Mubadalah.id – Keadilan pada umumnya dirumuskan berdasarkan kondisi umum manusia, laki-laki dan perempuan. Umum dalam hal ini kerap bermakna kelompok mayoritas. Tidak selalu dalan jumlah, tetapi dalam kekuatan.
Dalam relasi gender, tentu saja yang dijadikan standar keadilan publik adalah laki-laki. Karenanya, dalam perumusan keadilan dalam kebijakan negara dan kemaslahatan agama, laki-laki menjadi standar bagi perempuan.
Padahal perempuan punya pengalaman biologis dan sosial yang laki-laki tidak punya. Secara biologis, perempuan bisa mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui.
Secara sosial perempuan bisa mengalami stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda hanya karena menjadi perempuan. Inilah yang kita sebut dengan kezaliman gender.
Pengalaman perempuan ini menjadikan apa yang adil, bijak, dan maslahat bagi laki-laki belum tentu sama bagi perempuan. Jika kebaikan tersebut telah mengurangi atau minimal tidak menambah sakit pengalaman biologis perempuan, dan perempuan tidak mengalami kezaliman gender, barulah benar-benar adil, bijak, dan maslahat bagi perempuan.
Bagaimana mengintegrasikan pengalaman perempuan dalam menilai, apakah perkawinan anak itu maslahat atau justru bahaya?
Yang pasti, perkawinan anak tidak akan membuat laki-laki hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui di usia anak-anak, sedangkan pada perempuan bisa berpotensi mengalami semua itu. Saat dewasa pun perempuan menjalani pengalaman biologis dengan pedih, apalagi jika masih anak-anak.
Sekali lagi, apa yang maslahat buat laki-laki belum tentu demikian bagi perempuan. Dengan banyak pertimbangan, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menghasilkan musyawarah keagamaan bahwa hukum mencegah perkawinan yang membahayakan anak adalah wajib. Pilih mana, zina atau nikah anak? Ya pilih nikah dewasa dan tidak zina. []