Mubadalah.id – Cerita ini, tentang perjalananku, Naila, dalam meraih mimpi dan cita-citanya. Hari ini adalah hari dimana anak cucu berkumpul di rumah ibu. Ada yang bermain di halaman, ada yang bercengkerama dengan ibu, ada juga yang membaca buku di perpustakaan kecil milikku. Sengaja aku menyediakan perpustakaan di rumah supaya cucu-cucu ibu tidak ketergantungan ponsel, melainkan terbiasa untuk membaca sejak dini.
Ibu memiliki tiga anak, kakak berjumlah dua, dan aku adalah anak ibu yang terakhir. Aku pandangi anak-anak bermain di halaman rumah dengan riang gembira. Tidak jauh, cucu ibu yang paling tua datang mendekatiku sambil membawa lukisan yang mungkin ia temukan di meja tempat aku kerja. Ia berlari menghampiriku dan bertanya dengan wajah penasaran.
“Bulik Na, yang di lukisan ini siapa?”
“Beliau itu Nyai Khoiriyah Hasyim dek.. putri dari Mbah Hasyim Asy’ari.”
“Kenapa bulik melukis Nyai Khoiriyah? Bukan malah melukis pemandangan?”
“Iya, bulik sangat mengagumi kecerdasan dan kebijaksanaan beliau.” Jawab aku tersenyum.
‘Memangnya, Nyai Khoiriyah Hasyim itu siapa?”
Aku rasa Sabrina tidak terlalu pusing mendengarkan ceritaku, diusianya yang menginjak 9 tahun, bagiku sudah saatnya mengenal sosok-sosok perempuan yang bisa diteladani di negeri ini. Dengan tersenyum, akupun mengajak Sabrina duduk di sampingku untuk mendengarkan aku bercerita.
“Nyai Khoriyasih Hasyim itu putri dari Mbah Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqoh. Beliau lahir di Seblak, Jombang Jawa Timur. Beliau pernah menjadi pemimpin di Pesantren Seblak, Jawa Timur, tempat ibu kamu mondok dulu dik. Nyai Khoiriyah ini selalu mengajarkan kepada santrinya untuk bisa hidup tanpa bergantung pada orang lain, harus bisa berdiri dengan semangat yang tinggi. Suatu ketika, sewaktu ibu kamu masih mondok di sana, ibu kamu selalu diajari untuk berkreasi menjahit dan membuat kue, nantinya kue dan jahitan ini bisa dijual untuk pemasukan keuangan ibu kamu selama di pondok. Nyai Khoiriyah juga pernah mengikuti organisasi Muslimat NU seperti nenek kamu, hingga di tingkat nasional. Nah, selain itu, Nyai Khoriyah juga pernah mendirikan pondok pesantren untuk perempuan yang pertama kali di Makkah lo dek..” Aku diam tersenyum memandangi keponakan yang sedari tadi memperhatikan dengan seksama.
“Wah, hebat ya beliau, jadi mau dengerin cerita yang lainnya bulik.”
“Boleh dek, besok kalau datang kesini lagi, baca buku di kamar bulik, disana ada buku judulnya Nyai Khoiriyah Hasyim.”
“Bayar nggak bulik ?.” tanya ia meringis.
“Ya tidak, gratis dong, asal dikembalikan ke tempatnya.” Tersenyum aku melihat semangat Sabrina untuk mengetahui segala macam hal.
“Baik bulik, besok Sabrina ke sini lagi.” Ia acungkan jempol tanda setuju.
“Ya sudah, ini lukisan dikembalikan ya, sana kamu main lagi.”
Tersenyum bahagia aku melihat tentram dan riuh tawa cucu ibu, hal itulah yang menyulut kesukaaanku pada anak-anak, apalagi ketika bermain dan berbagi cerita. Namun kesukaanku pada anak-anak tentunya juga tidak menjadi pemicu untuk segera menikah apalagi memiliki anak. Aku masih ingin menikmati hidup ini dan belum berpikir untuk menikah. Bagiku, pernikahan bukanlah perlombaan, bukan juga ajang untuk ikut-ikutan, pernikahan harus didasari kesiapan mental, finansial dan ilmu pengetahuan yang lain. Tentunya juga harus memilih pasangan yang tidak sembarangan, supaya bisa bersama membangun keluarga saling membahagiakan.
Tidak lama aku memandangi anak-anak, kakakku paling tua yang terpaut tujuh tahun menghampiri dan duduk tepat di sampingku. Pikirku, mungkin ingin ngobrol biasa atau ngobrolin masalah perkuliahan.”
“Nai, sudah semester berapa sampean ini ?.”
“Udah skripsi dong kak, minggu depan aku sidang, doanya ya kak.”
“Baguslah, jangan menikah dulu, pergilah untuk meraih impianmu yang lain.”
“Loh ? emang kakak tahu aku mau kemana?.’ ledekku padanya sembari tertawa.
“Ya aku senang liat sampean bisa keliling, bisa wisuda, tapi juga jangan langsung menikah, banyak yang harus dipersiapkan, jangan memilih laki-laki yang nantinya menjadikan sampean pembantu, apalagi sampai menyiksa sampean ya.”
“Naudzubillah kak, semoga tidak, lagian juga Naila belum ingin segera menikah kak.”
“Kalaupun ingin menikah, dipastikan kembali dan dipikirkan matang-matang ya, jangan gegabah, tentu ibuk juga ingin melihat putrinya bahagia, kakakmu ini juga.
“Njih kak, Naila mau keliling raih impian dulu, tapi disangoni ya kak, hehehe .” Aku terkekeh, dalam hati siapa tahu kakakku memang mau kasih uang, aduh halu padahal.”
“Ohhh pancen adik ada maunya, nggak ah. Itu keponakan sampean sudah besar, pengeluarannya juga makin besar.” Jawab kakakku datar.
Kami berdua saling tertawa dan menikmati suasana sore hari di teras rumah, tentram melihat kebahagiaan keluarga ibu. Bapak juga pasti tersenyum di surga melihat keluarganya rukun. Bapak sudah meninggal sewaktu aku masih di Madrasah Aliyah atau setara SMA. Kepergian bapak memberikan pelajaran kepadaku sebagai anak perempuan harus siap mandiri dan siap dengan segala pernak-pernik kehidupan yang kadang di luar nalar. Menjadi diri sendiri dan mencintai apa yang dilakukan, itulah semangatku menjalani keseharian. []