Mubadalah.id – Potret memudarnya empati yang terjadi di keramaian media sosial saat ini benar-benar terlihat. Kasus terbaru terkait tanggapan Gita Savitri saat dipuji awet muda, berujung menjadi perundungan pada Gita Savitri, dan perseteruan di beragam media sosial. Mulai Twitter, Facebook, Instagram sampai dengan Tik Tok. Media ramai membahas tanggapannya dengan terbentuk dua kubu, yaitu pro dan kontra pada statement Gita Savitri. Cukup parah perang komentar, yang berkomentar adalah Gita namun kekesalan netizen menjalar melibatkan suami dan ibunya.
Awalnya Gita Savitri ini mengomentari netizen yang tidak paham jokes dalam memberi tanggapan pujian awet muda dirinya. Keluhan netizen yang proporsional Gita abaikan pula. Ada beberapa komentar yang menawarkan perspektif berbeda. perang komentar pun semakin memanas dari dua kubu. Keduanya sama-sama salah. Gita malah terpancing emosi sehingga muncul komentar pedas. Sekali lagi, netizen pun juga salah karena labelling netizen cukup menyakitkan bagi siapapun yang menerimanya. Tak luput Gita sekalipun.
Kekejaman netizen berada di puncaknya dengan mendoakan Gita punya anak. Padahal kita semua tahu bahwa Gita memutuskan childfree bersama pasangannya. Suatu bentuk hilangnya empati pada sesama manusia dalam berinteraksi melalui media sosial. Anak bukanlah asuransi kejiwaan maupun asuransi finansial di masa tua bagi orang tuanya.
Netizen mengingatkan nanti siapa yang mengurus di masa tuanya jika bukan anak. Atau siapa yang menguburkan kematiannya kalau bukan anak. Di mana anak dalam konteks ini diangap sebagai sandwich generation, definisi orang tua mengharapkan anak bisa mengurusnya di masa tua nanti. Anak dianggap sebagai tabungan di masa tua.
Memilih Childfree
Gita memutuskan childfree karena memang tidak siap secara mental. Dia sering membahas di laman media sosialnya karena ada trauma. Dan sebetulnya keputusan dia untuk tidak memiliki anak banyak juga yang menghargai, serta tidak mau ikut campur dalam urusan yang masuk ranah privacy. Dia dan pasangannyalah yang memiliki kuasa dalam keputusan tersebut, mengingat mereka yang menjalani biduk rumah tangga. Gita menunjukkan dirinya memiliki kuasa untuk menentukan apa yang terbaik atas dirinya dan tubuhnya.
Poin pentingnya bahwa tidak siapnya mental akibatnya sangat fatal dalam pola asuh pada anak. Bisa berakibat baby blues, rentan terjadi kekerasan pada anak dalam bentuk fisik, psikis, ekonomi. ketidak siapan mental dalam pola asuh anak juga memicu tidak harmonisnya pada pasangan. Memiliki anak adalah tanggung jawab panjang, mengingat membesarkan anak dari dia lahir hingga dewasa tidaklah mudah.
Misalnya baru-baru ini berita menginformasikan ada dua anak yang disiksa ayahnya, dan salah satunya sampai meninggal. Video beredar saat evakuasi anak dari lantai dua dan memancing tangis para tetangga yang menyaksikan. Begitu pula ada anak yang disiksa saat anak mengganggu main game ayahnya. Betapa nyawa manusia tidak ada harganya padahal dia adalah darah dagingnya. Anak yang mestinya menerima kasih sayang dan terlindungi. Namun harus menerima kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk fisik. Sungguh sebuah ironi yang menyakitkan.
Emotional Immaturity Gita Savitri dalam menanggapi komentar Netizen
Kenyataan di atas, sebagaimana Sigmund Freud jelaskan dalam Civilizations and its discontent. Di mana masyarakat harus memberlakukan peraturan-peraturan dengan maksud mengurangi ekses-ekses gejolak emosi yang terlampaui bebas dalam diri manusia. Artinya saat menggunakan media sosial, maka kontrol emosi itu sangat penting. Jangan sampai komentar usil ataupun serius mampu memancing kemarahan kita semua. Pada akhirnya keduanya sama-sama terluka. Baik Gita Savitri maupun netizen yang kontra.
Kedewasaan secara fisik bisa mudah kita lihat. Namun, kematangan emosional hanya bisa kita nilai dari sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Termasuk dalam merespons komentar netizen di media sosial. American psychological Association mendefinisikan kematangan emosional sebagai kemampuan mengontrol dan mengekspresikan emosi yang tepat. Sedangkan tidak dewasa secara emosional adalah kecenderungan untuk mengekspresikan emosi tanpa menahan diri atau tidak proporsional dengan situasi.
Perilaku emosional yang tidak terkendali dan tidak sesuai dianggap belum matang. Hal ini bisa kita lihat dari cara mengekspresikan emosi seseorang tanpa memperhatikan lingkungan sekitar. Kematangan emosional memiliki indikator salah satunya adalah tanggung jawab. Di mana orang yang bertanggung jawab akan memiliki kerendahan hati, alih-alih mengeluh tentang kondisinya. Memiliki kematangan emosi berarti tidak menyalahkan orang lain maupun diri sendiri pada suatu masalah. Hal ini bisa berujung pada sebuah tindakan yang kita mulai dari pertanyaan, “Apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki situasi ini?”
Memudarnya Empati
Kematangan emosi selanjutnya adalah rasa empati, karena orang bersitegang dan terjadi konflik. Akibat tidak adanya rasa empati dari salah satu maupun kedua belah pihak yang berkonflik. Maunya dimengerti namun tidak mau mengerti kondisi orang lain. Empati merupakan perilaku dasar yang ada pada manusia. Empati ini perlu kita latih agar menjadi bagian dari kepribadian manusia yang positif. Rasa empati menjadikan orang saling memahami, toleransi dan merasakan apa yang sedang orang lain alami.
Memudarnya empati banyak terpengaruhi berbagai faktor. Salah satunya adalah mudahnya teknologi yang dapat kita akses dalam kehidupan masyarakat melalui media masa berdampak negatif. Pada akhirnya isi media sosial berisi bulliying, yaitu menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikis. Orang tidak merasa bersalah atas perilakunya, kasarnya kata-kata dalam komentarnya. Di mana sesungguhnya memunculkan ketersinggungan emosi bagi penerimanya. Bahkan tidak memikirkan dampak dari pesan melalui media yang terkirimkan akan berpengaruh pada interaksi dan hubungan sosial yang ada.
Pembentukan mental atau karakter yang biasa kita lihat dari sifat seseorang bisa kita lakukan sejak dini. Yakni dipengaruhi oleh pola asuh dan juga lingkungan. Namun tidak ada sifat yang tidak dapat berubah. Sifat merupakan bagian dari kepribadian seseorang yang dinamis. Artinya seseorang akan dapat berubah kepribadiannya menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
Gita yang mulai emosi dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak bijak sama levelnya dengan netizen yang kasar mencacinya dengan kata-kata kasar. Gita menjadi terlihat emotional immaturity. Tidak matang secara emosional dengan mengeluarkan sumpah serapahnya.
Dewasa dalam Menggunakan Media Sosial
Penggunaan kemajuan teknologi informatika dapat menjadi positif, apabila kita gunakan dengan tepat dan sesuai kebutuhan. Namun kemajuan teknologi dan informatika dapat juga menjadi negatif, apabila kita gunakan pada hal-hal yang tidak baik dan tidak tepat. Hal ini yang akan menimbulkan berbagai dampak di dalam kehidupan individu. Salah satu konsekuensi dari kemajuan teknologi informatika yaitu adanya perubahan sosial. Banyaknya perubahan sosial yang terjadi di masyarakat membawa pergeseran nilai-nilai moral dalam kehidupan individu.
Media sosial banyak memberikan dampak terhadap sikap dan perilaku manusia dalam berinteraksi satu dengan yang lainnya. Artinya media massa dapat membentuk sikap yang dapat menimbulkan konflik dalam masyarakat. Hal ini akan menjadi terkikisnya rasa empati yang ada, karena manusia terbiasa untuk menghina dan melakukan tindakan kekerasan pada orang lain. Etika dengan berinteraksi secara santun pun mulai meluntur. Media juga dapat menjadi hal negatif apabila pengguna tidak cermat dalam mengakses media sosial.
Penggunaan media sosial pun telah meluas di berbagai lingkungan, sehingga penting untuk komunikatif agar dapat memberikan banyak kepentingan psikologis bagi indidvidu. Namun apabila individu tidak dapat mengontrol dampak negatifnya, maka akan mempengaruhi perilakunya. Lalu bagaimana solusinya apabila sudah terjadi perang komentar di media sosial sebagaimana yang Gita Savitri alami.
Mengutip dari peribahasa Arab apabila terjadi perdebatan sengit, atau debat kusir. Yaitu, “Tarkul jawwabi ‘alal jaahili jawwabun”, mendiamkan atau tidak memberikan jawaban terhadap orang yang bodoh adalah jawabannya. []