Mubadalah.id – Dalam relasi gender, perspektif mubadalah merupakan keyakinan, cara pandang, sikap, perilaku, dan tindakan yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai subjek kehidupan yang utuh dan setara.
Salah satu tidak lebih penting dari yang lain, keduanya sama-sama penting, baik dalam melakukan dan memperoleh seluruh kebaikan hidup. Maupun usaha agar terhindar dari segala keburukannya.
Pengalaman perempuan sama pentingnya dengan pengalaman laki-laki. Ia harus dikenali, dipahami, dan dirujuk untuk memahami kehidupan agar lebih utuh dan lebih baik.
Visi Rahmah li al-‘Alamin dalam Mubadalah
Dalam narasi keislaman yang rahmah li al-‘alamin, perspektif mubadalah mendorong kita untuk memperlakukan laki-laki dan perempuan dengan cara pandang kasih sayang, dan mereka dapat memperolehnya secara nyata dalam kehidupan.
Begitu pun narasi akhlak mulia, harus menyapa keduanya, laki-laki dan perempuan sebagai subjek utuh narasi tersebut. Konsepsi akhlak mulia, dalam perspektif mubadalah, menuntut kedua belah pihak untuk berakhlak mulia.
Dengan demikian, seruan hanya kepada perempuan untuk bermoral karena merupakan tiang negara tidak berperspektif mubadalah, kalau tidak ada seruan yang sama kepada laki-laki. Sebab, laki-laki juga penyangga negara.
Nasihat kepada para perempuan untuk menjadi istri salihah bagi suami mereka tidak berperspektif mubidalah, kalau tidak dibarengi para suami yang saleh kepada istri mereka.
Begitu pun ketakutan kita pada godaan, rayuan, pesona, atau yang disebut sebagai fitnah perempuan, adalah juga tidak berperspektif mubadalah jika melupakan bujuk rayu, pesona, atau fitnah para laki-laki dalam kehidupan nyata.
Al-Qur’an menyebut relasi gender yang mubadalah ini dalam ungkapan ba’ dhuhum auliya ba’dh, atau saling menolong satu sama lain.
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya: Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan Allah Swt beri rahmat. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS. at-Taubah ayat 71).
Ayat Kesalingan
Ayat ini secara tegas mengajarkan kesalingan antara laki-laki dan perempuan dalam semua aspek kehidupan. Satu sama lain adalah penolong, penopang, penyayang, dan pendukung yang lain.
Secara literal, kata ba’ dhuhum auliya ba’dh berarti yang satu adalah wali bagi yang lain. Wali artinya adalah penolong, penanggung jawab, pengampu, dan penguasa.
Berbagai kitab tafsir mengartikan frasa ba’ dhuhum auliya ba’dh dengan saling tolong menolong (tanashur), saling menyayangi (tarahum), saling mencintai (tahabub) dan saling menopang (ta’adhud).
Dengan demikian, laki-laki dan perempuan, untuk saling menjadi wali kepada yang lain, sesuai dengan kapasitas masing-masing, dalam segala aspek kehidupan.
Ayat ini mencontohkan aspek pendidikan, seperti dakwah amar makruf nahi mungkar. Yaitu ibadah ritual, seperti shalat, ibadah sosial ekonomi, seperti zakat, dan aspek tertib sosial melalui ketaatan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah.