• Login
  • Register
Senin, 2 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah

Perempuan yang Menolak Lamaran Nabi

Sekurang-kurangnya ada tiga nama perempuan yang pernah singgah di hati Nabi, walau pada akhirnya tidak bisa bersua dalam satu “rumah tangga” lantaran beliau menerima penolakan

Wandi Isdiyanto Wandi Isdiyanto
05/01/2022
in Khazanah, Rekomendasi
0
Perempuan yang Menolak Lamaran Nabi

menormalisasi KDRT

343
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebagaimana tercatat dalam sejarah, baginda Nabi Muhammad saw., juga tidak bisa menghindar dari kekecewaan lantaran cintanya tidak kesampaian. Sekurang-kurangnya ada tiga nama perempuan yang menolak lamaran Nabi, yang pada akhirnya tidak bisa bersua dalam satu “rumah tangga” lantaran beliau menerima penolakan. Siapa sajakah perempuan yang menolak lamaran Nabi?

Salah satu perempuan yang menolak lamaran Nabi adalah Fakhitah binti Abi Thalib, putri paman Nabi.

Perempuan yang nantinya lebih dikenal dengan sebutan Ummu Hani’ ini, tidak lain merupakan cinta pertama Muhammad remaja. Namun, nampaknya keadaan sedang tidak berpihak. Saat Muhammad memiliki keberanian mengutarakan isi hati yang selama ini dipendam, ia malah mendapati sang paman menolak lamaran.

Pasalnya, di waktu bersamaan datang seorang pemuda bernama Hubairah bin Wahab dengan tujuan serupa, melamar perempuan yang diimpikan Muhammad sedari dulu. Dua pria ini sama baiknya di mata Abu Thalib. Membuatnya dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah. Satu sisi, dia tahu betul betapa Muhammad adalah pemuda yang memiliki perangai amat baik. Tetapi Hubairah, dalam pandangan Abu Thalib juga tidak kalah baiknya, ia merupakan kerabat jauh yang memiliki nasab terpandang. Setelah dipertimbangkan matang-matang, Abu Thalib dengan berat memilih Hubairah dan mengenyampingkan perasaan ponakan kesayangannya.

Di kemudian hari Nabi mengetahui alasan penolakan pamannya sarat akan unsur balas budi kepada keluarga Hubairah. Keputusan yang diambil ayah Sayyidina Ali tersebut tidak lain demi menjaga relasi baik dua keluarga besar, Kabilah Quraish dan Kabilah Makhzum yang sudah lama terjalin. “Putriku telah kuserahkan pada Kabilah Makhzum sebagaimana mereka dulu menyerahkan putri mereka kepada kami, yaitu ibumu Aminah”, jawab Abu Thalib kepada Nabi saat ditanya ihwal penolakannya dahulu.

Baca Juga:

Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Islam adalah Agama Kasih: Refleksi dari Buku Toleransi dalam Islam

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence Pada Ayat-ayat Shirah Nabawiyah (Part 2)

Ketika Nabi mendapat titah untuk mendakwahkan Islam kepada masyarakat Arab, Ummu Hani’ turut serta mencatatkan namanya sebagai salah satu orang yang menerima ajakan Nabi untuk memeluk ajaran Islam. Sayang, pilihannya itu tidak sejalan dengan kehendak suaminya. Hubairah tetap berpendirian teguh dengan agama yang telah dianut oleh nenek moyangnya. Alhasil, keadaan ini memaksa mereka untuk segera mengakhiri bahtera rumah tangga yang telah lama mereka bina dengan cinta. Ummu Hani’ lebih memilih Islam ketimbang harus melanjutkan hubungan yang tidak mendapat restu agama.

Selepas Ummu Hani’ berpisah dengan suaminya, ia banting tulang merawat putra-putrinya seorang diri. Kondisi yang berbeda andai dia masih tetap bersama Hubairah.

Mengetahui kemalangan yang dirasakan oleh perempuan yang pernah singgah di hati, Nabi merasa iba. Kemanusiaannya terpanggil untuk ikut memikul beban saudari sepupunya itu. Guna melancarkan tujuan mulianya, Nabi bermaksud melamar Ummu Hani’ agar berkenan menjadi istri beliau. Akan tetapi, untuk kedua kalinya Nabi harus mendapatkan jawaban yang tidak diinginkan. Bukan tanpa alasan, sembari meneteskan air mata Ummu Hani’ menyampaikan isi hatinya :

“Duhai kekasihku, Rasulullah! Demi Allah, kau lebih kucintai dari pada diriku sendiri. Aku mencintaimu dulu (di masa Jahiliah) dan kini. Tapi tengoklah keadaanku saat ini, aku sudah renta dimakan usia. Sedangkan hak seorang suami sangatlah besar. Aku tak ingin merepotkanmu wahai Rasul. Aku khawatir jika aku membaktikan diri pada suami, aku akan lalai terhadap kewajibanku pada anak. Dan jika ku baktikan hidupku pada anak-anakku, aku akan lalai terhadap kewajibanku pada suami”.

Sungguhlah Muhammad seorang Rasul. Dengan lapang hati Nabi menerima jawaban itu sembari berucap lirih, “Terpujilah perempuan yang mengasihi anak-anaknya yang masih kecil serta sangat berhati-hati atas tugasnya sebagai seorang istri.” (Nisa’ Haula al-Rasul, hal 14)

Perempuan yang menolak lamaran Nabi berikutnya, ada nama Duba’ah binti Amir bin Qorth. Konon, Duba’ah adalah salah satu perempuan Arab tercantik yang pernah ada di Mekkah. Ia dinikahi oleh Haudzah bin Ali al-Hanafi. Tidak berselang lama dari pernikahannya, Haudzah meninggal. Beruntungnya, Duba’ah mendapat warisan kekayaan yang melimpah ruah.

Kemudian ia menikah lagi dengan lelaki bernama Abdullah bin Jad’an al-Taymi. Dari pernikahannya ini ia tidak dikaruniai anak sebagaimana yang sudah lama ia harapkan. Oleh karena itu, putri dari Amir bin Qorth ini meminta suaminya agar sudi menceraikannya.

Setelah bercerai dengan suami kedua, Duba’ah kembali menikah dengan Hisyam bin Mughirah dan dikarunia anak bernama Salamah. Putranya ini kelak menjadi salah satu sahabat terbaik Nabi Muhammad saw. Gagal dalam membina rumah tangga mungkin sudah menjadi suratan takdir yang harus diterima dengan legowo oleh Duba’ah. Suaminya, Hisyam lebih dulu meninggal ketimbang dirinya. Setuju atau tidak, dengan amat berat ia harus kembali menyandang status janda yang dulu pernah melekat pada dirinya.

Setelah kepergian suaminya inilah Nabi Muhammad menyampaikan keinginannya untuk menikahi Duba’ah melalui putranya, Salamah. Sayangnya, Salamah beri jawaban yang kurang diharapkan Nabi, dengan berkata “Wahai Rasul, engkau tidak pantas ditolak. Tapi, ijinkanlah aku untuk bertanya soal ini kepada ibuku!”.

Sesampainya di rumah, Salamah sampaikan lamaran Nabi kepada ibunya. Duba’ah binti Amir kaget dan tidak habis pikir akan jawaban putrinya. Dia katakan :

“Astaghfirullah, jika Rasulullah yang meminta mengapa kau masih perlu persetujuanku?”

“Kembalilah wahai putriku, dan sampaikan pada beliau bahwa aku menerimanya dengan senang hati”. Imbuhnya.

Salamah pun buru-buru ke kediaman Nabi menyampaikan kabar bahagia itu kepada beliau. Tetapi tidak sepatah katapun yang terucap dari lisan Nabi yang mulia. Sikap ini mengungkap fakta bahwa beliau tidak lagi berkenan dengan keinginan sebelumnya. (Imta’ al-Asma’, jilid 6, hal 107-108)

Terakhir perempuan yang menolak lamaran Nabi adalah Shafiyyah binti Bashamah bin Nadhla al-Ambari. Sejatinya dia seorang tawanan perang yang beruntung karena mendapat penawaran istimewa dari Nabi. Beliau katakan :

ان شئت أنا وان شئت زوجك

“Jika kau berkenan, menikahlah denganku ! Jika tidak, kembalilah pada suamimu”.

Tidak disangka Shafiyyah lebih memilih untuk kembali pada suaminya dari pada harus menikah dengan Nabi saw. Usai mendapat jawaban dari Shafiyyah, Nabi tidak memiliki pilihan lain kecuali membebaskannya.

Kabar penolakan tersebut pun sampai ke telinga keluarga besar Shafiyyah. Bukannya pujian yang didapat, Shafiyyah menerima teguran dari keluarganya, Bani Tamim.  (al-Thabaqoh al-Kubro, jilid 8, hal 154). Bagaimana mungkin ia kuasa menolak proposal lamaran yang diajukan Baginda Nabi kepadanya.

Dalam buku Al-Khasaish Al-Kubro, Imam Jalaluddin al-Suyuti mengutip komentar Mujahid tentang sikap yang diambil Nabi Muhammad SAW pada saat lamarannya tidak disambut oleh mereka yang dilamar.

Mujahid menjelaskan : “Bila mana Rasulullah meminang perempuan dan ternyata mendapat penolakan, beliau enggan mengulangi lamaran itu untuk kedua kalinya. Demikian juga, jika beliau mendapat balasan : “Akan ku tanyakan pada ayahku terlebih dahulu”, lalu respon baik sang ayah baru disampaikan pada Nabi, maka Nabi dengan lembut akan menanggapi : Aku telah mengadakan perjanjian dengan yang lain”. Wallahu A’lam bis shawab. []

Tags: islamLamarannabisejarah
Wandi Isdiyanto

Wandi Isdiyanto

Saat ini menjadi salah satu tenaga pengajar di Ma'had Aly Situbondo. Tinggal di Banyuwangi Jawa Timur.

Terkait Posts

Perempuan Memakai Jilbab

Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?

2 Juni 2025
Jilbab Menurut Ahli Tafsir

Jilbab Menurut Ahli Tafsir

2 Juni 2025
Akhlak Karimah

Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

2 Juni 2025
Makna Hijab dalam

Makna Hijab Menurut Pandangan Ahli Fiqh

2 Juni 2025
Hijab

Makna Hijab dan Jilbab dalam al-Qur’an

1 Juni 2025
Jilbab

Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan

1 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Teknologi Asistif

    Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Hijab dan Jilbab dalam al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Hijab Menurut Pandangan Ahli Fiqh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis
  • Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?
  • Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar
  • Jilbab Menurut Ahli Tafsir
  • Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID