Mubadalah.id – Ayang Utriza Yakin atau akrab disapa dengan panggilan AA Ayang bagi pengguna media sosial baik Twitter maupun Instagram mungkin sudah tidak asing dengan salah satu akademis yang kini tengah berkiprah di Belgia. Pada akun Twitternya dengan nama pengguna @ayang_utriza acap kali melontarkan cuitan-cuitan yang mencerahkan bagi para pengikutnya, seperti membagikan doa-doa, menjawab pertanyaan netizen tentang hukum Islam dan lainnya.
Tahun 2016, beliau menerbitkan buku yang berjudul “Islam Moderat dan Isu-Isu Kontemporer” yang diterbitkan oleh Kencana. Buku ini merupakan tulisan-tulisan dari AA Ayang yang sebelumnya pernah diterbitkan di berbagai media. Buku yang terdiri dari 8 bab ini mengulas tentang demokrasi, pluralisme, kebebasan beragama, non-Muslim, poligami, dan Jihad.
Kali ini penulis akan mengulas secara ringkas sebuah pembacaan ulang yang dilakukan oleh AA Ayang terhadap poligami yang merupakan kajian yang terus menjadi pembahasan dari berbagai kalangan masyarakat.
Pada bab 7 yang berjudul “Tafsir dan Sejarah Ayat Poligami dan Praktik Poligami Rasulullah”, mengulas secara lugas mengenai poligami merupakan hak khusus hanya kepada Nabi saja dan Umat Islam tidak boleh mengikutinya.
Sebelum kepada kesimpulan mengenai poligami hanya khusus untuk Nabi saja, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah ini, mengajak para pembacanya untuk menelaah mengenai sejarah kebolehan poligami dalam Islam yang menjadi objek pembahasan dengan menelaah sebab turunnya ayat tersebut atau tepatnya asbab al-nuzul nya.
AA Ayang menyebutkan Ada 6 riwayat yang menjelaskan sebab turunnya QS. al-Nisa (4): 3 yang dikutip dari Imam al-Baghawi dan Imam al-Suyuti. Berikut penjelasannya,
Pertama, seorang Wali yang ingin menikahi Yatim perempuannya yang cantik dan memiliki harta. Tetapi mahar yang diberikan lebih rendah jika dibandingkan dengan wanita lainnya lalu turunlah Surat An-Nisa:3 karena tidak dapat berbuat adil. Kedua, Kritik terhadap budaya Arab Jahiliah yang menganggap yatim perempuan di bawah asuhannya maka berhak atas yatim perempuan beserta hartanya. Jika cantik di nikahkan lalu hartnya diambil dan jika buruk rupa maka dihalangi untuk menikah agar hartanya dapat dikuasainya.
Ketiga, kekerasan yang terjadi pada masa Arab Jahiliah bahwa seorang wali menikahi yatim perempuannya dengan tujuan untuk menguasai hartanya, tetapi setelah menikah istrinya akan disiksa dan diharapkan untuk mati agar hartanya dapat dikuasai. Keempat, ada seorang Quraisy yang memiliki istri banyak dan memiliki anak yatim. Lalu, di saat hartnya habis ia menggunakan harta yatim tersebut maka seketika praktik tersebut dilarang dengan turunnya QS. al-Nisa (4): 3.
Kelima, seandainya tidak dapat berlaku adil maka janganlah menikahi banyak perempuan karena mustahil untuk memenuhi hak mereka karena perempuan itu lemah seperti anak yatim. Namun, daripada menikahi yatim perempuan lebih baik menikahi wanita hingga empat maka turunlah Surat An-Nisa:3.
Keenam, andai kata takut ataupun merasa sulit untuk mengurus anak yatim beserta hartnya karena iman serta menghindari zina maka halal untuk menikah dengar perempuan lain yang sesuai dengan QS. al-Nisa (4): 23. Sebelum Islam datang tidak ada batasan untuk menikahi jumlah wanita maka turunlah QS. al-Nisa (4): 3 sebagai batasan jumlah wanita yang dapat dinikahi.
Dari seluruh riwayat tersebut semuanya memperbolehkan praktik poligami menikah hingga empat orang istri, tetapi AA Ayang memiliki pandangan tersendiri mengenai ayat ini. Setidaknya ada dua pandangan yang diajukan oleh AA Ayang berkenan tentang hal ini,
Pertama, hakikatnya QS. al-Nisa (4): 3 diturunkan sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak anak yatim perempuan. Harus dipahami bahwasanya ayat ini turun dilatar belakangi pada masa selesainya Perang Uhud yang menyebabkan banyaknya para sahabat yang gugur di medan perang dan meninggalkan anak dan istri yang menjadikan mereka janda serta yatim. Alasan inilah yang menjadi landasan diharuskannya untuk berlaku adil terhadap anak yatim. Maka di sini jelaslah bahwasanya ayat ini sebagai pembebasan terhadap perempuan dan anak yatim yang teraniaya oleh keadaan.
Kemudian, melalui ayat ini pula Islam sebagai agama yang rahmat untuk seluruh makhluknya mengkritik keras terhadap laku Arab Jahiliah yang memperlakukan yatim perempuan dengan semaunya. Maka dari itu, maksud serta tujuan dari penekanan ayat ini bukanlah untuk melakukan poligami melainkan untuk melakukan pembebasan dan perlindungan terhadap ketertindasan yang dialami oleh orang-orang dari belenggu yang dikendalikan oleh para kapitalis.
Kedua, turunnya QS. al-Nisa (4): 3 ini sebagai bentuk perubahan yang telah menjadi kultur Arab Jahiliah yang menikahi perempuan sesuka hati mereka saja. Lalu, datanglah Islam untuk membatasi kebolehan menikah cukup empat orang saja. Semestinya, harus disadari pula ini sebagai sebuah awal dari Islam untuk melarang praktik poligami secara bertahap. Hal ini dapat ditelaah kembali bagaimana Islam secara perlahan mengubah kebiasaan Arab Jahiliah seperti Judi ataupun meminum minuman keras yang awalnya dilakukan hingga dilarang dengan cara perlahan.
Adapun mengenai praktik poligami, pada penghujung ayatnya menegaskan untuk menikahi satu perempuan saja jika tidak dapat berlaku adil. Padahal Allah menegaskan dalam QS. An-Nisa (4): 129, tidak ada manusia yang dapat berlaku adil. Adil menurut Ubaydah adalah adil dalam cinta. Bahkan Rasul sekalipun tidak dapat berlaku adil jika dikaitkan dengan cinta yang mana ayat ini sebagai teguran dari Allah kepada Rasul yang lebih mencintai Aisyah dibandingkan dengan istrinya yang lain.
Jika Nabi saw yang selalu di bawah bimbingan dan arahan Allah saja masih sulit untuk berlaku adil soal perasaan bagaimana dengan umatnya? Apakah bisa berlaku adil melebihi baginda Nabi?
Kekhususan Nabi saw untuk melakukan praktik poligami tertuang dalam QS. al-Ahzab (33): 50. Pemaparan tentang QS. al-Ahzab (33): 50 pada intinya menjelaskan tentang kekhususan bagi Nabi tentang pernikahan yang telah disimpulkan oleh AA Ayang, yaitu:
- Kebolehan Nabi untuk menikah lebih dari empat.
- Kebolehan Nabi untuk menikahi perempuan yang mengajukan dirinya untuk dinikahi Nabi.
- Kebolehan Nabi untuk menikahi seorang perempuan tanpa ada wali, mahar ataupun saksi.
- Khusus untuk Nabi hanya boleh menikahi perempuan beriman.
Menurut AA Ayang, jika ada yang mengatakan poligami merupakan Sunah Rasul maka ini merupakan hal yang keliru karena Rasul tidak menikah hanya kepada empat perempuan melainkan 24 sampai 28 perempuan dengan kekhususan hanya kepada Nabi saw. Maka dari itu praktik poligami hanya khusus kepada baginda Nabi dan umat Islam tidak dapat mengikutinya. []