Mubadalah.id – Sebelas tahun lalu, empat orang menggugat Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Aturan itu menuangkan bunyi, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Upaya judicial review itu berujung mendapat penolakan dari Mahkamah Konstitusi lewat Putusan No. 68/PUU-XII/2014 dengan pertimbangan permohonan yang memaksudkan larangan perkawinan antar agama tidak beralasan menurut hukum.
Peristiwa tadi menjadi tengara bagaimana Pasal 2 ayat (1) untuk kali pertama mendapat gugatan karena negara (konon) terkesan terlalu ikut campur ihwal mengurusi perkawinan. Para pemohon mendalilkan, serta merta negara mestinya memberi izin, atau tidak melarang, perkawinan beda agama. Tak heran, delapan tahun setelahnya, pasal itu kembali tergugat. Namun, lagi-lagi MK menolaknya lewat Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022.
Tiga tahun setelah upaya judicial review terakhir itu, Pasal 2 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kembali terbahas di sidang panel MK. Awal November 2025, seorang lelaki bernama Muhammad Naugrah Firmansyah mengajukan uji materiil. Sebagai prinsipal tunggal, Ega (nama panggilannya) memiliki dasar pengujian dan alasan konstitusional berbeda dari dua permohonan sebelumnya. Permohonan itu teregistrasi dengan No. 212/PUU-XXIII/2025.
Rabu siang (12/11) bergulir agenda sidang pemeriksaan pendahuluan pertama. Di sana, Ega menuturkan pokok-pokok permohonan sekaligus petitumnya. Ringkasnya, Ega selama dua tahun terakhir sudah menjalin hubungan dengan seorang perempuan beragama Kristen. Namun, akunya secara spesifik dan aktual, Ega mengalami kerugian kostitusional a quo sehingga tidak bisa melangsungkan perkawinan dengan pasangannya karena berbeda agama.
Melawat Histori
Dalam sejarah hukum keluarga di Indonesia, perkawinan antar/beda agama bernamakan “perkawinan campuran” dengan landasan hukum Pasal 1 GHR (Regeling op de Gemengde Huwelijken Staatsblaad 1898 No. 158). Bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antarorang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan. Pada waktu itu, terafirmasi dalam Pasal 7 ayat (2) GHR bahwa perbedaan agama, bangsa atau asal itu sama sekali bukanlah menjadi penghalang perkawinan.
Namun, setelah UU No. 1 Tahun 1974 lahir, “perkawinan campuran” mengalami perubahan arti dari semula perkawinan antar/beda agama atau bangsa menjadi perkawinan beda kewarganegaraan, sesuai ketentuan dalam Pasal 57. Sederhananya, perkawinan campuran berarti perkawinan WNI dan WNA.
Lantas bagaimana nasib perkawinan beda agama? Atas pemberlakuan UU Perkawinan ini, sesuai Pasal 66, kebolehan melakukan pernikahan beda agama sudah tidak berlaku lagi. Dalam pada itu, perkawinan beda agama sudah tidak mendapat ruang lagi dalam tatanan hukum di Indonesia.
Apakah hal ini diskriminatif dan merenggut hak konstitusional sebagian orang? Inilah yang menjadi gambaran mengapa muncul kembali uji materiil Pasal 2 ayat (1). Tentu mengisyaratkan bahwa norma yang terkandung di dalamnya kembali terpertanyakan. Kita tidak ingin persoalan asmara beda agama ini semakin hari bertambah sementara solusi hukum dari pemerintah tak kunjung tertemukan. Sudah banyak akhirnya yang melakukan praktik—dengan sedikit memaksakan—perkawinan agama dengan pelbagai cara.
Kita akhirnya sulit membendung gelombang penyelundupan hukum dalam praktik perkawinan beda agama ini. Mereka yang terhalang oleh kepercayaan dan agama mesti diam-diam melakukan akad perkawinan. Agar mendapat perlindungan dan pengakuan secara hukum, salah satu dari mereka mesti tunduk pada agama pasangannya. Tentu ini spekulatif, tapi praktik pindah agama ini hanya untuk keperluan administratif semata demi pengakuan dan keabsahan perkawinan mereka di mata negara.
Cara tadi menjadi jalan alternatif yang sederhana dan telah banyak orang tempuh. Ini tak ubahnya semacam penyelundupan hukum yang legal. Bagaimana masyarakat mengakali hukum (sementara) untuk meloloskan sesuatu yang sebelumnya terhalang.
Dalih Maslahat dan Politis
Anshary, seorang Hakim Tinggi Mahkamah Syar’iyah Aceh, dalam buku Hukum Perkawinan di Indonesia (2010) membabarkan landasan pemikiran mengapa bangsa Indonesia menolak perkawinan beda agama.
Argumentasi dapat terbaca dalam UU Perkawinan, dan pada dasarnya semua agama di Indonesia menolak terjadinya perkawinan beda agama. Artinya, semua agama menghendaki agar perkawinan terjadi atas dasar satu iman dan seagama. Tentu ini, menurut M. Anshari, terkesan amat politis dalam konteks kepentingan masing-masing agama.
Lebih jauh, dalam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (1977), C.S.T. Kansil menengok asas-asas perkawinan yang satu di antara sekian banyaknya itu adalah mengenai sahnya perkawinan harus sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Oleh karena asas hierarkinya lebih tinggi satu tingkat daripada norma/kaidah, maka secara normatif, tanpa menegasikan pelbagai alasan, sebuah perkawinan mau tidak mau harus sesuai dengan ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Dalam hal uji materiil di atas, Ega mempertanyakan ulang mengenai reinterpretasi norma dalam Pasal 2 ayat (1). Sementara asasnya mengatakan demikian, lantas pertanyaan Ega sebenarnya bisa terjawab dengan lebih jauh memahami asas “sahnya perkawinan” ini. Atau bila perlu berusaha mengelaborasi nilai-nilanya, naik setingkat lagi dari asas.
Sebagai contoh, umat Islam menjadikan (nilai) perkawinan sebagai jalan ibadah terpanjang dalam hidup. Perkawinan sebagai ibadah ghairu mahdhah memiliki misi menjaga diir dan memenuhi perintah Allah. Artinya perkawina harus antara sesama orang Islam, karena ini amat berkiatan erat dengan perintah Tuhan. Lain dengan konsep ibadah sosial yang bisa umat Islam bukan hanya dengan sesama muslim, tapi boleh juga dengan umat agama lain.
Loyalitas Keyakinan
Karena perkawinan menjadi bagian dari perjalanan hidup, adakalanya memang hal-hal yang tak terduga harus kita pilih. Sebab, pada dasarnya hidup ini pilihan. Menentu pilihan yang bagi kita—dan keyakinan kita—anggap benar. Maka ada kalimat sederhana nan apik, entah siapa yang menulisnya, ihwal asmara berbeda agama ini, “Kau boleh mencintai manusia tetapi jangan ambil dia dari Tuhannya.”
Dalam konteks toleransi dan keberagaman, kita memang menginginkan kumandang azan dan dentang lonceng itu berdampingan. Silih bersahutan satu sama lain, mengisi ruang-ruang kehidupan sosial bernegara. Pun kita menyaksi bagaimana kalung rosario menggantung di leher serta tasbih tersarung di genggaman tangan. Sebuah peranti peribadatan yang berjalan masing-masing sebagaimana mestinya, tidak perlu tersilang-gabungkan.
Atas usaha Ega dalam uji materiilnya itu, kita berdoa semoga majelis MK memberi jawaban seadil-adilnya atas pelbagai penafsiran yang ada. Jawaban itu memberi kepastian hukum bahwa memang perkawinan bukan semata soal cinta. Ia adalah sebentuk pengorbanan lahir dan batin setiap masing-masingnya. Kehormatan perkawinan akan terjaga jika memang dari awal berlandas pada keyakinan dan kepercayaan masing-masing mempelai.
Kita boleh menutup bahasan ini dengan membaca sepenggal lirik lagu bermakna mendalam. Berkisah dua orang kekasih mesti terpisah karena perbedaan keyakinan. Lagu itu berjudul Mangu (2023) karya Fourtwnty. Kita simak: Cerita kita sulit diterka/ Tak lagi sama/ Arah kiblatnya// Cerita kita sulit dicerna/ Tak lagi sama/ Cara berdoa. []












































