Mubadalah.id – “Realita disabilitas dalam dunia kerja berlika-liku. Beberapa perusahaan di Majalengka membatasi ragam disabilitas. Peluang kerja untuk pengguna kursi roda atau cerebral palsy nol besar. Kebijakan pemerintah belum terimplementasikan,” ujar Ulya di Webinar Inklusi Disabilitas dalam Dunia Kerja (05/05/2025).
Tahun 2019, Maharta Maha, disabilitas netra lulusan hukum Universitas Atma Jaya Jakarta, merasakan perusahaan BUMN membohongi dirinya. Dia mendaftar pegawai tetap. Kenyataannya dia diterima sebagai call center– pegawai kontrak.
Renny pun merasakan pengalaman pahit. Dia melamar CPNS di tahun 2019. Ketika dia sedang mengisi form secara daring, tiba-tiba proses selanjutnya terhenti setelah mengisi penyandang disabilitas. Layar tertulis “mohon maaf hanya menerima pelamar non-disabilitas”. “Rendra Sanjaya, Memuliakan Penyandang Disabilitas, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 12-17”.
Potret disabilitas di atas menggambarkan mereka belum lepas dari segregasi dunia kerja. Stigmatisasi terbentuk. Mereka yang bukan disabilitas meremehkan keterbatasan fisik. Kesempatan bekerja pun semakin minim. Lantas, Apakah mereka tidak berpikir disabilitas juga butuh uang?
Cerminan Perusahaan Inklusi di Indonesia
Tempat bekerja bagi disabilitas memang masih eksklusi di Indonesia. Minimnya aksesibilitas menghambat pergerakan mereka. Rekan kerja pun belum mengerti bagaimana berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Apakah semua tempat kerja begitu? Tentu saja tidak.
Archipelago memberikan contoh bagaimana lingkungan kerja membuat nyaman disabilitas. Industri perhotelan ini membuka kesempatan kerja bagi difabel rungu, wicara, netra, autisme dalam spektrum tertentu, dwarfisme, serta paraplegia.
John Flood, CEO Archipelago, mengatakan setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kerja yang sama. Dengan membangun lingkungan inklusif dan beragam, kita tidak hanya memperkuat nilai perusahaan tetapi juga berdampak pada kehidupan sosial.
PT Omron Manufacturing Indonesia juga menyediakan layanan inklusi bagi disabilitas. Manager mensosialisasikan pentingnya kesetaraan. Baik difabel maupun non-difabel berstatus karyawan. Upah difabel pun selaras sesuai keterampilannya. Perusahaan menyediakan apa kebutuhan para difabel.
“Tempat kerja saya memenuhi kebutuhan fisik para disabilitas. Memodifikasi alat untuk tuna rungu. Pijakan kaki untuk pengguna kursi roda,” kata Lifiana.
Strategi Menciptakan Lapangan Kerja Inklusi
Bahrul Fuad alias Cak Fu di Webinar Inklusi Disabilitas dalam Dunia Kerja menjelaskan strategi-strategi menciptakan ruang kerja inklusif bagi disabilitas sebagai berikut:
1. Penegakan kebijakan
UU No.08 tahun 2016 di bagian keempat telah mengatur bagaimana keterlibatan disabilitas di bidang pekerjaan. Tujuannya sebagai asistensi kepada perusahaan untuk lapangan kerja disabilitas supaya realita disabilitas dalam dunia kerja mendapatkan keadilan.
Pasal 45 tertuang pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembagan karier yang andil Dan tanpa diskriminasi kepada penyandang disabilitas. Apabila pemberi kerja tidak melakukan, maka sanksinya teguran tertulis, pemberhentian operational, pembekuan serta pencabutan izin usaha.
Di sisi lain, pemerintah pusat maupun daerah memberikan pelatihan keterampilan pada disabilitas sehingga mereka lebih siap bekerja secara mandiri.
2. Pra kondisi
Penyiapan lingkungan kerja itu esensial. Dalam proses rekrutmen dan penempatan kerja, pemberi kerja menyediakan tempat inklusif bagi pegawai difabel. Penataan ruang sesuai kebutuhan disabilitas. Mulai dari toilet, ramp untuk pengguna kursi roda, sampai peralatan kantor berdasarkan kebutuhan disabilitas.
Tidak hanya itu, mengedukasi staff non-difabel supaya lebih paham tentang kondisi disabilitas. Pihak perusahaan mensosialisasikan bagaimana untuk berkomunikasi dengan penyandang disabilitas. Apabila setiap karyawan non difabel bersikap impartiality, maka pekerja difabel akan merasakan pekerjaan setara.
3. Implementasi
Cak Fu mengatakan pendampingan dan monitoring perusahaan terhadap disabilitas tidak terealisasikan. Pemberi kerja semestinya mendampingi pekerja difabel sampai mereka dapat menyesuaikan diri dan bekerja dengan mandiri.
4. Evaluasi
Jika ketiga hal tersebut telah berjalan, maka langkah selanjutnya evaluasi secara berkala. Setiap enam bulan atau setahun sekali melakukan penyesuaian dan perbaikan.
Terciptanya inklusivitas tempat kerja apabila setiap individu, perusahaan, dan pemerintah perhatian serius terhadap disabilitas. Selain itu adanya kesadaran outsider terhadap insider. Kesadaran akan muncul dari perspektif individu. Jadi, ubahlah perspektif bahwa disabilitas itu mampu dan berdaya. Dibalik keterbatasan mereka justru memiliki kelebihan (kemampuan). []