Berjuang, dan nyaris terlupakan.
Mubadalah.id – Rangkaian kata itu agaknya bisa menggambarkan eksistensi Boki Raja, julukan seorang Rainha (Ratu) Ternate di abad 16 M. Dalam bukunya Rainha Boki Raja: Ratu Ternate Abad Keenam belas, Toeti Heraty mengatakan, “Seorang putri lahir di Kesultanan Tidore, tahun tak diketahui pasti, sebelum 1500 Masehi barangkali, dan namanya dilupakan oleh sejarah–siapa yang mencatat sejarah kalau tidak pendatang bule (Portugis) yang menaklukkan Goa dan Malaka tahun 1511….”
Sumber sejarah tertulis tentang Boki Raja hanya ditemukan dalam dokumen-dokumen Portugis. Berdasarkan catatan-catatan bule itu para sejarawan mengonstruksi riwayat hidupnya. Dia disebutkan pertama kali dalam surat Gubernur Portugis, Antonio de Brito, yang dikirim untuk Raja Manuel I pada 1523, dan setelah 1548 tidak ada lagi catatan Portugis yang menyebut namanya.
Sebab ceritanya hanya bisa dibangun dari sumber yang ditulis penjajah, sehingga tentu butuh kehati-hatian dalam memaknai kisahnya. Apalagi di Ternate waktu itu banyak intrik, propaganda, dan fitnah yang didalangi oleh kelakuan Portugis untuk memecah belah Ternate. Namun, yang pasti dia adalah perempuan yang pantas dikenang sebagai sosok hebat dari Ternate.
Boki Raja adalah anak dari Sultan Al Mansur (Sultan Tidore 1512-1526). Dia menikah dengan Sultan Bayanullah (Sultan Ternate 1500-1522). Ketiga anaknya beruturut-turut menjadi Sultan Ternate, yaitu Deyalo (1522-1529), Abu Hayat (1529-1532), dan Tabariji (1532-1535).
Nama aslinya tidak begitu jelas. Dia juga dikenal sebagai Nyai Cili Boki Raja atau Sultanah Nukila. Boki Raja disebut juga sebagai Nyai Cili Nukila. Apakah Nukila adalah nama asli Boki Raja? Entahlah? “…bagaimana menentukan kebenarannya setelah 500 tahun berselang.” Demikian kata Toeti Heraty dalam bukunya.
Duka Boki Raja
Pasca kematian suaminya, Sultan Bayanullah, yang mati diracun, anaknya Deyalo menjadi pewaris tahta. Namun, sebab pangeran masih sangat kecil, sehingga ditunjuklah dua orang sebagai pengganti sultan hingga dirinya dewasa, yaitu Boki Raja dan Pangeran Taruwese yang merupakan saudara Sultan Bayanullah. Dalam hal ini, meski memimpin dengan sistem dua kekuasaan, dapatlah dikatakan kalau Boki Raja menjadi seorang Sultanah Ternate.
Beberapa tahun setelahnya, duka kembali menghampiri Boki Raja. Ayahnya, Sultan Al Mansur, wafat diracun. Saat itu, Sultan Deyalo sebagai cucu Sultan Al Mansur termasuk orang yang pantas untuk menggantikan kakeknya. Hal ini merupakan peluang untuk menyatukan dua kesultanan besar di Maluku: Ternate dan Tidore. Kesempatan ini sangat dipahami oleh Boki Raja.
Namun jelas Portugis tidak senang jika Tidore dan Ternate sampai bersatu, sebab itu akan menyusahkan upaya penjajahan. Sehingga, Portugis pun mulai menghasut Taruwese untuk melakukan kudeta. Terjadilah perang antara Boki Raja yang didukung Tidore dan Taruwese yang mendapat bantuan Portugis. Dalam konflik ini, Sultan Deyalo yang masih kecil terbunuh pada 1529. Nasib Taruwese tidak lebih baik, setelah menjadi alat Portugis, dirinya dibunuh oleh mereka.
Tahta Ternate kemudian beralih ke Pangeran Abu Hayat (1529-1533). Tapi, tidak lama menjabat, Portugis menyusun fitnah untuk menjebloskannya ke penjara. Saat berada dalam tahanan, dia wafat diracun. Tersisa seorang putra Boki Raja bernama Tabaraji. Dia pun diangkat sebagai sultan dalam usia sangat muda. Baru setahun Tabaraji (1533-1534) naik tahta sudah masuk jebakan Portugis, yang kemudian mengasingkan sultan dan ibunya, Boki Raja, ke Goa, India.
Kemudian Khairun (anak tiri Boki Raja/putra Sultan Bayanullah dari istri yang lain) naik tahta pada 1535. De Freitas menyarankan, agar Tabaraji bisa kembali mendapatkan tahtanya, dia harus dibaptis, serta menyatakan kalau Ternate bukan lagi sebagai kesultanan Islam dan takluk di bawah Portugis. Dia pun setuju dan masuk Kristen pada 1537 dengan nama Don Manuel. Boki Raja juga ikut masuk Kristen dengan nama Dona Isabel. Tidak lama kemudian Tabaraji mendapatkan kembali tahtanya.
Jainul Yusup menjelaskan dalam artikelnya di Jurnal Pusaka yang berjudul Sultan Khairun: Sang Mujahid yang Cinta Damai, “Sebelum Portugis mengembalikan Tabaraji untuk memerintah di Ternate sebagai bagian dari Kerajaan Portugis, de Freitas, Gubernur Portugis di Ternate, menangkap Sultan Khairun pada tahun 1544 atas tuduhan penghianatan. Setelah ditangkap Sultan Khairun dibawa ke Goa untuk diadili. Portugis segera membawa (memulangkan) Tabaraji untuk memerintah di Ternate atas nama Kerajaan Portugis.”
Namun dalam perjalanan pulang, ketika lewat di Malaka, Tabaraji meninggal akibat diracun. Dan, sebagaimana dijelaskan Toeti Heraty bahwa, “…anehnya, kemudian Jordao de Freitas, ayah baptisnya mengumumkan bahwa dalam surat wasiatnya Tabaradji menyerahkan wewenang kesultanan kepada Raja Portugis.” Nampaknya kematian Tabaraji termasuk intrik Portugis untuk mengosongkan tahta Ternate. Ah, bahkan, berbagai rangkain kematian elite Ternate sebelumnya dan perpecahan dari dalam kesultanan, semuanya termasuk konspirasi yang disusun Portugis untuk menjatuhkan Ternate.
Dalam masa-masa itu, lembaran kehidupan Boki Raja penuh goresan duka. Bagaimana tidak? Suaminya, ayahnya, hingga ketiga anaknya menjadi korban intrik Portugis yang ingin menguasai kekayaan Ternate. Tidak berlebihan jika Paramita Abdurachman memberi judul artikelnya di Jurnal Modern Asian Studies (1988) dengan: ‘Niachile Pokaraga’, a Sad Story of a Moluccan Queen (‘Nyai Cili Boki Raja’, Cerita Sedih Seorang Ratu Maluku).
Adrian B. Lapian menjelaskan pada pengantarnya dalam buku Rainha Boki Raja:Ratu Ternate Abad Keenambelas, “…riwayat hidupnya bukan suatu cerita gembira. Terlebih sesudah 1538, nasibnya semakin memburuk dan beliau tak lagi berdaya menghadapi perlawanan dari dalam maupun luar. Kalau selama lebih dari 15 tahun peran Boki Raja sangat sentral dalam kanca politik Maluku Utara, sesudah 1538 kekuatan-kekuatan dalam negeri maupun dari pihak Portugis mendepaknya ke samping, dan akhirnya ke luar kedaton. Akhirnya sejak 1548 sumber-sumber Portugis tidak pernah lagi menyebutnya.”
Boki Raja Melawan Portugis
Boki Raja yang sama-sama berlayar pulang ke Ternate dengan anaknya–Tabaraji yang meninggal waktu mereka di Malaka–tetap melanjutkan perjalanan. Dia sampai di Ternate dalam keadaan hati yang sangat hancur. Namun, demikian, Boki Raja tetap dapat mengisi kekosongan tahta kala itu, dan memerintah Ternate di bawah kedaulatan Portugis. Meski terkesan tunduk pada penjajah, namun sikap Boki Raja ini terbilang penting. Sebab, dengan dia mengisi kekosongan tahta, maka Portugis tidak sepenuhnya menguasai Ternate.
Di tahun-tahun sebelumnya, Boki Raja memainkan peran sentral dalam menjaga eksistensi Ternate dari ancaman Portugis. Dia melawan Pangeran Taruwese yang bersekongkol dengan Portugis untuk mengambil alih tahta dari putranya. Dalam perjuangan ini, putranya, Sultan Deyalo (1522-1529) wafat. Dan, kedua putranya yang lain–Abu Hayat dan Tabaraji–ditawan.
Mendapat dukungan dari para menteri dan rakyat, Boki Raja pada 1530 melawan Portugis dan mengepung benteng mereka di Ternate. Dalam perlawanan Boki Raja ini, Gonzales Pereire, Gubernur Portugis di Ternate (1530-1532), mati terbunuh oleh orang Portugis sendiri.
Meski sudah dikepung, Portugis masih menolak mengembalikan kedua pangeran Ternate. Perjuangan Boki Raja mendapat dukungan dari raja-raja lain di Maluku. Mereka sepakat untuk tidak memasok perbekalan ke Portugis. Hingga Portugis akhirnya memenuhi tuntutan Boki Raja dengan catatan tetap mendapatkan fasilitas perdagangan rempah-rempah. Di masa-masa kritis perjuangan Ternate melawan Portugis dengan segala intrik dan fitnahnya, Boki Raja ikut memainkan peran penting dalam mempertahankan eksistensi Kesultanan Ternate.
Keluar dari Hiruk Pikuk Intrik Kekuasaan
Agaknya sikap Tabaraji yang mendeklarasikan Ternate tunduk di bawah Portugis, kemudian diikuti dengan dirinya dan Boki Raja masuk Kristen, menjadi keputusan yang sangat keliru. Mengingat, Ternate merupakan kesultanan Islam.
M. Adnan Admal menjelaskan dalam bukunya Tahun-tahun yang Menentukan: Babullah Datu Syah Menamatkan Kehadiran Portugis di Maluku, “Ketika masih berada di Malaka, Khairun diberi tahu bahwa Sultan Tabaraji telah dikonversi ke dalam agama Kristen. Dengan enteng Khairun menjawab: hak Tabaraji menjadi sultan telah gugur sejak ia berpisah dengan Islam. Tentang proklamasi Tabaraji yang menyatakan Kerajaan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan menjadi vasal Portugis, Khairun hanya menyatakan bahwa telah terjadi persekongkolan jahat antara Tabaraji dan de Freitas. Karena itu, proklamasi Tabaraji tidak sah.”
Pada tahun 1547, ketika Khairun kembali dari pengasingan, Boki Raja menyerahkan tahta Ternate kepadanya. Sultan Khairun kemudian mengembalikan status Ternate sebagai kesultanan Islam yang tidak di bawah kedaulatan Portugis. Dan, Boki Raja pun keluar dari hiruk pikuk intrik kekuasaan yang didalangi Portugis dengan politik belah bambunya.
Tidak banyak diketahui bagaimana akhir kehidupan dari Ratu Ternate ini. Beberapa tulisan mengabarkan kalau dia tidak lagi tinggal dalam lingkungan kedaton, dan hidup bersama putri tirinya, istri Francis Xavier yang merupakan seorang misionaris Katolik di Maluku. Boki Raja diketahui telah dibaptis dengan nama Dona Isabel. Demikian hikayat hidup Rainha Boki Raja, yang kata Toeti Heraty sebagai: “…seorang perempuan yang patut dikenang, dan tidak mudah kita melupakannya–meskipun tidak pernah kita mengenal namanya (nama kecil Boki Raja).” []