Mubadalah.id – Ketika mendengar kata cantik apa yang terlintas dalam kepala Anda? Apakah terlintas sosok Dian Sastro, atau Bae Suzy pemeran Soe Dal Mi dalam drama korea Start Up. Pastinya, persepsi tentang makna cantik akan beragam dalam setiap benak kita, karena definisi cantik itu sendiri tak pasti seperti apa.
Dulu dalam persepsi saya perempuan cantik identik dengan enak dilihat. Tentunya dengan ciri fisik tinggi, langsing dan berkulit putih. Persepsi saya tumbuh dari banyaknya tontonan yang ada di televisi. Sedari saya kecil pemeran film atau sinetron yang protagonis selalu digambarkan dengan perempuan berkulit putih, tinggi dan langsing. Tak hanya itu iklan dalam TV yang menawarkan beragam produk pun selalu tergambar hal yang serupa.
Sebagai pencinta tayangan televisi, kontruksi perempuan cantik yang dilihat membuat saya ingin menjadi perempuan layaknya para artis dalam TV. Saya ingat betul, dulu setiap selesai sholat saya selalu berdoa dan meminta agar tinggi badan saya bisa naik dan agar kulit saya bisa putih. Sampai tingkat SMA saya masih meminta hal itu kepada Gusti Allah. Nyatanya doa saya tak diijabah, saya tumbuh menjadi perempuan dengan tinggi badan tak sampai 150 cm, dan kulit saya gelap.
Dengan kondisi fisik yang demikian tak jarang membuat saya tak percaya diri. Tentu saja saya menganggap bahwa saya adalah perempuan yang tidak cantik. Dan naasnya, saya pernah menjalin hubungan dengan laki-laki yang sejatinya hanya melihat saya dari persepsi enak dipandang.
Tentu saja kejadian itu mengikis rasa percaya diri dan menumbuhkan perasaan dendam dalam hati. Saya berusaha lebih keras untuk membuat kulit saya menjadi putih agar enak dipandang. Banyak upaya yang saya lakukan dan bagi saya itu sangat berat. Saya mulai mencoba banyak produk skin care hingga datang ke beberapa klinik kecantikan. Saya juga mulai menguranggi kegiatan outdoor seperti naik gunung yang sangat saya gandrunggi.
Dalam proses menuju putih, saya merasa kesakitan. Kulit saya beberapa kali terkelupas dan sangat sakit ketika terkena sinar matahari, sensasi panas seperti terbakar yang dirasakan. Yang lebih menyebalkan, saya tak pernah lagi naik gunung, karena takut kulit saya menjadi kembali hitam.
Saya rasa ada banyak perempuan yang mempunyai pengalaman sama. Kesan tertentu terhadap perempuan yang dikonstruksikan sebagai cantik atau tidak telah dibentuk dalam masyarakat. Konstruksi cantik yang berarti memiliki kulit putih, bukan baru dibentuk pada masa kolonialisme Belanda, melainkan sejak era pra kolonial.
Konstruksi cantik yang tergambar dengan warna kulit putih seperti yang ada di kepala saya ternyata memiliki sejarah yang panjang. Dalam buku berjudul Putih: Warna Kulit, Ras dan Kecantikan di Indonesia Transnasional” karya L. Ayu Saraswati menguraikan sejarah konstruksi warna kulit terang sebagai parameter kecantikan dengan membedah kitab Kakawin Ramayana yang menguraikan bagaimana Sita, seorang tokoh yang ditasbihkan cantik, digambarkan berkulit terang bak rembulan.
Sementara tokoh antagonis seperti Prabu Rahwana, digambarkan sebagai sosok yang berkulit gelap. Meski kulit terang Sita tidak didefinisikan sebagai “putih”, namun kulit gelap pada tokoh antagonis membuat kesan “terang” lebih mengarah pada warna putih.
Saraswati juga mengambarkan perjalanan perubahan mengenai cantik putih dengan sangat detail pada tajuk “Cantik Putih Indonesia: Meruangkan Ras dan Merasialkan Kiasan Ruang”, melalui tiga bab. Menurutnya konstruksi mengenai cantik berkulit putih dari berbagai periode di Indonesia itu tidak homogen, tapi intinya tetaplah sama: kulit putihlah yang dianggap sebagai ukuran ideal kecantikan.
Saraswati juga menjelaskan bahwa warna kulit putih dalam konteks Indonesia berhubungan erat dengan konstruksi sosial mengenai feminitas. Dimana perempuan harus memancarkan kebaikan, termasuk “kebaikan” dalam hal fisik yang lekat hubungannya dengan enak di pandang.
Saraswati juga menyebutkan bahwa upaya untuk menggapai kecantikan merupakan “sebuah modus merasakan atau mengelola perasaan-perasaan”. Hal ini yang pernah saya rasakan seperti yang sudah diceritakan di atas. Rasa percaya diri terkikis dan merasa tak puas dengan tampilan. Saya terbelenggu dengan perasaan seperti itu. Standar kecantikan yang ditampilkan pada televisi dan media sosial telah menjajah pikiran.
Jika dilihat adanya standar cantik telah melahirkan banyak persoalan pada perempuan. Upaya perempuan untuk memenuhi standar kecantikan telah melangengkan budaya patriaki dan dapat menghilangkan atau melemahkan nilai perempuan. Misalnya saja pada proses pencarian pekerjaan, perempuan dituntun untuk menarik baru kemudian dilihat potensi yang ia punya.
Adanya standar kecantikan telah memupus rasa percaya diri dan menghapus keunikan yang ada pada tiap individu. Karena membuat perempuan berupaya untuk menjadi cantik sesuai standar yang sudah ada. Tak jarang standar kecantikan telah membentuk stereotip tentang tingkat keluhuran moral pada perempuan.
Upaya untuk memenuhi standar cantik nyatanya sangat menyakitkan bagi perempuan. Kandungan bahan kimia berbahaya banyak beredar pada produk skin care dan make up. Selain itu produk-produk untuk memenuhi standar cantik juga mencemari lingkungan. Proses pengambilan bahan baku, proses produksi dan hingga pengemasan memiliki jejak ekologi yang panjang dan berdampak pada ekosistem yang ada. Jika adanya standar kecantikan telah melahirkan banyak persoalan, lantas sebenarnya untuk apa cantik itu? []