Mubadalah.id – Jika kata prajurit selalu identik dengan laki-laki yang mahir menggunakan senjata, memadamkan api pada meriam, serta melindungi istana. Maka pada catatan naskah kuno anggapan tersebut dapat tergantikan dengan kenyataan yang selama ini kita ketahui.
Perempuan dalam sejarah nusantara mengilhami kesempatan untuk maju ke medan perang dan mengawal raja-raja. Fakta tersebut kemudian menjadikan kita bertanya-tanya sebenarnya bagaimana sih kedudukan sosial perempuan di Indonesia pada masa zaman dahulu? katanya masih terselimuti budaya patriarki, kok banyak yang jadi prajurit?
Lagi-lagi kita harus mengakui bahwa hampir tidak ada sejarah bahkan sekelas mitologipun yang mengangkat kebenaran tentang prajurit perempuan. mungkin kita paham akan cerita Srikandhi yang ikut bertempur dalam melawan Resi Bhisma dalam Bharatayudha, itupun diteliti oleh orang Eropa, terutama bangsa Belanda yang berkunjung ke kerajaan-kerajaan di Jawa.
Kisah tentang Prajurit Perempuan dalam Sejarah Nusantara
Tulisan tentang keberadaan prajurit perempuan pun kita dapatkan dari naskah kuno dengan judul Koninklijk Instituut vor Taal-, Land- en Volkenkunde Oriental (KITLV Or) yang terdiri atas 606 halaman . Naskah ini diberikan oleh Raja Mangkunegara VII kepada peneliti yang bernama Dr. Pigeud.
Manuskrip KITLV ini menceritakan tentang para perempuan dalam sejarah nusantara, yang menjadi prajurit pribadi Raja Mangkunegara I yaitu Kanjeng Gusti Pangeran Adipati atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. jumlah prajurit perempuan yang dipanggil dengan sebutan prajurit estri ini menurut Rijklof van Goens, yang pernah mengunjungi Mataram pada abad ke-17, berjumlah 150 perempuan muda.
Sedangkan menurut Kumar Ann (2008:7) Mereka bertugas untuk mengawal sang raja ketika muncul di hadapan orang banyak, menyiapkan perkakas sang raja, dan bahkan menjaga raja dengan membawa tombak dan tulup di sisi bagian keraton bak seorang ajudan yang gagah berani.
Menurut kesaksian peneliti dari Belanda, prajurit estri ini tidak hanya terdapat di Mangkunegara saja, tetapi di kerajaan Aceh dan Jawa lainnya. Menurut Agustin Beaulieu pada tahun 1620-1621 Kesultanan Aceh yang kita kenal sebagai Sultan Iskandar Muda pun memiliki prajurit perempuan yang bertugas mengawal istana. Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung, sekitar 3000 perempuan muda.
Prajurit Perempuan Mahir Berkuda dan Piawai Menggunakan Senjata
Tidak hanya itu, di istana Mataram, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Daendels terkejut ketika menyaksikan pertunjukan turnamen berkuda yang dilakukan oleh 40 perempuan Mataram. Daendels kagum dengan kepiawaian perempuan-perempuan Mataram dalam menunggang kuda dan menggunakan senjata di atasnya. Mengingat di tanah asalnya, kemampuan itu hanya bisa kaum laki-laki lakukan.
Barisan mereka terlatih oleh Pangeran Sambernyawa dan pimpinan Raden Ayu Matah Ati atau Rubiyah. Dalam sejarah nusantara, prajurit estri tidak hanya terlatih keterampilan bersenjata dan berkuda, tapi juga mahir dalam bidang kesenian dan memiliki aneka keterampilan.
Salah satu tokoh prajurit perempuan yang terkenal dari Mataram adalah Nyimas Utari. Sang prajurit Telik Sandi (badan intelegen) yang berhasil membunuh gubernur VOC, JP. Coen pada 02 September 1629 dengan memasukkan racun arsenik yang tercampurkan minuman.
Memang misi operasi rahasia terbesar yang ia lakukan adalah pembunuhan Gubernur Jenderal VOC, Jans Pieterzoon Coen. Bahkan, demi memuluskan misinya tersebut, Nyimas Utari harus rela menjadi penyanyi di klub tempat berkumpulnya para perwira VOC.
Berawal dari Wonoboyo yang mengirimkan anak perempuannya yang memiliki kemampuan telik sandi mumpuni, Nyimas Utari, agar bergabung dengan agen telik sandi asal Samudra Pasai, Mahmudin yang menjadi suami Utari. Kini, makamnya terletak di dekat pusara Wali Mahmudin di keramat Wali Mahmudin Kelurahan Tapos, Kecamatan Tapos, Depok, Jawa Barat.
Lihatlah, dari prajurit estri kita bisa menyimpulkan bagaimana peranan perempuan dalam segala hal. Bisa kita buktikan dari mulai memainkan senjata. Lalu bisa menunggang kuda, mengawal raja, menjaga istana, bahkan tetap bisa menyelesaikan urusan domestikpun yang telah mendarah daging di kesehariannya.
Tidak hanya itu, kepiawaiannya dalam menari dalam istana juga didominasi oleh kaum perempuan. Bukankah itu sudah cukup? Bagaimana untuk menggambarkan betapa kaum kita layak menempati segala hal yang selama ini masih dominasi kaum laki-laki saja? []