Mubadalah.id – Aku tidak pernah merasa jatuh cinta sedalam ini. Mungkin kata-kata ini terdengar sangat klise karena di novel-novel cinta, film tentang cinta, drama cinta, hikayat, legenda, kisah-kisah cinta paling masyhur hingga yang paling tak terkenal, kata-kata ini sering dikatakan.
Tapi bagiku, ini baru, ini original, tidak klise sama sekali. Karena ini adalah pengalaman paling nyata yang kurasakan dan mempengaruhi cara padangku selama 40 tahun aku hidup di muka bumi. Terutama cara pikirku tentang cinta.
Aku tidak mengira, dapat jatuh cinta lagi. Dengan intensitas yang setinggi ini. Di usiaku yang tak muda lagi. Jatuh cinta yang melampaui debaran, seolah nyawaku hendak melayang saat aku berada di puncak kerinduan kepadanya.
Cinta yang mengajariku kebijaksanaan baru, merubahku menjadi lebih baik, membuatku merasakan keharuman mawar terbaik di taman terindah. Beserta seluruh duri dan rasa sakitnya yang ternyata beracun dan membutuhkan waktu seumur hidup untuk sembuh. Karena cinta tak harus memiliki.
Penyatuan Sempurna
Satu-satunya gadis yang mampu menatapku saat aku tak menatap padanya. Seorang gadis yang memahami lukaku, tidak menghakimi, tidak menuntut, tidak mengungkit. Bahkan dengan keluasan hatinya, ia memaklumi dan tak menganggap serius semua keburukanku. Katanya, “Aku mengetahui semuanya, semua rahasiamu, termasuk pikiran-pikiran liar dan imajinasi gelapmu. Aku menerimanya.”
Laki-laki mana yang tak pingsan mendengar ucapan seindah itu. Pernah kuajak dia mengimajinasikan peristiwa yang tak mungkin kuungkapkan pada dunia saking menjijikkan dan jahatnya. Dia mendengarkan, menerka, lalu menjawab dengan tenang:
“Kau cerdas, pikiranmu sering berkelana. Berpikir lurus itu biasa, berpikir di luar jalur itu keren. Hm… Kau pantas mendapatkan gadis yang setara denganmu. Maksudku, kecerdasan dipadu kecantikan memang penyatuan yang sempurna, bukan?”
Bukannya menghujatku. Dia bilang pikiranku manusiawi. Malah memuji kejahatan pikiranku. Padahal awalnya aku mengira dia hanya gadis cantik yang hanya tahu tentang hal-hal lembut. Tidak suka pada agresivitas dalam bentuk apapun. Namun semakin mengenalnya, dia selalu berhasil membuatku tercengang.
Ada banyak hal yang belum kuketahui tentangnya.
Rasa Cinta
Dia memiliki rasa cinta yang besar untukku. Seolah dia hendak merobohkan gunung dan menguras habis air di samudera. Ini bukan sekedar kiasan. Dia akan melakukan semuanya jika aku meminta. Oleh sebab itulah sejauh ini aku berusaha untuk tidak meminta. Karena tahu dia akan melakukan apapun yang kukatakan. Jangankan menanggalkan harga diri, jika aku meminta dia menancapkan pisau di lehernya sendiri, dia akan melakukannya.
Kadang aku merasa tak pantas, dicintai sedalam ini oleh gadis sepertinya. Ucapan dan gerak-geriknya tidak pernah membuatku bosan meskipun sangat sederhana dan receh. Dia menyetujui dan menolak pendapatku dengan caranya sendiri, yang selalu terlihat lemah di awal, namun mengejutkanku di akhirnya.
Dia punya jurus-jurus aneh penuh kamuflase. Seolah dengan tangan lembutnya ia membimbing dan mengajakku berjalan di atas air. Lalu dengan kekuatan supranaturalnya dia berhasil membawaku mengambang, melangkah dengan nyamannya. Namun di tengah danau, dia melepaskan sihirnya, lalu tenggelamkanku tanpa ampun.
Dalam hidup ini, aku pernah melakukan kesalahan. Mengajak seorang wanita berlibur dan menidurinya. Mengatakannya saja aku merasa bejat. Lebih bejat lagi karena aku tak bisa bertanggungjawab selayaknya pria. Kukatakan pada semesta bahwa hubunganku dengan wanita itu hanya kecelakaan, khilaf. Betapa pengecutnya aku, mengatakan kata “khilaf” padahal aku telah menghisap sari-sarinya. Jahannamnya aku. Untunglah wanita itu sudah bertemu laki-laki baik yang menerimanya apa adanya. Makin jahatlah posisiku.
Saat kuceritakan kisah ini pada gadis yang baru datang di hidupku ini, dia tidak menjawab apa-apa. Sedikit cemas, tapi tak berlangsung lama. Dia kemudian menjawabku melalui storynya di medsos. Dia memposting foto buku Hamsad Rangkuti yang berjudul “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?” Ia beri caption: Jangankan cuma menghapus bekas bibir, aku siap memberimu segalanya. S-e-g-a-l-a-n-y-a.
Betapa mengejutkan. Menemukan seseorang yang mau menerima keburukanmu seburuk-buruknya, tidaklah mudah. Mungkin kesempatannya hanya seratus ribu banding satu atau satu juta banding satu. Masa laluku yang kelam tampak hanya seperti selembar kapas baginya. Dia bahkan menghadiahiku seluruh cintanya. Aku senang, tapi juga malu. Malu kenapa Tuhan memberkatiku sedemikian hebat, mendatangkan bidadari yang baik hati pada manusia hina sepertiku.
Pemuja Kecantikan
Meski sulit, namun aku harus mengakui bahwa aku playboy. Aku keranjingan dengan hal-hal yang indah. Salah satunya dengan kecantikan. Itulah sebabnya, aku selalu melabuhkan hatiku pada perempuan. Random saja, asal saja. Aku selalu menjatuhkan hatiku pada perempuan yang kunilai paling cantik.
Semua perempuan yang kujumpai, kujadikan figur yang jadi objek sembahanku. Ku follow semua akun medsosnya, kusimpan nomer ponselnya, ku chat dengan berbagai kedok. Kudekati mereka dengan apapun yang mereka inginkan, aku mengidentifikasi kecenderungan psikologis dan preferensi pribadi mereka. Kuajak mereka mengobrol ini-itu yang muaranya adalah… aku ingin mereka terpesona dan jatuh cinta padaku. Gilanya diriku.
Hampir semuanya wanita yang kudekati itu cantik, fisiknya tentu saja. Pernah sekali kujatuhkan hati pada seorang gadis yang secara fisik jauh dari deskripsi cantik namun dia cerdas luar biasa. Dia sekolah doktor di luar negeri. Kemampuan nalarnya mengagumkan. Buku-buku koleksinya menggetarkanku, terlebih semuanya berbahasa asing.
Kupikir jika dia jadi pasanganku, aku akan merasakan puluhan kali lipat keindahan, sebab, seperti kata Nizar Qabbani: berdebat dengan perempuan cerdas lebih nikmat dari bercinta dengan perempuan bodoh. Betapa pikiranku perlu didaur ulang.
Pernah aku bermain ke rumah salah satu perempuan incaranku dengan dalih ingin silaturrahmi. Padahal aku mengincar perjumpaan dengannya dan perkenalan dengan keluarga dan orangtuanya. Tanpa pikir panjang aku melangkah saja. Padahal sejatinya, hakikatnya, tak bisa kuberikan apapun pada gadis itu selain fatamorgana. Aku hanya tak bisa membendung hasrat diriku untuk mengejar gadis yang kusukai, ingin bersenang-senang dengannya, tanpa melihat siapa diriku, status sosial dan atribut yang kumiliki.
Jatuh Cinta pada Perempuan yang Beda
Dan kali ini, Lintang Paramitha, berbeda. Dia mengenalku dengan kualitas pribadi yang tak kusangka-sangka. Mencintaiku dengan kondisiku saat ini, yang bahkan semua perempuan normal tak akan melakukannya. Ia murni digerakkan oleh cinta.
Namun kendati aku tahu, kadang aku masih suka menghujatnya. Bahkan tak tanggung-tanggung aku juga mempertanyakan martabatnya, apakah dia perempuan baik-baik? Pertanyaan yang kejam, jahat, tak beradab. Pertanyaan seorang pria tak bermoral kepada kekasihnya yang tulus.
Semua hujatanku padanya tentu tak pantas kukatakan. Semua kulakukan karena aku putus asa, aku hanya menyumpah pada diri sendiri, semua untuk menutupi ketidakmampuan dan ketidaksanggupanku menggenggam tangannya dan menjadikan dia milikku satu-satunya. Aku kehilangan alasan, jadi aku mencari-cari kesalahannya, kesalahan gadisku.
Pertobatanku menjadi lelaki playboy juga karenanya. Dia menyadarkanku pada realitas dan posisiku. Dia membuatku membuka mata, bahwa semua yang kulakukan adalah bentuk kegilaan yang harus kuhentikan—yang selalu kuhindari kebenarannya. Lintang Paramitha memahami alasan mengapa aku bersikap demikian. Analisisnya mengagetkanku. Dia seperti dukun, cenayang, yang bisa membaca pikiranku. Sedikit menakutkan berhadapan dengannya. Namun dia tak menghujatku. Tetap berdiri di sisiku. Memaklumi kemanusiaanku.
Tentu aku dibuat pening karenanya. Nuraniku terkoyak. Hidupku terganggu. Aku tak bisa tidur dan terus memikirkannya. Apa yang harus kulakukan padanya? Semua perempuan yang kudekati sebelumnya tak ada yang seperti Lintang, semuanya berakhir menjauh. Lintang justru mendekat setelah tahu segalanya.
“Kau terlalu indah untuk dihancurkan. Jadi mulai hari ini, pergilah!” Kukatakan padanya setelah berpikir beberapa hari dan mendiaminya. Tentu dia menangis sejadinya, berhari-hari, hingga masuk ke rumah sakit dan hampir menemui ajalnya. Untunglah dia sehat kembali dan bisa mempertahankan hidupnya.
Aku tetap kokoh pada pendirianku. Aku melepaskannya. Harus melepaskannya. Membiarkannya mengarungi belantara misteri dan petualangan kehidupannya sendiri. Memberinya kehidupan indah yang sudah sepantasnya ia terima. Kuhadiahi dia kebebasan dan nafas-nafas paling segar kehidupan. Sebab aku adalah penjara. Tak ada yang bisa kuberikan kepadanya selain siksaan. Menyanderanya adalah kejahatan tak termaafkan. Aku tak ingin jadi pengecut lagi.
Dia berhak bahagia. Dia berhak mendapatkan cinta dari laki-laki baik yang mampu membawanya dalam kesejahteraan dan kehormatan.
Biar Terluka Mencintai dengan Cara Sendiri
“Kau tak mencintainya?” Tanya temanku.
Bodoh. Lelaki mana yang tidak mencintai gadis sepertinya. Namun mencintainya akan merusak seluruh tatanan semesta. Mungkin dia siap hancur lebur. Tapi aku tidak tega melihatnya hancur. Karena pada akhirnya, yang akan menderita banyak kerugian adalah dia. Karena aku akan tetap egois dan ingin menang sendiri.
Aku memang tidak bisa menjadi pria yang dengan gagah berani mendobrak segala tembok penghalang antara kami berdua, tak bisa berbuat sesuka hati di tengah dunia tak adil ini. Yang jelas aku tak mampu. Kehidupanku terlalu rumit, dan apa yang akan kukatakan pada orang tuanya, ayahnya sangat mencintainya, bagaimana mungkin aku melukai seorang putri kesayangan ayahnya?
Biarlah. Biarlah aku terluka dan mencintainya dengan caraku. Cinta tak harus memiliki. Biar kutanggung remuk redam di sekujur hidupku. Tak apa jika sepanjang sisa usia yang kujalani ini, akan ada episode di mana setiap kali namanya disebut, aku akan jatuh terkapar di ranjang penuh duri-duri. Saat bertemu dengannya, air mata jatuh menganak sungai. Biarlah jantungku berdarah dan tulangku retak karena terus mengatakan “tidak” padahal hatiku berkata “iya”.
Tak apa, hari-hari yang aku jalani menjadi monoton, tanpa debaran, pura-pura bahagia. Karena seberapa keras dan indahnya tawa dan senyuman yang kubuat, aku jamin semuanya palsu. Aku tertawa namun tak tahu apa yang kutertawakan. Aku bercakap-cakap dengan perempuan lain namun aku sendiri hilang ditelan angin. Pura-pura puas, pura-pura merasa penuh, padahal hatiku berlubang dan menganga.
Siang hari aku bisa pura-pura kuat dengan apapun dan siapapun aku menjalani. Namun malam hari, terutama saat kehidupan tak berpihak padaku. Aku akan jatuh tergeletak, remuk, menangis, tak tahu arah dan hancur lebur dalam kesepian dan keputusasaan. Dan besoknya aku akan bangun dan menjalani kehidupan dengan normal, topeng “baik-baik saja” akan selalu berhasil kukenakan.
Biarlah aku menjadi sesuatu yang absurd yang selalu ia puji. Dia memang mengidolakan tokoh-tokoh tragis. Mencintai laki-laki gila dengan luka yang tak sembuh-sembuh. Katanya, laki-laki dengan luka itu keren dan membuatnya bergairah menjalani hidup. Memang ia gadis kejam, aneh, dan menakutkan. Semua hal yang ia sukai seakan sebuah doa, yang mewujud menjadiku.
“Kau hebat, doamu terkabul!” Kataku.
Dia hanya tersipu-sipu di dalam kepalaku. Remuklah aku.