengaruhi (dan pada saat yang sama juga memengaruhi) pemahaman keagaman yang berkembang di masyarakat. []