Mubadalah.id – Di banyak ruang kehidupan perempuan, ada luka-luka yang jarang tidak kita sadari. Luka yang diakibatkan oleh sesama perempuan yang saling bersaing, saling merendahkan, bahkan saling menjatuhkan.
Fenomena ini terkenal sebagai Queen Bee Syndrome, istilah yang pertama kali dikenalkan oleh seorang peneliti bernama G.L Staines pada tahun 1973 untuk menggambarkan perempuan yang sudah berada di posisi tinggi namun enggan mendukung perempuan lain.
Kita sering menjumpainya di lingkungan kerja. Namun, sesungguhnya luka ini luka ini juga diturunkan di ruang paling intim, yaitu keluarga.
Ketika Ibu menjadi ‘Ratu Lebah’ di rumah
Hubungan ibu dan anak perempuan sering kali kita anggap penuh kasih. Tapi realitas sosial kita tidak selalu seindah itu. Dalam banyak keluarga, terutama di masyarakat patriarkis, ada pola persaingan tersembunyi.
Kita sudah banyak melihat realitanya tentang ibu yang menuntut anak perempuannya untuk hidup sesuai standar tertentu. Atau ibu yang mengontrol pilihan pendidikan, karier, hingga pernikahan anaknya karena takut kehilangan “otoritas”.
Hubungan ibu dan anak yang tergambarkan sebagai Queen Bee, akan berdampak negatif pada pertumbuhan psikis anak perempuan. Psikolog Dr. Karyl McBride dalam bukunya Will I Ever Be Good Enough? (2008) meneliti pola hubungan antara ibu narsistik dengan anak perempuan. Hasilnya, banyak anak perempuan yang tumbuh dengan perasaan tidak pernah cukup baik, selalu merasa salah, dan sulit membangun kepercayaan diri.
Di sinilah Queen Bee Syndrome menampakkan wujudnya, alih-alih mencintai tanpa syarat, ibu bisa secara sadar atau tidak menjadi pesaing bagi anak perempuannya.
Mertua, Menantu, dan Luka Lintas Generasi
Fenomena serupa juga kita lihat dalam hubungan mertua perempuan dengan menantu perempuan. Studi dari Pew Research Center (2018) menunjukkan bahwa konflik mertua dan menantu lebih banyak terjadi pada relasi sesama perempuan daripada dengan mertua laki-laki.
Di Indonesia, hal ini sangat terasa. Budaya patriarkis menempatkan menantu perempuan dalam posisi subordinat: harus melayani, harus sabar, harus menyesuaikan diri. Di sisi lain, mertua perempuan sering merasa posisinya “tergantikan” oleh menantu, sehingga lahirlah rivalitas.
Ini bukan sekadar soal pribadi, tapi warisan budaya yang menormalisasi persaingan antarperempuan, terutama dalam konteks keluarga.
Fakta yang Tidak Bisa Terabaikan
Penelitian dari Academy of Management Journal (2021) menunjukkan perempuan pemimpin 20% lebih kecil kemungkinan untuk mempromosikan perempuan lain daripada laki-laki di posisi yang sama.
Survei YouGov (2019) di Inggris menemukan 70% perempuan mengaku pernah merasakan perlakuan tidak mendukung dari sesama perempuan, baik di tempat kerja maupun lingkaran keluarga.
Di Indonesia, survei Komnas Perempuan (2023) mencatat bahwa konflik keluarga menjadi salah satu faktor terbesar pemicu kekerasan verbal dan psikis yang perempuan alami. Banyak kasus yang melibatkan relasi ibu–anak atau mertua–menantu.
Angka-angka ini menunjukkan: Queen Bee Syndrome bukan sekadar istilah baru yang hidup di era sekarang, tapi juga masalah yang sudah menjalar lintas generasi yang masih jarang terpahami oleh masyarakat luas.
Queen Bee Syndrome Warisan Patriarki
Sebagai aktivis perempuan, saya percaya bahwa Queen Bee Syndrome tidak lahir dari “tabiat buruk perempuan”, melainkan dari sistem patriarki yang membatasi ruang perempuan. Sistem ini membuat kita percaya bahwa hanya ada satu kursi untuk perempuan: satu yang cantik, satu yang sukses, satu yang dihormati.
Ketika ruang terbatasi, kita terpaksa saling bersaing. Dari sinilah luka diturunkan: ibu yang tidak bebas akhirnya membatasi anak perempuannya, mertua yang dulu dikontrol akhirnya mengontrol menantunya. Ini adalah lingkaran setan yang perlu kita putus. Queen Bee Syndrome memang luka yang bisa diwariskan dari ibu ke anak perempuan, dari mertua ke menantu, dari generasi ke generasi. Tapi luka itu tidak harus permanen.
Kita bisa memilih untuk menghentikannya di tangan kita. Kita bisa memilih untuk tidak melanjutkan persaingan, tapi menawarkan pelukan pada anak cucu kita. Karena feminisme yang sejati bukan hanya tentang melawan laki-laki atau patriarki, tapi juga tentang menciptakan ruang yang damai, adil, dan penuh kasih di antara sesama perempuan. []