Mubadalah.id – Publik Indonesia gempar lagi dengan politisi pelaku KDRT. Ia merupakan anggota DPR yang sangat kejam. Pria ganteng, kaya, pejabat tinggi, dan dari partai Islam tidak menjaminnya bisa bebas dari perilaku jahat dan zalim terhadap perempuan. Politisi initial BY ini dilaporkan menyiksa istri keduanya yang sedang hamil secara biadab. Laporan ini sekarang dilimpahkan dari kepolisian Bandung ke Pusat Jakarta.
Sebelumnya, Majlis Kehormatan Dewan (MKD) menerima laporan ini dan tidak memprosesnya karena yang bersangkutan mengundurkan diri dari Partainya. Otomotis ia keluar dari anggota DPR. Sekalipun demikian, yang bersangkutan menyangkal laporan ini. Malah, melalui kuasa hukumnya, ia menuduh balik sang istri sebagai pelaku kekerasan pada dirinya.
Kejahatan Sistemik
KDRT adalah kejahatan sistemik, memiliki akar kultural dan struktural. Di samping melibatkan sisi emosional dan faktor-faktor ekonomi serta sosial. Karena itu, yang perlu dilakukan pertama kali adalah empati pada korban dan memberikan keleluasaan padanya untuk mengungkap, mendampinginya, dan memulihkannya.
Keberadaan korban sebagai istri kedua menempatkannya bertambah rentan. Apalagi dengan praktik nikah sirri, sebagaimana dalam pernyataan kuasa hukum terlapor. Secara kultur ia akan dianggap perempuan perebut suami orang yang penuh salah dan secara struktur tidak memiliki dokumen sebagai istri sah dari terlapor.
Kondisi ini menuntut berbagai pihak untuk sadar dan berhati-hati, agar tidak mudah menyalahkan korban, dan memastikanya memperoleh perlindungan yang memadai, baik dari sisi hukum, medis, maupun psikologis. Perlindungan ini penting, sebagai bentuk pelayanan negara kepada warganya yang dalam kondisi paling membutuhkan.
Namun, karena kejahatan ini bersifat kultural dan struktural, kita juga harus berusaha memahami dari sisi pelaku. Mengapa dia bertindak demikian? Nilai apa yang mendasarinya? Faktor sosial apa yang melatarinya? Dan struktur atau kebijakan apa yang membuatnya abai sehingga berani melakukan kejahatan ini?
Refleksi kultural dan struktural ini penting bukan untuk memaafkan pelaku dan memakluminya. Tetapi untuk mencari akar-akar yang lebih dalam, mengapa hal itu terjadi. Agar, kita semua, bisa berbuat mencabut akar-akar tersebut, sehingga bisa menghapus kejahatan KDRT atau minimal menguranginya ke depan.
Nilai-nilai Mubadalah
Jika merujuk pada prinsip Mubadalah, yang paling penting adalah penanaman cara pandang tentang manusia sebagai makhluk yang bermartabat dan terhormat. Perlakuan kekerasan berawal dari cara pandang merendahkan, meremehkan, dan bahkan menyalahkan. Sehingga membuat seseorang merasa pantas melakukan kekerasan pada orang lain.
Seseorang yang berpoligami, apalagi dengan cara nikah sirri, sudah menjadi awal dari cara pandang bahwa dia lebih penting dari istrinya. Dia berhak bahagia dengan menikah lagi, tanpa memikirkan kebahagiaan istrinya.
Apalagi dengan nikah sirri, atau tanpa dokumen, membuatnya lebih leluasa untuk lari dari tanggung jawab. Sementara sang istri akan kesulitan untuk menuntut nafkah dan yang lain. Dari sini saja, sudah terlihat, bagaimana cara pandang laki-laki tidak memanusiakan perempuan. Tidak juga memandangnya secara bermartabat dan terhormat. Ia hanya memandangnya sebagai pemuas nafsu seksnya semata.
Cara pandang terhadap perempuan sebagai pemuas nafsu seks semata adalah salah di mata Islam. Karena perempuan adalah manusia utuh, dengan kapasitas akal, spiritual, sosial, di samping tentu saja tubuh yang fisikal. Perempuan juga subjek penuh kehidupan, yang dalam Islam kita sebut sebagai khalifah di muka bumi. Untuk memakmurkan dan mewujudkan segala kebaikan dengan berbagai kapasitas yang perempuan miliki tersebut.
Dari cara pandang terhadap perempuan sebagai manusia utuh dan subjek penuh kehidupan, atau tepatnya sebagai khalifah Allah SWT, sebagaimana laki-laki, maka kita semua harus menghormati dan memuliakannya.
Penghormatan ini hanya mungkin jika seseorang benar-benar tidak melakukan kekerasan terhadapnya. Penghormatan ini hanya mungkin jika seseorang benar-benar tidak melakukan kekerasan terhadapnya, baik di dalam rumah tangga, maupun dalam kehidupan publik. Wallahu a’lam. (FAK)