Mubadalah.id – Dalam beberapa kasus yang menyeret kalangan tokoh publik seringkali permasalahan yang dialaminya disangkutpautkan dengan penampilan, salah satunya hijab. Hal ini justru membawa serangkaian makna yang membawa hijab ke dalam beberapa permasalahan.
Rata-rata tokoh publik atau pelaku ketika mendapat suatu permasalahan tiba-tiba ia menggunakan hijab untuk menutupi rasa malunya, sementara ketika kasusnya telah usai ia akan kembali ke penampilan awal. Adapun dalam fenomena lainnya ketika sebuah kasus menimpa seseorang yang telah berhijab sejak lama maka akan memunculkan omongan negatif yang merujuk pada sisi hijab yang digunakannya.
Dalam Al-Quran hijab dimakanai sebagai pemisah, penutup dan sekat. Bu Nyai Badriah Fayumi dalam tulisannya di mubadalah.id menegaskan hijab di Indonesia dimaknai sebagai pemisah ruang antara laki-laki dan perempuan. Tujuannya ialah untuk melindungi tindakan yang tidak lazim antara laki-laki dan perempuan, takwa kepada Allah dan menjaga diri dari bentuk tindakan kekerasan seksual.
Terkadang hijab juga dimaknai sebagai bentuk identitas perempuan dan simbol agama. Secara teologis dan sosial jilbab maupun hijab selalu menjadi wujud terkungkungan dan domestikasi perempuan. Sehingga polemik tentang hijab dan perempuan sudah menjadi perdebatan panjang hingga saat ini. Begitupula dengan keragaman interpretasi hijab yang hanya dijadikan sebagai bentuk identitas dan simbol di waktu-waktu tertentu turut serta menjadi perbincangan dan perdebatan publik.
Baru-baru ini sosial media Indonesia kembali digemparkan dengan adanya kasus perselingkuhan dan perceraian. Kasus yang belum jelas bagaimana kebenaranya tiap hari selalu dibincangkan oleh jagad media. Mulai dari asal-usul pelaku hingga penampilannya tak luput dari hujatan netizen. Sebut saja Nissa dan Ayus Sabyan, tokoh publik, penyanyi religi yang menjadi buah bibir seantero Indonesia serta salah satu influencer yang memutuskan untuk melepas hijab.
Kedua kasus di atas sama-sama menyoroti tokoh publik yang sedang mengenakan hijab untuk menutupi kepalanya. Dua kasus ini memiliki titik fokus yang berbeda dimana kasus pertama tentang isu perselingkuhan dan kasus kedua tentang alasan melepas hijab.
Jika dicermati secara mendalam perintah untuk menutupi aurat sudah menjadi perintah agama dan sudah menjadi kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mentaatinya. Anehnya ialah ketika seseorang berbuat salah atas wujud kekhilafannya, hijab selalu dijadikan rentetan akar permasalahan.
Dalam kasus pertama yang dialami oleh Nissa, banyak netizen yang menyayangkan tindakannya dan menyalahkan penampilan, salah satunya ialah hijab. Sejak awal kemunculannya dalam dunia musik religi banyak masyarakat yang kagum akan suara dan penampilannya yang luwes dan modis.
Akan tetapi semenjak adanya kasus yang menimpanya banyak pula netizen yang menghujat sikap dan perilaku beserta hijab yang menjadi identitasnya. Fenomena ini jelas memaknai bahwa polemik hijab merupakan perdebatan yang panjang.
Syakir Daulay pun merespon isu tersebut dan memberikan argumentasi secara bijak. Intinya ialah dalam berhijab dan bersholawat merupakan suatu kewajiban dan perintah Allah sehingga jika ada sesuatu yang suci tidak bisa dikaitkan dengan hal buruk. Artinya ialah sebagai manusia memang tidak pernah luput dari sebuah kesalahan dan dosa, sementara persoalan hijab dan sholawat jangan diikut sertakan dan dijadikan bahan ujaran kebencian. Oleh sebab itu sebaiknya kita mendoakan semoga kasus ini segera terselesaikan.
Senada dengan ungkapan Syakir tentang kasus yang menimpa Nisa di sini penulis juga merespon hal serupa di mana hijab dan sholawat tidak pantas untuk dilibatkan di dalamnya. Sementara kasus lain yang sama menjadi sorotan netizen tentang alasan salah satu influencer melepas hijabnya tentu ada sebab-sebab yang melatarbelakanginya. Sebagai netizen yang bijak sebaiknya tidak terlalu mencampuri urusan orang lain secara berlebihan.
Hijab, Perempuan dan Ketimpangan Gender
Dalam budaya patriarki seringnya perempuan ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dan laki-laki menjadi jenis kelamin yang lebih tinggi. Konstruksi sosial seperti inilah yang kemudian mengkotak-kotakkan manusia dimana akan melahirkan mana yang lebih berkuasa dan mana yang layak dikuasai dan ditundukkan. Jelas, dalam banyak praktiknya perempuan selalu dijadikan sebagai objek ketidakadilan sosial. Mulai dari diskriminasi, stigmatisasi, objektifikasi, marginalisasi hingga kekerasan seksual.
Bahkan konstruksi sosial juga menyeret persoalan hijab yang notabene sebagai wujud perintah Allah dan terkandung dalam Al-Quran. Mulai dari alasan seseorang menggunakanan hijab hingga alasan menanggalkannya terkadang masih dijadikan sebagai bahan obrolan atau bahan gosip sesama manusia. Fenomena inilah yang kemudian menyoroti perempuan sebagai objek, sasaran budaya patriarki. Mempersempit pandangan menurut saya adalah sebuah tindakan yang kurang pas dan tidak lazim.
Minimnya eksplorasi pemahaman dan sudut pandang menjadi salah satu penyebab dari kakunya pemahaman seseorang. Maksudnya ialah, dalam melihat dan merspons sebuah konflik sebaiknya dijabarkan secara detail dan tidak mengambil kesimpulan secara serampangan. Misalnya, dalam kedua kasus di atas sebaiknya kita tidak gegabah dalam mengambil kesimpulan dan menyebarkan ujaran kebencian secara berlebihan.
Dengan demikian dalam melihat kasus hijab dan perempuan yang sedang trending saat ini tidak selayaknya kita menyalahkan makna hijab dan sholawat yang dilantunkannya. Kesalahan-kesalahan yang dilakukannya cukup menjadikan pelajaran bagi kita dan mengambil sisi positif dari kejadian ini. Semoga bermanfaat, terimakasih. []